Penulis: Alfian (Peserta MSP 2019)
Semester tua kuliah, pada waktu ini mungkin mayoritas mahasiswa akan berpikiran untuk fokus pada masa kedepannya dengan menjalani kehidupan sehari hari dengan rajin meningkatkan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan akademik kampusnya, dan salah satunya saya. Pada awal memasuki semester 5 (saya anak diploma, di kampus milik kemenkes 🙂 ) sudah saya niatkan dalam hati untuk mengurangi bahkan tidak melakukan kegiatan non akademik yang tidak berhubungan dengan bidang kuliah saya. Akhirnya sayapun memutuskan untuk tidak mengikuti ajang bergengsi bagi pengamat burung yaitu lomba pengamatan burung yang pastinya saya sebagai pengamat burung dengan berat hati menolaknya, ya meski skill saya masih abal-abal dan positif pasti kalah, tapi dalam event tersebut setidaknya bisa menikmati euforia serunya pengamatan dan kegiatan lainnya bersama peburung lain, serta hal penting lainnya adalah nambah kenalan, Eaaaa. Kegiatan sehari-hari sebagai mahasiswa sok rajinpun saya lakukan, meski mungkin tidak ada bedanya dengan semester lain sebelumnya.
Belum lama hijrah untuk menjadi mahasiswa yang taat pada akademik, tapi sepertinya alam menolak saya untuk vakum, datanglah banyak godaan menarik yang berat untuk ditinggalkan. Salah satu godaan muncul waktu itu dari grup whatsapp, ada teman yang membagikan poster suatu kegiatan yaitu pelatihan metode survey primata/MSP yang akan dilaksanakan di Petungkriyono tanggal 11-13 Oktober 2019, dan itu gratisss, persyaratan cuma ngirim cv dan kalimat motivasi ikut kegiatan tersebut. Tentu saja hal pertama yang dibayangkan ketika membaca lokasi di Petungkriyono adalah hutan yang masih sangat mewah sangat alami dan pastinya saya kepikiran burungnya, malah bukan primata. Burung yang sudah di anggap sirna seperti Ekek geling dan jenis favorit saya seperti julang emas, elang jawa, raja udang kalung biru berterbangan di kepala saya, berharap bisa langsung bertemu pada kegiatan tersebut. Seketika niat untuk vakum tidak mengikuti kegiatan yang tidak menunjang bidang kuliahpun bubraah, langsung saja saya membuat dan mengirimkan persyaratan yang diibutuhkan. Selang beberapa hari tiba tiba saat membuka whatsapp satu grup baru muncul, nama grup tersebut adalah “peserta MSP”, alhamdulillah. Antara senang dan heran kenapa orang seperti saya diperbolehkan ikut.
Tibalah saatnya hari Jumat tanggal 11 Oktober, waktunya berangkat ke Petungkriyono, dan sayapun harus mengulangi kebiasaan lama yaitu membolos pada jam kuliah demi ikut kegiatan di luar kampus. Titik kumpul para peserta dari jogja di tamtim FKT UGM, kawan lama kawan baru jadi satu. Jadwal kita berangkat dari jogja ke Petungkriyono adalah jam sebelas menggunakan kendaraan elf, waktu sekitar 7 jam di perjalanan saya habiskan untuk menunaikan kegiatan wajib yaitu tidur. Waktu maghrib kami telah sampai di titik pemberhentian sebelum menuju ke lokasi untuk berganti kendaraan dari elf ke mobil pickup. Perjalanan malam menuju tengah hutan Sokokembang dimulai. Di atas bak belakang pickup kami disuguhi hawa sejuk petungkriyono yang pada saat itu baru saja diguyur hujan sambil bercerita kisah masing-masing dan bergoyang mengikuti gerakan kendaraan yang kita gunakan berjalan meliuk liuk mengikuti jalur jalan menuju tempat tujuan. Di pinggir sepanjang perjalanan pemandangan pohon pohon hutan sangat terlihat syahdu dilihat dengan bantuan sinar bulan yang remang-remang. Tak terasa sekitar 20 menit berlalu dan sampailah kita di rumah pak Tasuri, tempat kita akan bermalam selama kegiatan berlangsung.
