Mengenal Hutan Perempuan di Papua

Penulis : Galuh Sekar A.

Gambar oleh : Moch. Fikri diambil dari Econusa.id

Salah satu kawasan hutan bakau atau mangrove di Teluk Youtefa, Kota Jayapura dikenal dengan Hutan Perempuan. Penamaan hutan perempuan ini karena adanya kearifan lokal yang unik dijalankan oleh kampung Enggros dan Tobati yaitu aturan mengenai laki-laki dan perempuan dalam hal berinterekasi sosial dalam kehidupan sehari-harinya yaitu apabila laki-laki berkumpul di para-para atau seperti balai kampung dan bertugas mencari kebutuhan pangan di laut. Sedangkan perempuan berkumpul dan mencari bahan pangan di hutan bakau, apabila ada laki-laki yang masuk dalam hutan bakau tersebut maka akan dikenai dengan sanksi denda (Finaka, 2022). Denda yang diberikan berupa manik-manik dengan terdapat tiga variasi warna yang memiliki nilai denda yang berbeda, untuk manik yang paling tinggi harganya yaitu setara dengan Rp.1.000.000 yang memiliki warna biru. Sedangkan manik berwarna hijau memiliki nilai yang setara Rp. 500.000 dan manik berwarna putih memiliki nilai sekitar Rp. 300.000 (Amindoni, 2021).

Gambar oleh : Anggita Ayu Indari diambil dari Econusa.id

Kearifan lokal mengenai hutan perempuan juga dibangun melalui tradisi tonotwiyat yang artinya mengunjungi hutan bakau. Istilah tonowiyat berasal dari kata tonot berarti hutan bakau dan wiyat berarti ajakan. Tradisi tonotwiyat menjadi suatu bentuk awal untuk mengenalkan hutan bakau. Dari tradisi tersebut mulai dikenalkan untuk mencari kerang di hutan bakau. Kebiasaan mencari kerang di hutan bakau ini telah dibangun secara turun-temurun, sehingga kaum perempuan Papua di Teluk Youtefa sangat bergantung pada hutan bakau untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Kebiasaan mencari kerang rawa juga menjadi salah satu bentuk interaksi sosial bagi kaum perempuan di Teluk Youtefa (Hamuna dkk., 2018).

Waktu yang tepat untuk mencari kerang yaitu ketika air sedang surut, biasanya kaum perempuan sudah bergegas untuk menyiapkan ember dan wadah untuk menampung kerang. Ada kebiasaan yang unik yaitu para perempuan pencari kerang sebelum menyelam ke dalam air, mereka akan meninggalkan pakaian mereka. Hal tersebut dikarenakan ketika menyelam menggunakan pakaian akan merasakan gatal karena lumpur akan ke dalam pakaian. Kondisi hutan yang berlumpur mengakibatkan akan banyak lumpur yang masuk ke dalam pakaian. Untuk menghindari hal itu maka kebiasaan yang dilakukan yaitu menyelam tanpa menggunakan busana. Ketika mencari kerang mereka akan menggunakan kaki untuk meraba keberadaan kerang, pencarian kerang ini membutuhkan perasaan karena kerang yang dicari merupakan jenis kerang yang memiliki kulit tipis. Dalam proses pencarian kerang ini biasanya mereka sembari menyenandungkan lagu berbahasa Enggros ataupun mereka mulai berbincang dan menyuarakan pendapat mereka tentang kehidupan yang dijalaninya (Amindoni, 2021).

Menurut Organes Meradju selaku tokoh masyarakat Kampung Enggros mengatakan bahwa keberadaan hutan perempuan ini bukan hanya sebatas sebagai ladang pangan, namun juga sebagai bentuk kebebasan bagi perempuan di Kampung Enggros. Hal ini dikarenakan  terdapat beberapa hukum adat yang sifatnya membatasi hak perempuan seperti tidak diperbolehkanya untuk berkumpul di para-para karena hukum memposisikan perempuan merupakan orang yang paling bersih sehingga tidak diperkenankan untuk mendengarkan kata-kata kasar. Serta seorang perempuan tidak boleh ketawa tinggi-tinggi dan tidak boleh dimaki-maki. Adanya hutan perempuan memberikan ruang tersendiri bagi kaum perempuan di Kampung Enggros untuk bercerita dan berkeluhkesah.

