MASYARAKAT MEMBUMIKAN KONSERVASI

Oleh : Restia Cahyani

*tulisan ini diadaptasi dari hasil Diskusi Konservasi yang diadakan pada Minggu, 2 Mei 2021

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 mendefinisikan konservasi sumber daya alam hayati sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kebijaksanaan tersebut menjadi pekerjaan rumah jangka panjang yang tak kunjung tertuntaskan. Semakin panjang lagi dengan adanya gangguan berupa desakan ekonomi dan fakta bahwa tidak semua orang membuka matanya untuk pemanfaatan berkelanjutan. Ketika masyarakat dan konservasi dijejerkan, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul; “sudahkah masyarakat merdeka dalam merencanakan upaya konservasinya?”, “masyarakat manakah yang dimaksud?”, “apakah upaya yang dilakukan saat ini berkiblat pada tujuan yang tepat?”, “siapa yang merangkul ruang antara masyarakat dan konservasi?”.

Banyak pertanyaan bermunculan mendorong pada keraguan pada tindakan yang hendak dilakukan. Seperti yang terjadi pada Desa Kramat, Purbalingga, Jawa Tengah. Terletak di lereng timur Gunung Slamet, desa ini didominasi hutan yang luasnya mencapai 80% dari total luas desa. Berbagai jenis satwa menghuni hutan lindung dan hutan produksi terbatasnya, antara lain elang jawa (Nisaetus bartelsi), julang emas (Rhyticeros undulatus), rekrekan (Presbytis comata), dan owa jawa (Hylobates moloch). Hutan tersebut terbingkai dalam lanskap indah dan ikonik. Beberapa titik lokasi kerap dikunjungi warga lokal maupun luar desa karena cocok untuk rekreasi, misalnya Bukit Siregol dan Curug Mantras. 

Dengan potensi sumber daya hutan yang luar biasa, Desa Kramat sejatinya ingin melakukan upaya lebih dari sekedar ‘membiarkan’. Dibentuk forum SIGOTAK (Siregol Agro Buthak) sebagai wadah bagi warga yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kelestarian hutan Desa Kramat. Forum ini dibina oleh Komunitas PPA GASDA. Tahun lalu, GASDA mengadakan Ekspedisi Sisik Naga untuk mengungkap potensi Desa Kramat. GASDA berusaha merangkul masyarakat agar paham ‘harta’ yang dimiliki Kramat dan agar tumbuh kesadaran untuk melestarikan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun tanpa menanggalkan prinsip-prinsip konservasi, salah satu upaya yang berkembang yaitu keinginan untuk mewujudkan ekowisata. Namun kurangnya perhatian dari pemerintah setempat dan tidak semua warga turun tangan dalam upaya konservasi menyebabkan keinginan tersebut masih tetap menjadi keinginan. Belum ada peningkatan lebih lanjut ke tahap rencana yang matang.

Lanskap Hutan Desa Kramat. c/FORESTATION

Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, memberi dampak negatif paling rendah terhadap lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi pada muatan lokal (Fennel, 1999). Ekowisata terbukti menjadi solusi atas pemberdayaan masyarakat dan penegakan prinsip konservasi, sebagaimana yang diterapkan masyarakat Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah. Petungkriyono memiliki beragam flora dan fauna di alam liar yang masih sangat asri seperti elang jawa, owa jawa, dan lutung budeng. Hal tersebut menjadi PR besar bagi Petungkriyono untuk menjaga dan melestarikan alam mereka. Dalam pengelolaannya, masyarakat Petungkriyono tidak sendiri. Adalah LSM SwaraOwa yang memiliki andil besar dalam pemberdayaan masyarakat dan perintisan wisata berbasis konservasi di Petungkriyono.

Hutan Petungkriyono, habitat beragam flora dan fauna. c/KP3 Primata

Sebelum ada wisata, banyak masyarakat dari dalam maupun luar desa yang menebang pohon secara illegal dan berburu satwa liar terutama burung. Ekowisata diterapkan sebagai alternatif solusi agar masyarakat dapat mendapat hasil dari wisata dan meninggalkan kebiasaan lamanya. Saat ini, andalan wisata Petungkriyono antara lain wisata Weloasri dan pengamatan satwa. Masyarakat yang dulu berburu—dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang letak fauna unik biasa muncul—sekarang diberdayakan menjadi informan (tour guide) bagi kegiatan wisata minat khusus seperti pengamatan. Selain direkrut menjadi pekerja di kawasan wisata, masyarakat sekitar juga memperoleh pundi-pundi dengan berdagang di lokasi wisata. Berburu tidak lagi menjadi hal yang dimaklumi. Jika ada yang ketahuan berburu, akan ditegur dan diedukasi bahwa Petungkriyono sudah menerapkan konservasi sehingga tidak boleh lagi ada perburuan. Upaya ini makin kuat dengan diterbitkannya peraturan desa terkait penerapan konservasi.

Melihat Desa Kramat yang dibina GASDA dan Petungkriyono yang diberdayakan SwaraOwa, bahwa keterlibatan praktisi diperlukan dalam ruang antara masyarakat dan konservasi. Dalam Diskusi Konservasi tempo hari, Yayasan Relung Indonesia yang juga turut memberdayakan perintisan ekowisata Petungkriyono memaparkan bagaimana keterlibatannya. Programnya dinamakan “Inisiasi Ekonomi Hijau”. Dalam konsep ini, ekonomi diupayakan terus tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan, khususnya fungsi ekosistem dan keragaman hayati, serta mengutamakan keadilan sosial. Untuk mewujudkannya, diperlukan sinergi dari parapihak agar tidak terjadi trade off antara kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial. Progress yang masih berjalan saat ini yaitu assessment peluang pengembangan ekonomi hijau, pendampingan masyarakat pelaku wisata, mengembangkan komunikasi dengan pemerintah desa, kabupaten, provinsi, dan pusat (KSDA), serta Perhutani. 

Pemanfaan sumber daya alam yang bijaksana masih akan terus menemui berbagai tantangan. Proses menuju kolaborasi antarpihak membutuhkan waktu yang panjang, diperlukan kesabaran dan sumberdaya yang tidak sedikit. Keberhasilannya tergantung pada aktor kunci di masing-masing instansi/lembaga. Proses ini juga menuntut fleksibilitas dalam menetapkan target capaian, mengingat banyak faktor eksternal yang dapat mempengaruhi jalannya program dan kegiatan. Namun sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Desa Kramat dan yang tengah dilakukan oleh masyarakat Petungkriyono, konservasi memang harus diterapkan agar harapan atas hutan yang lestari terus menyala. 

 

Sumber : 

Fennel, D.A.1999. Ecotourism : An Introduction.. Routlege, London and New York.

Konsepsi Konservasi dan Poros yang Mengiringi

Konsepsi Konservasi dan Poros yang Mengiringi

Penulis : Faried Al Chusna Ridhoni

Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, begitulah bunyi amanat menurut Undang-Undang Kehutanan. Kondisi saat ini, sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap potensi kawasan hutan. Sebanyak 25.800 desa, atau 34,1% dari total 74.954 desa di seluruh Indonesia, merupakan wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Dari total luas kawasan hutan Indonesia yang mencapai 120 juta hektare, banyak sekali masyarakat yang ikut memanfaatkan potensi sumber daya hutan dari hutan produksi, lindung maupun konservasi. read more

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.