Setibanya di tempat, kami beristirahat sebentar dan memenuhi keperluan pribadi masing-masing seperlunya karena pada jam 7 dilaksanakan untuk agenda yaitu pematerian pertama oleh mbak Salmah Widyastuti. Sebelum materi dimulai dilakukan pembukaan acara yang diisi sambutan sambutan, yang pertama oleh pak tasuri dan beliau juga memberikan beberapa tips dalam kegiatan pengamatan satwa liar di hutan petungkriyono seperti bagaimana mengidentifikasi tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, mana yang berbahaya dan cara cara pengamatan satwa liar berdasarkan pengalaman pribadi pak tasuri sebagai warga lokal saat beliau masuk ke hutan. Materi pertama disampaikan oleh mbak Salmah dari SwaraOwa, adalah penjelasan tentang primata primata Di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, lalu jenis jenis yang terdapat di Petungkriyono dan ciri ciri deskripsi morfologinya untuk keperluan identifikasi di lapangan. Ternyata primata adalah satwa yang unik dan setiap jenisnya mempunyai karakteristik masing masing, pada bagian materi tersebut hati saya mulai terbuka dan tertarik untuk mempelajari taksa hewan tersebut. Materi selanjutnya adalah tentang salah satu metode survey primata yang akan dipraktikan esok harinya di lapangan yaitu metode line transek. Dijelaskan pada pematerian ini untuk metode line transek yaitu survey dengan menggunakan petak jalur transek yang lurus. Untuk metode ini diperlukan persiapan berupa, studi literature, peta lokasi target survey, survey awal untuk ketinggian, kondisi umum, aksesibilitas dll, informasi dari penduduk dan persiapan perlatan yang memadai. Lalu dilanjut tentang penjelasan pengisian talysheet, rumus yang digunakan untuk menghitung lebar jalur survey, dan yang terakhir adalah tentang cara menghitung kerapatan berdasarkan data yang telah diperoleh yaitu jumlah dibagi dengan luas area. Pematerian untuk hari pertama yang diberikan mbak Salmah sangat jelas dan mudah dipahami. Hari yang telah larut malam menyebabkan badan mengajak untuk segera rebahan, menyiapkan untuk esok hari, sehingga seusai pematerian saya langsung menyeting diri untuk nge-sleep.
Hari kedua dimulai. Suara owa saling bersahutan menyambut bangun tidur kita. Di hari ini akan di lakukan kegiatan di lapangan yang berupa hutan sokokembang yang maha indah, menerapkan materi line transek untuk survey primata yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada kegiatan di lapangan ini dimulai jam 6.30 dan dibagi menjadi 3 kelompok dengan jalur yang berbeda dan saya kebagian di jalur lawas, setiap jalur didampingi oleh masyarakat lokal sebagai penunjuk arah. Perkelompok dibagikan alat alat survey yang bagi saya masyarakat umum masih sangat asing dengan alat tersebut dan sedikit kebingungan cara mengoperasikan alat tersebut, serta nggumun dengan kecanggihannya. Setelah persiapan sudah dirasa cukup dan telah melaksanakan kegiatan wajib foto foto bersama, maka perjalananpun dimulai. Pada jalur lawas perjalanan kami di awali dengan menyeberangi sungai berbatu untuk menuju ke punggungan bukit di sebrangnya. Suara burung meninting saling bersahutan kemungkinan dari banyak individu, tapi saya harus mengurungkan keinginan untuk duduk diam menunggu kemunculan wujudnya untuk melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tersebrangi, lereng