Konservasi Inklusif: Seperangkat Humanisme Untuk Alam yang Baru

Penulis : Bilal Adijaya

 

Satu abad sudah kegiatan konservasi secara sadar dilakukan. Mulai dari model konservasi racikan naturalis Belanda tahun 1912 sampai era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah melalui berbagai macam model konservasi yang cukup dinamis dengan satu tujuan yang statis; kelestarian sumber daya dan ekosistemnya[1].

Jalur setapak hutan

Konservasi menjadi ranah yang “sexy” untuk terus diperbincangkan. Pasalnya, kegiatan konservasi terus mengalami perkembangan. Pekerjaan konservasi tidak hanya “ngurusin” alam, tetapi juga menjadi lebih efektif, inklusif, dan berkeadilan. Efektif berarti pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan metode yang mampu mendatangkan output akhir sesuai dengan rencana aksi. Inklusif berarti terbuka; setiap aktor pemanfaat memiliki makna dan otoritas sendiri dalam melihat kawasan hutan. Berkeadilan berarti pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya tersentral pada tujuan kelestarian, tapi juga untuk menyokong sumber penghidupan, bahan pangan, maupun menyokong eksistensi identitas budaya lokal.

Pada era modern seperti sekarang ini, dibutuhkan gerakan konservasi yang menyebar secara persuasif dan substantif. Bukan tak beralasan; ekspansi pembangunan, sawit, maupun konflik kepentingan menjadi beberapa di antara banyak alasan kawasan hutan tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun seiring bertambahnya umur negeri ini. Ambil contoh ekspansi pembangunan, masih menjadi pertanyaan apakah sekian luas kawasan hutan yang dibabat untuk pembangunan rangka besi dan beton terdapat kompensasi sebagai pelega hati? Perlu menjadi perhatian dan keprihatinan bersama, bukan sendiri. Sekali lagi, bukan sendiri! Karena sendiri tidak efektif, bukan inklusif, dan sulit mencapai keadilan.

Ingatkah ketika suku Anak Dalam terkena dampak kebakaran hutan dan lahan pada 2015 dan terpaksa keluar kawasan menghindari asap tebal yang mengganggu sistem pernapasan mereka?[2]. Sama halnya dengan Papua, dua dekade sudah seluas 57.000 hektare diperkirakan ludes dikonversi menjadi perkebunan sawit oleh perusahaan dari Korea[3]. ‘Hutan terkikis, masyarakat meringis,’ begitulah kiranya. Pasalnya, hutan menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitarnya, namun di sisi lain menjadi garda terdepan ekspansi bisnis perusahaan.

Perlu adanya peran dari para pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan. Para pihak yang berkepentingan didorong untuk membangun hubungan yang konstruktif dan terbuka dalam mendengarkan kepentingan dari masing-masing. Para stakeholder yang terlibat sejatinya memiliki tipologi peran yang berbeda mulai dari perencana (planner), pembuat kebijakan (policy creator), fasilitator, pelaksana (implementator), dan peneliti (researcher). Pembagian tipologi peran tersebut dilaksanakan secara integral oleh masing-masing stakeholder ahli di masing-masing tipologi[4]. Karenanya diperlukan model konservasi yang terbuka dari atas ke bawah dan melingkupi semua lini.

Konservasi yang inklusif akan membuka tabir konflik yang berkepanjangan secara perlahan, memutus ego yang menjadi pedang paling tajam di garda terdepan masing-masing aktor pemanfaat, dan membentuk harmonisasi yang satu abad ke belakang sangat sulit untuk dijumpai. Para aktor berkumpul bersama, meletakkan kepentingan masing-masing di tengah meja diskusi, dan memikirkan bagaimana mengedepankan kelestarian alam dengan tetap membawa pulang apa yang diinginkan. Karena sejatinya pembangunan akan terus berlanjut sebagai penunjang kebutuhan ekonomi dan bukan ciri khas dari rezim.

Sudah saatnya konservasi digaungkan bersama dengan lebih lantang. Bukan agresif, tapi persuasif, dan kolaboratif tentunya. Menyisihkan sebentar ketegangan politik, membelakangi sebentar kepentingan pribadi, kemudian mengawinkan konservasi dengan pembangunan. Pembuat kebijakan, sektor swasta, LSM, pengelola balai, akademisi, masyarakat lokal, dan anak-anak muda menjadi saksi terbentuknya konservasi yang pengertian terhadap pembangunan, pembangunan yang pengertian terhadap konservasi, yang nantinya akan menciptakan kegiatan konservasi secara inklusif dan satu produk turunan yang dinamakan pembangunan berkelanjutan.

 

[1] https://forestation.fkt.ugm.ac.id/2018/09/03/sejarah-konservasi-di-indonesia/

[2] https://nasional.tempo.co/read/710806/darurat-asap-kebakaran-hutan-suku-anak-dalam-mengungsi

[3] https://www.pinterpolitik.com/ruang-publik/korindo-dan-ironi-hutan-papua/

[4] Mustafa, F., & Marsoyo, A. (2020). Tipologi Peran Stakeholder dalam Mendukung Reforestasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Planoearth5(1), 35-44.

Sumber gambar : https://relungindonesia.org/2021/07/pengelolaan-kawasan-hutan-meranti-dangku-secara-inklusif-2/

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.