Namun, keadaan hutan mangrove di Teluk Youtefa sudah mengalami kerusakan yang cukup serius, hal ini dijelaskan oleh salah satu tokoh perempuan Enggros bahwa sekarang mencari bia atau dalam bahasa Indonesia disebut kerang sudah mulai sulit, dan hasil kerang yang didapatkan tidak sebanyak dulu. Menurutnya, hutan perempuan menjadi sebuah surga kecil yang dirusaki oleh tangan manusia. Sudah banyaknya sampah plastik yang ditemukan di hutan perempuan menyebabkan kondisi hutan mangrove menjadi kotor dan menjadi sarang nyamuk. Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya hutan mangrove yang sudah rusak. Laju degradasi hutan mangrove di Teluk Youtefa termasuk dalam kondisi yang cukup ekstrim. Berdasarkan data pembukaan hutan mangrove pada tahun 1967 menyisakan kawasan mangrove seluas 112,81 ha dari luas awalnya yaitu 364,95 ha. Pada tahun 2008 laju degradasi mencapai 1,33 ha/tahun. Tingginya laju degradasi disebabkan karena banyaknya pembukaan hutan mangrove untuk pengembangan kota Jayapura yang membutuhkan transportasi jalan lingkar (Handono dkk., 2014).

Hutan Perempuan di Teluk Youtefa menjadi sebuah kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai penting, baik untuk nilai ekonomi bagi masyarakat bahkan untuk nilai sosial. Keberadaanya menjadi sesuatu harta yang berharga terutama untuk kaum perempuan di kampung Enggros dan Tobati. Kearifan lokal yang sudah terbangun sejak lama ini patut dilestarikan dan diakui keberadanya. Kesakralan hutan perempuan ini bisa dapat menjadi salah satu langkah untuk tetap melestarikan hutan mangrove di Teluk Youtefa.

 

Referensi :

Amindoni, Ayomi. 2021. Hari Air Sedunia : Hutan Perempuan di Papua, ‘surga kecil yang dirusak manusia’. BBC Newa Indonesia. Diakses pada tanggal 10 November 2022 dari : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56276719

Amindoni, Ayomi. 2021. Kisah para pelestari hutan bakau khusus perempuan di Teluk Youtefa, Papua ‘Hutan Perempuan sudah jadi satu dengan adat kami’. BBC Newa Indonesia. Diakses pada tanggal 10 November 2022 dari : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56269816

EcoNusa.id. 2020. Hutan Perempuan, Kampung Enggros, Papua. Diakses dari : https://econusa.id/id/galeri/hutan-perempuan-kampung-enggros-papua/

Finaka, A. W. 2022. Uniknya Hutan Adat Perempuan Papua. Indonesia baik.id. Diakses pada tanggal 10 November 2022 dari : https://indonesiabaik.id/infografis/uniknya-hutan-adat-perempuan-papua

Hamuna, B., Sari, A. N., & Megawati, R. 2018. Kondisi Hutan Mangrove di Kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera: A Scientific Journal35(2), 75-83.

Handono, N., Tanjung, R. H., & Zebua, L. I. 2014. Struktur vegetasi dan nilai ekonomi hutan mangrove Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua. Jurnal Biologi Papua6(1), 1-11.

Indari, A. A., 2020. Hutan Perempuan, Pelestarian Ekosistem Bakau oleh Perempuan Enggros. Diakses dari : https://econusa.id/id/galeri/hutan-perempuan-kampung-enggros-papua/

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.