Teori Ekologi Sosial: Alternatif untuk Keberhasilan Konservasi Sumber Daya Hutan

Penulis: Gilang Passasi

Apa yang membuat konservasi menjadi polemik dari upaya perlindungan hutan? Mungkinkah tata kelola informasi yang kurang baik atau memang ada kekeliruan fundamental dalam upaya konservasi sumber daya hutan di Indonesia?

Kita -konservasionis- cenderung selalu berpikir bahwa konservasi sumber daya hutan hanya dapat diwujudkan dalam koridor penyeimbangan fungsi ekologi. Dalam studi maupun penelitian-penelitian klasik, ekologi oleh Ernst Haeckel (1834–1919) dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara kehidupan alamiah makhluk hidup dengan lingkungannya. Misalnya: ekosistem mangrove dapat lestari jika kita memperhatikan kaidah pengaturan tiga pola penanaman mangrove, kandungan oksigen terlarut dan salinitas air; atau ekosistem hutan akan lestari jika kita memperhatikan faktor-faktor abiotik dan biotik yang berguna bagi pertumbuhan pohon maupun perkembangan satwa di dalamnya. Memang teori itu benar adanya melalui observasi dan riset di kalangan peneliti. Namun, akan menjadi salah kaprah jika kita berpikir bahwa itu cukup untuk menyelamatkan hutan dari kehancuran.

Hari ini, teori semacam ini menjadi pedoman yang lumrah digunakan oleh  kalangan mahasiswa, akademisi atau bahkan tingkatan yang lebih superior seperti pejabat dan pembuat kebijakan konservasi. Faktanya adalah bahwa pendekatan konservasi secara ekologis belum mampu menjawab tantangan di era saat ini. Pendekatan ekologis dibutuhkan dalam penelitian yang bersifat observatif namun kurang berdampak pada implementasi upaya konservasi di Indonesia.

Jika kita berbicara tentang pengelolaan konservasi -atau kawasan konservasi- di Indonesia, pendekatan secara sosial sebenarnya telah dilakukan. Sebagai contoh pengelompokkan zona-zona dalam kawasan taman nasional. Indonesia berupaya untuk melindungi zona inti dari intervensi manusia – atau dari terminologi yang lain adalah upaya segregasi. Konsep ini sebenarnya telah dilakukan John Muir (1838-1914) seorang naturalis ekstrem dari Amerika Serikat yang sampai saat ini menjadi pionir dari pedoman dasar segregasi alam dari manusia. Artinya, hutan pada dasarnya tidak membutuhkan manusia untuk terus ada dan preservasi adalah hal yang mutlak untuk menyelamatkan sumber daya hutan.

Pendekatan lain dari segi ekonomi misalnya, telah dilakukan dengan mengizinkan masyarakat memanfaatkan apa yang disebut dengan zona pemanfaatan taman nasional. Meminjam konsep “wise use” dari Giffort Pinchot (1865-1946), Indonesia berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konservasi dengan meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar zona pemanfaatan. Sayangnya, baik preservasi ala Muir maupun “wise use” ala Pinchot tidak serta merta menghapus konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola kawasan konservasi di Indonesia. Data yang dilansir dari National Geographic bahkan menunjukkan sejak tahun 2015, sekitar 30% hutan konservasi rusak akibat perambahan hutan oleh masyarakat.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa permasalahan ekologi dan konservasi sebagian besar atau bahkan seluruhnya berkorelasi dengan struktur sosial yang ada. Manusia memiliki andil yang sangat serius terhadap kelestarian alam dan bahkan bertanggungjawab atas bencana ekologis yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang berbeda dengan spesies primata lainnya, yaitu cenderung manipulatif dan ingin menguasai. Tentunya jika kita berbicara tentang persoalan ini akan sangat menarik jika meninjau terlebih dahulu artikel oleh Garret Hardin yang sangat terkenal dalam dunia ekologi, sosial dan konservasi: “The Tragedy of The Commons”. Singkatnya, “The Tragedy of The Commons” membahas persoalan tentang krisis lingkungan yang disebabkan oleh kerakusan manusia baik perorangan maupun kelompok dalam mengambil sumber daya sebesar-besarnya. Walaupun sedikit atau bahkan banyak, perilaku ini menciptakan persaingan eksploitasi sumber daya dan berdampak pada krisis ekosistem bioma.

Konflik untuk eksploitasi sumber daya hutan akan terus terjadi jika keselarasan struktur sosial masih bermasalah. Mengingat, kita hidup dalam masyarakat yang kooptatif di mana mereka selalu mencari cara untuk perluasan penguasaan lahan dan komersialisasi. Ekologi sosial berusaha untuk menghapuskan komersialisasi sumber daya hutan dengan pendekatan masyarakat yang menganut pandangan ekologis, rekonstruktif, dan komunitarian. Teori ini berupaya merekonstruksi dan mengubah pandangan saat ini tentang masalah sosial dan faktor lingkungan. Ini berguna untuk meminimalisir hierarki sosial dalam ekonomi di mana komunitas manusia bekerja sama secara harmonis dengan alam untuk menerima dan menjunjung tinggi keberagaman serta kreativitas dan kebebasan.

