Akhir Status Kawasan Kamojang dan Papandayan

Gunung Kamojang, dikenal luas dengan nama Kawah Kamojang adalah sumber panas bumi di Jawa Barat, Indonesia. Dalam sejarahnya, dikenal sebagai gunung berapi yang bernama Gunung Guntur, tetapi kawah ini dikelompokkan dalam gunung berapi aktif karena aktivitas panas bumi. Beragam satwa hidup di Kamojang, antara lain Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). Begitu pula dengan flora seperti Jamuju (Podocarpus imbricatus), Puspa (Schima wallichii), dan Pasang (Quercus sp).

Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya. Potensi flora di dalam kawasan gunung ini di antaranya Pohon Suagi (Vaccinium valium), Edelweis (Anaphalis javanica), Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanea argentea), Pasang (Quercus platycorpa), Kihujan (Engelhardia spicata), Jamuju (Podocarpus imbricatus), dan Manglid (Magnolia sp ). Sedangkan potensi fauna kawasan di antaranya Babi Hutan (Sus vitatus), Trenggiling (Manis javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak), Lutung (Trachypitecus auratus) serta beberapa jenis burung antara lain Walik (Treron griccipilla), dan Kutilang (Pycononotus aurigaste). Gunung Papandayan juga mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Barat telah menurunkan status Cagar Alam [CA] Kawah Kamojang dan dan CA Gunung Papandayan menjadi Taman Wisata Alam [TWA]. Keputusan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Nomor 25/MENLHK/SETJEN/PL.2/1/2018 tertanggal 10 Januari 2018. SK yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup ini berisi perubahan fungsi pokok kawasan hutan dari sebagian kawasan cagar alam Kawah Kamojang seluas 2.391 hektare dan cagar alam Gunung Papandayan seluas 1.991 hektare.

Ada empat hal yang melatarbelakangi pihak BKSDA mengusulkan perubahan status ini. Pertama, rusaknya hutan karena perambahan hutan. Berdasarkan pantauan, terdapat lahan-lahan bekas perambahan yang ditinggalkan para pembalak liar. Padahal seharusnya cagar alam tidak boleh ada interaksi manusia. Berangkat dari isu utama tersebut, perlu dilakukan langkah pemulihan ekosistem, yaitu dengan restorasi hingga suksesi. Namun BBKSDA melihat, pemulihan sendiri tidak akan mengembalikan seperti semula, sehingga perlu intervensi manusia. Hal itu tidak bisa dilakukan jika statusnya cagar alam. Sebelumnya, Tim Terpadu bentukan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan [KLHK] telah melakukan evaluasi kesesuaian fungsi. Hasilnya, kondisi kedua kawasan tersebut mengalami tekanan berupa penggembalaan ternak, perambahan, pencurian kayu, dan perburuan. Jika merujuk data BBKSDA Jabar, luas kawasan kritis di CA Kamojang dan CA Papandayan masing-masing 209 hektar dan 449,17 hektar. Artinya, lahan kritis masih dibawah 1.000 hektar.

Kedua, aktivitas wisata yang dilakukan masyarakat yang juga melanggar status kawasan cagar alam. Perubahan status ini apat mengakomodir kepentingan pengembangan wisata di Garut, termasuk pengembangan wisata di kawasan Gunung Guntur. Pengembangan wisata yang dilakukan tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi dengan hanya membangun sedikit bangunan hingga kawasan hijau tidak terganggu. Ketiga, terdapat sumber air yang dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat sekitar.

Keempat, adanya pemanfaatan panas bumi untuk memenuhi kebutuhan strategis nasional yaitu listrik Jawa-Bali. Saat ini, setidaknya ada 600 Megawati listrik menyuplai Jawa – Bali dari panas bumi di kawasan Darajat dan Kamojang di Garut yang tersebar di beberapa titik. Pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit listrik menjadi salah satu proyek strategis pembangunan energi pemerintah. Apalagi, panas bumi dikenal sebagai energi ramah lingkungan dibanding pembangkit listrik lainnya. Saat ini sudah ada dua operator panas bumi besar yang beroperasi di kawasan Darajat dan Kamojang yaitu Star Energy dan Pertamina Geothermal Energy.

Karena itu, pihaknya membuat usulan untuk perubahan sebagian status cagar alam menjadi taman wisata alam. Berbagai prosedur pun ditempuh, termasuk pembentukan Tim Terpadu Perubahan Fungsi yang di dalamnya terdapat LIPI, perguruan tingi, Pemprov Jabar (Dinas Kehutanan) hingga Kementerian LHK (Ditjen PKTL, KSDAE, dan Litbang). Dengan perubahan status ini, luasan CA Kamojang dan Papandayan mengalami perubahan. Sebelum perubahan, luas CA Kamojang 8.108,78 hektar, kini menjadi 5.717,78 hektar. Sedangkan CA Papandayan, sebelum SK keluar luasnya 7.807,86 hektar, kini menjadi 5.816,86 hektar.

