Penulis : Bilal Adijaya
Merupakan sebuah anugrah alam yang luar biasa, bahwa luas kawasan perairan Indonesia mencapai hampir 2/3 luasan total administratif Indonesia. Berbagai komoditas laut seperti ikan maupun terumbu karang menjadi sumber daya yang cukup diperhitungkan dalam satu dekade terakhir. Salah satu komoditas laut yang memiliki peminat dan permintaan tinggi dalam lingkup lokal maupun global adalah perikanan hiu.
Di dunia terdapat sekitar 500 spesies hiu dengan 30% dari total spesies tersebut statusnya Endangered (terancam) berdasarkan IUCN red list[4]. Perairan Indonesia memiliki keragaman jenis hiu sejumlah 117 jenis hiu sub kelas Elasmobranchii dan 3 jenis hiu hantu sub kelas Holocephali[3].
Elasmobranchii merupakan sub kelas ikan-ikan yang paling familiar terdiri dari hiu (shark) dan pari (rays) dengan tangkapan yang cukup besar pada tingkat global. Data FAO menunjukan total tangkapan sebanyak 731 ribu ton pada tahun 1994. Empat negara asia; India, Jepang, Pakistan, dan Indonesia menyumbang lebih dari 50% dari total tangkapan di tingkat global[1]. Bahkan saat ini diperkirakan sekitar 100jt ton ditangkap setiap tahunnya[4].
Di negeri kita Indonesia, sebanyak 100 ribu ton setiap tahunnya terjadi penangkapan komoditas perikanan hiu secara ekstensif untuk diekspor sebagai penggerak ekonomi. Permintaan sirip hiu yang melonjak terutama pada rentang tahun 2002 – 2011 membuat populasi hiu di Indonesia menurun secara signifikan. Segala acara dikerahkan untuk mempermudah proses penangkapan hiu mulai dari pancing tanga, rawai hiu dasar (alat tangkap dengan banyak mata pancing), jaring liongbun, jaring arad, dan jaring lingkar[3].
Contoh nyata tren penangkapan hiu martil yang didaratkan di Pasar Pelelangan Ikan (PPI) Cilacap berdasarkan pengamatan dari Direktorat Kawasan Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukan tren penurunan penangkapan di waktu tertentu seperti yang ditunjukan pada grafik berikut.
Melalui grafik, dalem rentang satu dekade terjadi kemerosotan hasil tangkapan di awal rentang tahun pengamatan. Namun di akhir rentang tahun pengamatan berpotensi mengalami kenaikan lagi. Hal ini tentu saja harus diperhatikan, mengingat reproduksi hiu yang hanya menghasilkan 2-3 keturunan dalam satu siklus perkawinan individu dan usia kematangan hiu membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun[5]. Data tersebut hanya menunjukan data satu spesies yaitu hiu martil, bagaimana jika diakumulasi dengan semua spesies hiu di semua lokasi di Indonesia?
Pemerintah harus terus menggalakan seruan konservasi, dengan menggandeng masyarakat dan mendesain bersama bagaimana kegiatan konservasi yang bersifat win-win solution. Mengajak berbagai komunitas, anak muda, maupun nelayan untuk ikut melestarikan eksistensi hiu. Selain itu, memperkuat update data hasil penangkapan maupun ekspor hiu perlu terus dilakukan sebagai bahan evaluasi dan penentuan langkah yang lebih tepat.
Sumber :
[1] Bonfil, R. 2002. Trends and patterns in world and Asian elasmobranch fisheries. In Fowler S. L., T. M. Reed, & F. A. Dipper (Eds). Elasmobranchi biodiversity, conservation, and management. Proceedings of the International seminar and Workshop, Sabah, Malaysia, July 1997. IUCN SSC Shark Specialist Group. IUCN. Gland. Switzerland and Cambridge. UK. pp: 15-24.
[2] Fahmi. 2010. Sharks and rays in Indonesia. Mar. Res. Indonesia, 35(1):43-54.
[3] Fahmi dan Dharmadi. 2013. Tinjauan status perikanan hiu dan upaya konservasinya di Indonesia. irektorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[4] Footage Youtube Video at Indonesian Ocean Pride https://youtu.be/nEox54bNoAM
[5] Sadili, D., Fahmi, Dharmadi, Sarmintohadi, Ihsan R. 2015. Pedoman Identifikasi dan Pendataan Hiu Apendiks II CITES. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sumber Gambar :
https://republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/19/nq734j-indonesia-teratas-dalam-perburuan-hiu