licin langsung kami daki perlahan. Susah tidak, senang iya akhirnya kami sampai di jalan utama jalur lawas yang sebenarnya tidak berwujud jalan, karena maklum di dalam hutan. Istirahat sebentar mengendalikan nafas, lalu kami mempersiapkan peralatan dan mulai mencatat titik awal kami untuk jalur perjalanan. Perjalanan kami lakukan dengan menerapkan pesan dari mas Wawan yaitu berjalan dengan santai, tidak tergesa gesa, dan mengamati sekitar. Tidak lama dari titik awal kita memulai survey, mas Anton dari BOSF(Borneo Orangutan Survival Foundation) yang merupakan sesepuh ahli primata yang membimbing kelompok kami, tiba tiba menyuruh kami berhenti dan menunjuk kearah kiri dan benar saja kawanan primata berwarna hitam lalu lalang searah jalan yang kita lalui, dengan binocular minimalis milik sendiri saya arahkan mata ke kawanan tersebut, dan hasilnya.. burem karena rapatnya tegakan di sekitar dan bino saya yang kurang mampu, padahal jaraknya adalah sekitar 15 meter saja, akhirnya kami hanya menunggu hasil identifikasi dari para sesepuh, hasil identifikasinya adalah jenis tersebut ialah lutung dan berjumlah 8 ekor dengan beberapa didapati membawa individu muda. Data-data untuk talysheet kami catat lalu kami move on dari kelompok lutung tersebut yang memang makin menjauh, perjalanan dilanjutkan. Selama perjalanan di kanan kiri kami suguhan indahnya tegakan tegakan megah hutan yang juga banyak dari pohon tersebut ialah pohon pakan untuk hewan hewan liar sangat menghilangkan rasa lelah perjalanan kita. Setelah berjalan agak jauh dari titik kawanan pertama lutung yang kami temui, kami bertemu lagi dengan kawanan primata lagi di sebelah kiri kami yang kali ini jaraknya agak jauh dan seperti sebelumnya kami menebak nebak jenis tersebut lalu menanyakannya kepada master. Hasilnya adalah jenis tersebut adalah lutung dengan jumlah yang lebih sedikit dari sebelumnya, data data kami catat, dan saya masih agak kewalahan menggunakan alat yang bernama gps dan teman-temannya yang saya lupa namanya. Jalur lawas masih panjang, kelompok kita harus melewati belokan karena terdapat jurang pemisah jalur di lereng yang kita lalui dan hal tersebut kami lalui dua kali. Akan tetapi tetap saja keindahan hutan petungkriyono selalu membuat kita senang untuk selalu menerabasnya. Disekitar belokan tersebut terdapat flora flora kecil yang menarik, salah satunya kami menemukan anggrek yang sedang mekar berbunga berwarna putih, kamipun juga melewati sungai kecil yang airnya sangat menyejukan. Terlalu asik dengan perjalanan tidak terasa kami sampai di titik terakhir jalur survey pengamatan. Istirahat sambil review hasil pengamatan sebelum kita kembali ke basecamp. Istirahat sudah cukup kamipun menuju jalur pulang menuruni bukit melewati kebon bambu. Baru saja mengawali perjalanan kembali, semut semut langsung memberikan salam perpisahan dengan gigitannya yang lumayan nylekit tidak mudah dilupakan. Daun daun bambu yang berserakan di lantai tanah ditambah tanah yang miring serta basah akibat hujan membuat beberapa dari kami ada yang terpeleset sambil senyum senyum malu. Aliran sungai berbatu sudah terlihat kembali tandanya kami sudah berada di bawah dan tinggal mengikuti jalan aspal untuk kembali ke tempat pak Tasuri.