Perubahan status ini menuai kontra dari berbagai kalangan. Aliansi Save Cagar Alam Jawa Barat, yang didominasi masyarakat yang berada di perbatasan dengan Kamojang mengkritisi keputusan tersebut. Mereka menghkawatirkan penurunan status bisa melegalkan kepentingan di luar keutamaan ekologi. Mereka berpendapat bahwa jika dasar penurunan status untuk pemulihan kerusakan akan menjadi berlawanan dengan kerusakan yang disebabkan tidak adanya penegakan hukum oleh BBKSDA Jabar.

Status Kawasan

Sebelum berubah, status kawasan Kamojang dan Papandayan adalah cagar alam yang menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1990, cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Di Indonesia, cagar alam adalah bagian dari dari kawasan konservasi (Kawasan Suaka Alam), maka kegiatan wisata atau kegiatan lain yang bersifat komersial, tidak boleh dilakukan di dalam area cagar alam. Dengan dibangunnya cagar alam maka sumber daya alam berupa flora dan fauna dapat dilindungi dengan baik oleh negara.

Sedangkan taman wisata alam adalah kawasan hutan konservasi yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi. Kegiatan pariwisata yang dilaksanakan di hutan wisata alam tidak boleh bertentangan dengan prinsip konservasi dan perlindungan alam. Karena pada hakikatnya taman wisata alam masuk dalam kawasan pelestarian alam. Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pengertian taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Selain untuk kegiatan pariwisata, taman wisata alam mempunyai fungsi melindungi sistem penyangga kehidupan bagi daerah sekitarnya. Bisa juga menjadi tempat pendidikan alam dan pengembangan ilmu pengetahuan. Segala pemanfaatan sumber daya hayati di areal ini harus dimanfaatkan secara lestari.

Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain. Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan, salah satunya meliputi perubahan dari kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, atau taman buru. Perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan hutan konservasi hanya dapat dilakukan dalam hal:

  1. sudah terjadi perubahan kondisi biofisik kawasan hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau manusia;
  2. diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan hutan;
  3. cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang tidak mendukung kelangsungan proses ekologi secara alami; atau
  4. memenuhi kriteria sebagai fungsi kawasan hutan konservasi yang diusulkan.

Usulan perubahan fungsi kawasan hutan  harus dilengkapi persyaratan:

  1. usulan perubahan fungsi kawasan hutan pada peta dasar dengan skala minimal 1:100.000;
  2. rekomendasi bupati/walikota apabila yang mengusulkan gubernur atau rekomendasi gubernur apabila yang mengusulkan bupati/walikota pada peta dasar dengan skala minimal 1:100.000 (memuat persetujuan atas usulan perubahan fungsi kawasan hutan, berdasarkan pertimbangan teknis Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Kepala Dinas Provinsi untuk usulan perubahan fungsi hutan produksi dan hutan lindung )
  3. pertimbangan teknis Direktur Utama Perum Perhutani apabila merupakan wilayah kerja Perum Perhutani; dan
  4. rencana pemanfaatan dan/atau penggunaan kawasan hutan terhadap fungsi kawasan hutan

Menurut Forest Wacth Indonesia (FWI), secara keseluruhan hutan di Indonesia terus mengalami degredasi hebat. Di Jawa, misalnya, luasan hutan yang rusak mencapai 2.4 juta hektar. Sebanyak 85,37 persen itu berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Hanya sedikit kawasan hutan yang statusnya masuk hutan konservasi. Data FWI menunjukan, adanya penurunan luasan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada 2002, masih 2,2 juta hektar, namun pada 2009 luasan tutupan hutan hanya tersisa 800 ribu hektar. Ini terjadi karena desforestasi, baik terencana ataupun tidak. FWI berpendapat bahwa kasus penurunan kawasan konservasi di Kamojang itu perlu dikaji komperhensif. Meski telah ada kajian sebelumnya oleh KLHK, tetapi berpolemik karena adanya penolakan. Berdasarkan data Dinas Kehutanan, Jabar memiliki kawasan hutan seluas 816.603 hektar. Dari luasan itu terdapat 132.180 hektar hutan konservasi, 291.306 hektar hutan lindung, serta 393.117 hektar hutan produksi. Dalam dua dasawarsa terakhir luasan hutannya mengalami penurunan, baik di hutan primer maupun sekunder.

sumber:

www.mongabay.id

https://regional.kompas.com

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990

Permenhut No. P. 34/Menhut-II/2010 tentang TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

2 thoughts on “Akhir Status Kawasan Kamojang dan Papandayan”