2019: El Nino dan Dampaknya di Indonesia

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi El-Nino akan terjadi tahun ini dalam tingkatan rendah hingga moderat. Prediksi ini diperkuat dari berbagai lembaga internasional seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI)), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat dan Bureau of Meteorology (BON) Australia. El Nino merupakan peristiwa menghangatnya lautan lebih dari 0,5 derajat celcius di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang diikuti oleh perubahan sirkulasi atmosfer di atasnya berbeda dari kondisi normal. Menurut update terakhir beberapa lembaga internasional pada akhir Desember  tahun 2018, El-Nino terjadi di sepanjang Pasifik Ekuator akan berlangsung hingga Maret, April dan Mei.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan BMKG, terjadi perubahan anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik berkisar di bawah 1 dan di atas 0,5 atau dalam kategori lemah. Menurut BMKG, setelah Bulan Mei, Samudera Pasifik bagian tengah dan timur akan kembali ke status normal, sehingga El-Nino pada tahun 2019 tidak akan separah tahun 2015 silam. Perbedaan El-Nino pada tahun 2019 dengan yang tejadi pada tahun 2015 yaitu kondisi atmosfir tahun ini masih relatif normal, tidak ada atmosfir yang mendukung peningkatan El-Nino yang akan berdampak ke banyak wilayah.

Sejak tahun 1960 hingga sekarang, terjadi delapan kali El-Nino dengan tingkat rendah hingga moderat. El-Nino menyebabkan penurunan curah hujan di hampir sebagian besar Jawa, Sumatera bagian ekuator dan bagian selatan, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian barat, dan Papua bagian barat. Ketika El-Nino berlangsung, akumulasi curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Dengan kondisi ini, curah hujan pada bulan-bulan berikutnya sedikit berkurang. El-Nino terjadi pada tingkat rendah hingga moderat karena adanya penguatan monsoon Asia di wilayah Indonesia. Monsoon Asia ini berasosiasi dengan musim hujan di sebagian besar Indonesia. Meskipun kekuatannya rendah, namun diperkirakan akan berdampak pada musim kemarau di Indonesia.

Dampak El-Nino antara lain adalah potensi kekeringan pada kemarau panjang dan dapat mengganggu produksi sektor pertanian dan kebakaran hutan. Berbeda dengan tahun 2015, El Nino terjadi saat kemarau hingga tinggi dan menyebabkan kekeringan di berbagai wilayah. Hanya ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki iklim bertipe ekuatorial atau semi monsunal. Daerah-daerah ini mengalami dua kali puncak musim hujan dan dua kali puncak kemarau. Seperti yang terjadi di di Riau, Sumatera bagian utara dan barat, sebagian Jambi, sebagian Sumatera bagian barat, juga Kalimantan bagian barat. Kekhawatiran akan El-Nino yaitu akan berdampak pada daerah-daerah bertipe ekuatorial yang bersamaan dengan penurunan musim hujan.

Sumber:

www.bmkg.go.id

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.