Mungkin bagi sebagian besar kalangan, teori ini lebih bersifat normatif atau bahkan delusif dibandingkan instrumental atau aplikatif. Namun, jika dikaitkan dengan pengelolaan konservasi, di mana konsep-konsep yang ada saat ini masih belum efektif, teori ini perlu untuk dicoba. Contoh, Hutan Lindung Mendawak yang berbatasan dengan areal konsesi PT WSL di Kalimantan Barat. Pada tahun 2020, perusahaan memiliki inisiatif untuk melakukan upaya konservasi lanskap. Program yang ditawarkan pun cukup baik karena melibatkan lapisan masyarakat bahkan melakukan pemberdayaan terhadap warga sekitar kawasan konsesi. Namun, permasalahan kuno kebijakan konservasi di Indonesia masih digunakan yaitu kebijakan bersifat top-down di mana masyarakat menjadi objek kebijakan alih-alih subjek sosial. Masyarakat tidak dapat memanfaatkan lahan untuk pertanian karena konsesi dialihkan menjadi kawasan konservasi. Dampaknya, masyarakat melakukan praktik yang lebih instan seperti menebang pohon di wilayah konservasi untuk penghidupan.

Jika pengelola konservasi menerapkan teori ekologi sosial, mungkin penebangan liar tidak terjadi. Mengingat ekologi sosial mengedepankan struktur sosial yang egaliter dan demokratis sehingga manusia dan alam dapat berjalan selaras. Sebenarnya, teori ekologi sosial telah ada dan diterapkan di Indonesia oleh kearifan lokal serta hierarki komunal masyarakat hutan adat. Mereka -masyarakat hutan adat- memiliki kebebasan untuk mengelola hutan dengan pendekatan spiritualitas melalui roh nenek moyang yang dipercaya berada dalam sendi-sendi kehidupan alam. Secara tidak langsung mereka menggunakan ekologi sosial untuk mencapai konservasi sumber daya hutan dalam komunitasnya. Mengingat, ekologi sosial juga setuju pada ideologi eko-spiritual walaupun bukan merupakan ilmu fundamental dari teori ini. Tampaknya tidak masuk akal dan terlalu menghayal, namun cara yang dipengaruhi spiritualitas dan egalitarian dalam struktur sosial terbukti efektif untuk melindungi hutan konservasi dari perambahan dan eksploitasi berlebih. Contohnya ada pada hutan-hutan di Indonesia yang memiliki cerita mistis cenderung lebih lestari dibandingkan hutan-hutan yang tidak memiliki cerita magis.

Akhir kata, permasalahan konservasi bukan hanya dari segi ekologi namun jauh lebih daripada itu. Dialektika, demokrasi, hierarki sosial dan berbagai macam faktor politis lainnya. Mengutip dari (Wiryono, 2011) tentang konservasi di Indonesia, mengatakan bahwa penyebab fundamental menurunnya keragaman hayati di Indonesia adalah pandangan antroposentris sempit yang masih dipegang bangsa Indonesia, termasuk para pejabatnya. Meskipun konservasi tumbuhan sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda, namun di Indonesia belum pernah terjadi diskusi kritis melibatkan semua pihak tentang kedudukan manusia di bumi dan hubungannya dengan makhluk lain dan benda-benda mati di bumi. Etika konservasi, atau etika lingkungan secara umum, hanya menjadi bahan kuliah di program pasca sarjana bidang lingkungan, tetapi tidak pernah menjadi topik pembicaraan masyarakat luas sebagaimana isu-isu di bidang hukum, politik, ekonomi dan agama. Sejak awal sejarahnya sampai kini, konservasi tumbuhan adalah aspirasi kelompok elit.

 

Salam konservasi!

Pembaca dapat berdiskusi dengan Penulis melalui,

instagram        : gilangpassasi

linkedin            : Gilang Passasi

 

REFERENSI

Bennett N.J, et all,. 2016. Conservation Social Science: Understanding and Integrating Human Dimensions to Improve Conservation. Biological Conservation. XVI

Bookchin, M. 1965. Ecology and Revolutionary Thought. New York: The Anarchist Library.

Faida L. W. R. 2020. Mengapa Usaha Hutan Konservasi di Indonesia Masih Belum Optimal?. Yogyakarta: UGM http://www.environmentandsociety.org/tools/keywords/ernst-haeckel-coins-term-oecologia-or-ecology diakses tanggal 3 Maret 2021 Pukul: 02.44 WIB

Hardin, G. 1968. The Tragedy of The Common. Science. Vol. 16

Muir, J. 1901. Our National Parks. Boston: Houghton, Mifflin.

Mulyadi E., et all. 2010. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Volume 1

National Geographic. 2015. Hutan Konservasi yang Rusak adalah 30 Persen. https://nationalgeographic.grid.id/read/13296509/hutan-konservasi-yang-rusak-30-persen diakses pada tanggal 3 Maret 2021 Pukul: 03.56 WIB

Pahlevi A. 2020. Dukungan Sosial menjadi Kunci Sukses Kebijakan Konservasi Berbasis Lansekap. https://www.mongabay.co.id/2020/03/02/dukungan-sosial-menjadi-kunci-sukses-kebijakan-konservasi-berbasis-lansekap/ diakses pada tanggal 5 Maret 2021 Pukul : 00.11 WIB

Wijiadi I. 2007. Analisis Ekonomi, Ekologi dan Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta). UT – Forest Management. abstract

Wiryono. 2011. Aspek Etika dalam Konservasi Tumbuhan di Indonesia (An Ethical Aspect of Plant Conservation In Indonesia). Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159. ISBN 978-979-99448-6-3

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.