Penulis : Fabian Ayu
Pulau Rote merupakan salah satu pulau di Kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur dengan luas 97.854 Ha. Pulau Rote ini memiliki banyak potensi dari berbagai aspek seperti budaya, wisata, dan juga satwa. Salah satu satwa endemik yang juga menjadi ikon bagi Pulau Rote adalah kura-kura rote (Chelodina mccordi) yang dalam bahasa Rote disebut dengan Keaoe atau Nggoa. Kura-kura rote ini merupakan salah satu dari 32 spesies kura-kura di Indonesia yang masuk dalam daftar 25 kura-kura paling langka di dunia (Turtle Conservation Coalition, 2018).
Kura-kura rote masuk dalam famili Cheloniidae yang memiliki leher panjang menyerupai tubuh ular. Spesies ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi target buruan dalam perdagangan internasional. Adanya penurunan populasi satwa sedikitnya 80% pada tiga generasi terakhir dan penyebarannya yang terbatas, menyebabkan kura kura rote masuk dalam status vulnerable pada tahun 1996 dan menjadi critically endangered pada tahun 2000 menurut Red List IUCN. Kemudian pada tahun 2000 juga, menurut CITES, kura-kura rote dinyatakan commercially extinct yang selanjutnya pada tahun 2004 masuk dalam Appendix II.
Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah berupaya untuk melakukan perlindungan kura-kura rote. Salah satunya dengan menjadikan Pulau Rote sebagai Kawasan Ekosistem Esesnsial (KEE) lahan basah yang tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur NTT No.2014/KEP/HK/2019 tanggal 18 Juni 2019. Kawasan yang termasuk dalam KEE Pulau Rote ini terdiri dari Danau Peto (Desa Maubesi, Kecamatan Rote Tengah), Danau Ledulu (Desa Daiama, Kecamatan Landu Leko), dan Danau Lendo Oen (Desa Daeurendale, Kecamatan Landu Leko). Penetapan Pulau Rote sebagai KEE ini juga didukung oleh WCS yang meyakini bahwa dengan melindungi kura-kura rote dan habitatnya, itu berarti melestarikan sumber air yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat Rote Ndao. Selain WCS, Keputusan Gubernur ini juga didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, perguruan tinggi, masyarakat setempat, dan intansi terkait lainnya. Pengelolaan KEE juga turut mempertimbangkan nilai adat dan budaya yang dapat memberikan manfaat ekonoi bagi masyarakat sekitar.
Selain penetapan Pulau Rote sebagai KEE, upaya untuk melindungi kura-kura rote juga dilakukan dengan program reintroduksi kura-kura rote yang dilakukan oleh BBKSDA dan Balitbang LHK Kupang yang didukung oleh WCS Indonesia dan Wildlife Reserves Singapore (WRS) sejak tahun 2016. Melalui upaya ini, WRS telah berkontribusi dalam meingkatkan populasi kura-kura rote melalui program pembiakan yang kemudian akan direpatriasi dan diintroduksi kembali ke Pulau Rote.
Kamis, 23 September 2021 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal KSDAE bersama Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar RI SIngapura, berhasil melakukan repatriasi 13 ekor kura-kura rote yang terdiri dri enam jantan dan tujuh betina. Ini merupakan hasil pengembangbiakan dari kebun binatang Amerika dan Eropa yang merupakan bagian dari European Association of Zoo dan Aquaria (EAZA) dan Association of Zoos and Aquariums (AZA) yang kemudian dibesarkan di WRS. Sebelum dilakukan pelepasliaran ke habitat alaminya, kura-kura rote akan direhabilitasi terlebih dahulu di Instalasi Karantina Hewan Reptilia dan Amfibi Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur. Harapannya dengan kembalinya kura-kura rote ini dapat menjadi awal baru penyelamatan satwa endemik dan pemerintah beserta masyarakat serius dalam menjaga kelestarian habitat keanekaragaman hayati dan satwa yang ada di Indonesia.
Sumber:
Endarwin, Wempy., Adininggar Ul-Hasanah, Rodrigo Ibrrandi Vazquez, dan Mirza Dikari Kusrini. 2005. Studi Pendahuluan: Keberadaan Kura-Kura Rote (Chelodina mccordi, Rhodin 1994) di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Media Konservasi, Vol. X, No. 2, Hal: 51-57.