Sesampainya di basecamp kamipun beristirahat, membersihkan diri lalu baru saya sadari ternyata ada pacet yang minum darah pada kaki, pengalaman pertama dengan pacet. Antar kelompok saling berbagi cerita dengan kelompok lainnya. Dari kelompok lain juga bernasip sama hanya bertemu dengan jenis lutung saja. Ada berita yang lumayan buruk dari salah satu kelompok lain yaitu ditemukannya jaring untuk berburu burung lengkap dengan burung terperangkap di dalamnya, mungkin ini penyebab utama kenapa hutan Petungkriyono yang semegah ini burungnya tidak begitu rame. Jaring sudah dibabat kembali fokus ke primata, agenda selanjutnya adalah analisa hasil bersama mbak Salmah dari hasil pengamatan kelompok kelompok menggunakan rumus yang telah diajarkan sebelumnya dan penggunaan aplikasi pemetaan untuk jalur yang telah dilewati. Perhitungan untuk hasil pengamatan tergolong mudah, tapi hanya sayanya saja yang terlalu pintar sehingga sedikit kebingungan dengan penjelasan materi sebelumnya hehe. Setelah analisa hasil selesai, diadakan pematerian oleh mas Anton, yang ditemani dengan suasana hujan yang lumayan deras. Materi dari mas Anton lebih ke sharing tentang jalan pengalaman beliau selama bergerak dan berdedikasi di bidang konservasi terutama konservasi primata yang sangat menginspirasi para peserta untuk konsisten bergerak dalam melakukan kegiatan konservasi dan untuk selalu bergembira dalam bekerja. Pematerian selesai sekitar jam empat sore setelah itu adalah kegiatan luang. Salah seorang teman yang sedang iseng iseng memantau sekitar melihat suatu yang tidak asing, dan seekor surili terpantau sedang bersantai sore hari di atas tajuk pohon yang dimana dari pendopo pertemuan terlihat jelas. Tentu saja tanpa waktu lama surili tersebut langsung menjadi pusat perhatian, surili sadar kamera tersebut nangkring lumayan lama dan anteng sehingga teman teman telah puas mengamati dan mengambil fotonya sebelum akhirnya primata tersebut turun menghilang.
Pukul 7 malam dan pematerian selanjutnya dimulai yaitu tentang metode survey primata khususnya owa jawa menggunakan vocal counting atau penghitungan jumlah kelompok owa menggunakan suara. Konsep dari vocal count sendiri adalah owa merupakan primata yang berkelompok dan memiliki wilayah teritorial yang stabil serta dipimpin oleh betina yang untuk menandai wilayahnya menggunakan cara melakukan suara great call pada pagi setelah matahari terbit sedangkan untuk jantan biasanya bersuara pada dini hari sebelum matahari terbit. Jadi untuk memetakan atau memprediksi jumlah kelompok owa dapat menggunakan vocal count, triangulasi dengan pos pendengaran lebih dari 1. Untuk data data yang diperlukan yaitu terdapat data utama berupa waktu dan sudut kompas, sedangkan data pendukung berupa prediksi jarak dan jumlah dari great call. Semakin banyak sudut kompas yang membidik arah suara dan didapatkan perpotongan semakin valid data yang didapatkan. Penentuan dari pos pendengaran sendiri yaitu minimal 3 titik pendengaran, tempatnya tinggi, dan bebas dari sumber kebisingan. Waktu sudah malam dan esok hari harus bangun pagi untuk penghitungan suara owa, maka pematerian dicukupkan. Selamat tidur.
Hari ke tiga tanggal 13 alias hari terakhir di tempat indah ini. Sesuai agenda pagi pagi sekali kami telah bangun tidur meski tidak mandi terlebih dahulu dan bersiap ke lapangan untuk mendengarkan dan menghitung suara owa betina pemimpin kelompok. Seperti sebelumnya dibagi lagi tetapi hanya 2 kelompok dengan jalur masing masing, kali ini saya kebagian titik rumah pohon dan tidak seperti sebelumnya yang harus langsung trabas sungai, jalur yang satu ini di awali dengan melewati jalan aspal dan langsung naik ke bukit dengan tutupan lahan yang kurang rapat berbeda dengan jalur lawas kemarin. Sesampainya di titik pos pendengaran kami langsung memposisikan diri duduk dan fokus mendengarkan setiap suara owa betina yang melakukan great call mencatat data yang diperlukan. Dikarenakan kali ini metode yang digunakan adalah berdiam di satu titik dan tidak bergerak seperti line transek maka menimbulkan rasa gabut pada para pengamat sehingga mengakibatkan keadaan kurang fokus pada tujuan dan khilaf untuk asik saling mengobrol. Pengamatan menggunakan metode vocal count ini dilakukan sampai jam 9. Pengamatan di akhiri lalu dilakukan kegiatan wajib yaitu foto bersama, sebelum kembali ke basecamp tercinta rumah pak Tasuri. Kalau sebelumnya di jalur lawas salam kepulangan saya dapatkan dari semut semut, kali ini seekor elang kemungkinan Elang Jawa tanpa disadari telah lama tengger di dekat pos pengamatan lalu terbang menjauh saat kami akan turun, sama sakitnya dengan tergigit semut kemarin.
