Co-Management: Pendekatan Kolaboratif Kunci Sukses Pengelolaan Konservasi

Penulis : Bilal Adijaya

Indonesia merupakan negara dengan julukan megabiodiversity. Tak heran, Indonesia memiliki beragam flora & fauna endemik, berbagai macam tipe ekosistem, serta sumberdaya genetik dalam jumlah besar. Kekayaan ini lambat laun mulai terancam eksistensinya; perburuan liar secara terus menerus, Illegal logging, konversi lahan, dan masih banyak lagi penyebab kekayaan sumberdaya Indonesia kian menghilang. Berbagai model konservasi telah dilakukan dalam memerangi tingkat kerusakan yang terus naik. Model konservasi sentralistik yang lebih didominasi oleh pemerintah sebagai aktor utama dalam penentu kebijakan terkesan mereduksi fungsi dan peran masyarakat. Di sisi lain, model konservasi berbasis masyarakat (community-based) jarang sekali menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Berangkat dari hal itu, langkah-langkah taktis diperlukan demi tercapai kesesuaian antara model konservasi dengan keberlanjutan dan kemanfaatan sumberdaya alam.

Co-Management merupakan pendekatan kerangka kerja pada sebuah situasi, dalam hal ini terdapat berbagai pihak yang saling bernegosiasi, membagi peran & tanggung jawab, serta mendefinisikan suatu sistem sumberdaya. Konservasi berbasis co-management memiliki substansi yang dapat mensukseskan upaya konservasi secara efektif. Bukan tanpa alasan, upaya konservasi memerlukan pelibatan dan kapasitas berbagai elemen secara keseluruhan; pemerintah, LSM, akademisi, dan masyarakat luas. Concern terhadap keadilan dan kesetaraan dalam konteks pemanfaatan dan biaya juga perlu menjadi perhatian penting yang wajib diterima dengan baik oleh pengelola/stakeholders yang terlibat.

Pemerintah dalam hal ini harus benar-benar memperhatikan kepentingan stakeholders yang terlibat, tak terkecuali masyarakat. Masyarakat sebaiknya dijadikan mitra aktif pemerintah sebagai penentu kesuksesan program di tingkat tapak. Bagaimanapun sebelum adanya penetapan & pengukuhan kawasan konservasi, masyarakat sudah mendiami kawasan tersebut sejak lama, sehingga keberadaan dan adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat wajib dipertahankan eksistensinya. Pengakuan hak-hak masyarakat seperti hak hidup, hak berbudaya, hak asal usul dalam kawasan juga harus diperhatikan lantaran berpotensi menimbulkan konflik jika itu diganggu gugat.

Peran serta masyarakat kiranya perlu diperluas dan tidak hanya menjadi objek dari program pendidikan sadar konservasi. Masyarakat secara luas juga bisa berperan sebagai sumber pendanaan alternatif secara hibah (selain dari APBN/APBD) selain lembaga pemerintah, pengelola, maupun bantuan internasional. Karena pada dasarnya output ekologis pengelolaan kawasan konservasi akan dinikmati bersama masyarakat luas.

Pada intinya, pemberdayaan seluruh elemen khususnya yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan konservasi penting dilakukan untuk memastikan terwujudnya pengelolaan konservasi yang berkelanjutan. Mengingat tingkat kerusakan yang semakin menjadi-jadi, pendekatan co-management menjadi hal yang penting bahkan wajib dilakukan. Bukan saatnya berjalan secara independen dengan mengedepankan eksistensi sebuah lembaga, namun hasil yang ditunjukkan sangat jauh dari harapan. Melainkan, berjalan beriringan dengan satu tujuan yang diperjuangkan.

 

Sumber:

[1] Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Co-management of Natural Resources: Organizing, Negotiating and Learning by-Doing. Heidelberg, Germany: GTZ and IUCN, Kasparek Verlag.

[2] UU No 5 Tahun 1990 pasal 37 ayat 2.

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.