Penulis : Aina Nur Fitri
Hutan adalah kawasan habitat berbagai jenis pohon dan jenis tumbuhan lainnya (Purwaningsih, 2022). Sebagai salah satu sumberdaya alam, fungsi yang ditawarkan hutan sangatlah beragam, baik dari aspek sosial ekonomi, hingga aspek perlindungan (Birgantoro, 2007 dalam Wenno et al., 2021). Selain itu, manfaat hutan secara langsung dapat dilihat dari kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pangan dan papan, sementara manfaat tidak langsung hutan adalah menjadi sumber devisa negara, habitat plasma nutfah, penunjang fungsi hidroorologi serta potensi objek daya tarik ekowisata (Nabila et al., 2017 dalam Wenno et al., 2021). Namun sebaliknya, dengan fungsi penting yang ada pada hutan, keberadaannya semakin menurun setiap waktu. Di Indonesia sendiri tercatat memiliki luasan hutan sekitar 9,7 juta Ha yang menyusun separuh luas total kawasan hutan di Asia (Wenno et al., 2021). Berdasarkan data tahun 1990-2020 yang menyatakan tren penurunan luas hutan mencapai 19%, dan diprediksi akan bertambah menjadi 20% dalam rentang 2005-2025 (beritasatu.com), menjadikan upaya konservasi perlu dilakukan agar kawasan hutan tetap lestari.
Beberapa upaya konservasi hutan yang dapat dilakukan meliputi pembentukan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan sebagainya. Dimana dalam penentuan jenis upaya tersebut telah mempertimbangkan faktor-faktor tertentu, termasuk mempertimbangkan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Seperti pada kawasan Gunung Merapi yang mana dilakukan upaya konservasi hutan dengan cara pembentukan Taman Nasional. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut memiliki nilai penting, meliputi sumber air, kawasan vulkanik, serta habitat berbagai flora dan fauna. Selain beberapa upaya konservasi tersebut, dewasa ini dikenal upaya efektif dalam konservasi hutan, yaitu dengan konsep hutan keramat.
Konsep hutan keramat adalah cara konservasi yang didasarkan pada nilai kearifan lokal yang ada di sekitar masyarakat. Seperti yang dinyatakan Maridi (2015) kearifan lokal dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dengan adanya tempat yang dianggap keramat, dalam hal ini dimisalkan bahwa keberadaan pohon beringin yang dianggap keramat. Dengan anggapan tersebut, maka termasuk upaya konservasi karena akan menjaga sumber air dengan adanya akar pohon beringin yang sangat banyak. Berdasarkan penelitian Alanindra (2012) dalam Maridi (2015), konsep ini telah diterapkan di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul melalui pembentukan kelompok yang disebut sebagai “Jagawana”. Kelompok ini memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara vegetasi di daerah tangkapan air mata air Wonosadi. Dengan diterapkannya konsep hutan keramat di desa Beji, berbagai potensi baik seperti flora, fauna, maupun sumberdaya air akan terjaga dengan baik. Selain itu, dilansir dari antaranews.com, peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan BRIN Ni Kadek Erosi Undaharta mengatakan bahwa di Bali juga memiliki hukum adat yang berkaitan dengan pelestarian tumbuhan, yang mana diatur dalam hukum adat Bali dan dikenal dengan awig-awig. Namun, terlepas dari nilai positif yang diberikan dari adanya hutan keramat, Kadek juga menambahkan bahwa perlu diperhatikan dalam konsep ini memiliki kerentanan yang tinggi apabila terjadi erosi pada nilai budaya yang berdampak pada berkurangnya nilai perlindungan.
Sunber :
Maridi. (2015). Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air. Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS, 20-39.
Purwaningsih, S. D. (2022). Pemahaman Masyarakat Sekitar Hutan Pada Informasi Konservasi Hutan Dalam Memanfaatkan Dan Melestarikan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal IKRAITH-HUMANIORA, Vol. 6(1) : 110-120.
Wenno, A., Puttileihalat, M. M. S., dan Latupapua, Y. Th. (2021). Kearifan Lokal Sebagai Bentuk Konservasi Tradisional Sumberdaya Alam Di Desa Tamilouw Kabupaten Maluku Tengah. 107-115.