Untuk menghemat waktu sesampainya di tempat pak Tasuri langsung dilakukan analisa hasil pengamatan dari setiap pos menggunakan aplikasi BaseCamp untuk pemetaan kelompok. Sebelum data dimasukan dilakukan terlebih dulu pencocokan kesamaan waktu setiap pos atau jumlah greatcall, lalu dipetakan menurut sudut kompas suara dan lokasi asal suara. Kelompok yang masuk dalam analisis yaitu yang minimal terdengar dari 2 titik pengamatan. Karena terjadi kekhilafan saat mengambil data maka ada beberapa data yang kurang lengkap dan tidak dipakai hehe.. .Proses pemetaan menggunakan aplikasi BaseCamp seluruh peserta mencoba sendiri satu persatu dalam pendampingan mbak Salmah. Seusai melakukan pemetaan dari hasil pengamatan menggunakan vocal count, mbak Salmah memberikan materi tentang spesies distribution modeling pada primata, yaitu metode analisa untuk memprediksi distribusi geografis satwa pada waktu tertentu berdasarkan data lingkungan yang berpengaruh menggunakan software Maxent. Dengan diakhirinya materi terakhir maka selesai sudah rangkaian kegiatan Pelatihan Survey Primata 2019. Penutupan acara dilakukan oleh mas Wawan dan beliau berharap untuk para peserta untuk tidak berhenti hanya pada kegiatan MSP dalam upaya konservasi primata.
Kendaraan yang menjemput kami pulang ke Jogja datang jam 4 sore, masih ada senggang waktu lama, kesempatan tersebut kami manfaatkan untuk merasakan slulup air sungai di Petungkriyono yang masih sangat bening. Ada keberuntungan yang datang pada jam jam akhir di tempat ini, salah satu list target saya raja udang kalung biru mondar mandir tanpa malu diatas sungai tempat kami menyeburkan diri. Puas dengan sungai dan raja udang kami kembali ke basecamp untuk berkemas dan kembali ke Jogja. waktu kepulangan siang hari membuat kami bisa menikmati jalan di Petungkriyono dari atas pickup dengan view yang berbeda dengan saat awal berangkat. Turun dari pickup ganti naik elf dan perjalanan kembali ke realita masing masing.
Sungguh suatu berkah bisa ikut kegiatan satu ini, saya sebagai masyarakat umum sangat jarang kesempatan untuk mendapatkan ilmu tentang dunia konservasi khususnya primata yang juga disampaikan oleh pemateri-pemateri yang telah ahli pada bidangnya dan dikegiatan ini saya mendapatkan kesempatan tersebut. Lokasi kegiatan yang berada di Petungkriyono juga sangat berkesan bagi saya yang baru pertama kali mengunjunginya, tempat harus dikunjungi lagi. Serta waktu bersama kawan lama dan kawan baru juga akan sulit untuk dilupakan. Terima kasih banyak untuk semua pihak yang berjuang keras untuk terciptanya dan melancarkan berjalannya event ini. Semoga kedepannya event MSP tetap bisa dilakukan secara rutin tiap tahun dan semua kalangan bisa mendepatkan kesempatan untuk mengikutinya, mungkin saya ikut lagi hehe.
Nolak lomba birdwatching, berkah gratisan main ke petungkriyono dan gagal vakum dunia konservasi, terima kasih hahaha 😀