Arsip:

Forestation Pintar

Mengenal Hutan Perempuan di Papua

Penulis : Galuh Sekar A.

Gambar oleh : Moch. Fikri diambil dari Econusa.id

Salah satu kawasan hutan bakau atau mangrove di Teluk Youtefa, Kota Jayapura dikenal dengan Hutan Perempuan. Penamaan hutan perempuan ini karena adanya kearifan lokal yang unik dijalankan oleh kampung Enggros dan Tobati yaitu aturan mengenai laki-laki dan perempuan dalam hal berinterekasi sosial dalam kehidupan sehari-harinya yaitu apabila laki-laki berkumpul di para-para atau seperti balai kampung dan bertugas mencari kebutuhan pangan di laut. Sedangkan perempuan berkumpul dan mencari bahan pangan di hutan bakau, apabila ada laki-laki yang masuk dalam hutan bakau tersebut maka akan dikenai dengan sanksi denda (Finaka, 2022). Denda yang diberikan berupa manik-manik dengan terdapat tiga variasi warna yang memiliki nilai denda yang berbeda, untuk manik yang paling tinggi harganya yaitu setara dengan Rp.1.000.000 yang memiliki warna biru. Sedangkan manik berwarna hijau memiliki nilai yang setara Rp. 500.000 dan manik berwarna putih memiliki nilai sekitar Rp. 300.000 (Amindoni, 2021).

Gambar oleh : Anggita Ayu Indari diambil dari Econusa.id

Kearifan lokal mengenai hutan perempuan juga dibangun melalui tradisi tonotwiyat yang artinya mengunjungi hutan bakau. Istilah tonowiyat berasal dari kata tonot berarti hutan bakau dan wiyat berarti ajakan. Tradisi tonotwiyat menjadi suatu bentuk awal untuk mengenalkan hutan bakau. Dari tradisi tersebut mulai dikenalkan untuk mencari kerang di hutan bakau. Kebiasaan mencari kerang di hutan bakau ini telah dibangun secara turun-temurun, sehingga kaum perempuan Papua di Teluk Youtefa sangat bergantung pada hutan bakau untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Kebiasaan mencari kerang rawa juga menjadi salah satu bentuk interaksi sosial bagi kaum perempuan di Teluk Youtefa (Hamuna dkk., 2018).

Waktu yang tepat untuk mencari kerang yaitu ketika air sedang surut, biasanya kaum perempuan sudah bergegas untuk menyiapkan ember dan wadah untuk menampung kerang. Ada kebiasaan yang unik yaitu para perempuan pencari kerang sebelum menyelam ke dalam air, mereka akan meninggalkan pakaian mereka. Hal tersebut dikarenakan ketika menyelam menggunakan pakaian akan merasakan gatal karena lumpur akan ke dalam pakaian. Kondisi hutan yang berlumpur mengakibatkan akan banyak lumpur yang masuk ke dalam pakaian. Untuk menghindari hal itu maka kebiasaan yang dilakukan yaitu menyelam tanpa menggunakan busana. Ketika mencari kerang mereka akan menggunakan kaki untuk meraba keberadaan kerang, pencarian kerang ini membutuhkan perasaan karena kerang yang dicari merupakan jenis kerang yang memiliki kulit tipis. Dalam proses pencarian kerang ini biasanya mereka sembari menyenandungkan lagu berbahasa Enggros ataupun mereka mulai berbincang dan menyuarakan pendapat mereka tentang kehidupan yang dijalaninya (Amindoni, 2021).

Menurut Organes Meradju selaku tokoh masyarakat Kampung Enggros mengatakan bahwa keberadaan hutan perempuan ini bukan hanya sebatas sebagai ladang pangan, namun juga sebagai bentuk kebebasan bagi perempuan di Kampung Enggros. Hal ini dikarenakan  terdapat beberapa hukum adat yang sifatnya membatasi hak perempuan seperti tidak diperbolehkanya untuk berkumpul di para-para karena hukum memposisikan perempuan merupakan orang yang paling bersih sehingga tidak diperkenankan untuk mendengarkan kata-kata kasar. Serta seorang perempuan tidak boleh ketawa tinggi-tinggi dan tidak boleh dimaki-maki. Adanya hutan perempuan memberikan ruang tersendiri bagi kaum perempuan di Kampung Enggros untuk bercerita dan berkeluhkesah.

Namun, keadaan hutan mangrove di Teluk Youtefa sudah mengalami kerusakan yang cukup serius, hal ini dijelaskan oleh salah satu tokoh perempuan Enggros bahwa sekarang mencari bia atau dalam bahasa Indonesia disebut kerang sudah mulai sulit, dan hasil kerang yang didapatkan tidak sebanyak dulu. Menurutnya, hutan perempuan menjadi sebuah surga kecil yang dirusaki oleh tangan manusia. Sudah banyaknya sampah plastik yang ditemukan di hutan perempuan menyebabkan kondisi hutan mangrove menjadi kotor dan menjadi sarang nyamuk. Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya hutan mangrove yang sudah rusak. Laju degradasi hutan mangrove di Teluk Youtefa termasuk dalam kondisi yang cukup ekstrim. Berdasarkan data pembukaan hutan mangrove pada tahun 1967 menyisakan kawasan mangrove seluas 112,81 ha dari luas awalnya yaitu 364,95 ha. Pada tahun 2008 laju degradasi mencapai 1,33 ha/tahun. Tingginya laju degradasi disebabkan karena banyaknya pembukaan hutan mangrove untuk pengembangan kota Jayapura yang membutuhkan transportasi jalan lingkar (Handono dkk., 2014).

Hutan Perempuan di Teluk Youtefa menjadi sebuah kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai penting, baik untuk nilai ekonomi bagi masyarakat bahkan untuk nilai sosial. Keberadaanya menjadi sesuatu harta yang berharga terutama untuk kaum perempuan di kampung Enggros dan Tobati. Kearifan lokal yang sudah terbangun sejak lama ini patut dilestarikan dan diakui keberadanya. Kesakralan hutan perempuan ini bisa dapat menjadi salah satu langkah untuk tetap melestarikan hutan mangrove di Teluk Youtefa.

 

Referensi :

Amindoni, Ayomi. 2021. Hari Air Sedunia : Hutan Perempuan di Papua, ‘surga kecil yang dirusak manusia’. BBC Newa Indonesia. Diakses pada tanggal 10 November 2022 dari : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56276719

Amindoni, Ayomi. 2021. Kisah para pelestari hutan bakau khusus perempuan di Teluk Youtefa, Papua ‘Hutan Perempuan sudah jadi satu dengan adat kami’. BBC Newa Indonesia. Diakses pada tanggal 10 November 2022 dari : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56269816

EcoNusa.id. 2020. Hutan Perempuan, Kampung Enggros, Papua. Diakses dari : https://econusa.id/id/galeri/hutan-perempuan-kampung-enggros-papua/

Finaka, A. W. 2022. Uniknya Hutan Adat Perempuan Papua. Indonesia baik.id. Diakses pada tanggal 10 November 2022 dari : https://indonesiabaik.id/infografis/uniknya-hutan-adat-perempuan-papua

Hamuna, B., Sari, A. N., & Megawati, R. 2018. Kondisi Hutan Mangrove di Kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera: A Scientific Journal35(2), 75-83.

Handono, N., Tanjung, R. H., & Zebua, L. I. 2014. Struktur vegetasi dan nilai ekonomi hutan mangrove Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua. Jurnal Biologi Papua6(1), 1-11.

Indari, A. A., 2020. Hutan Perempuan, Pelestarian Ekosistem Bakau oleh Perempuan Enggros. Diakses dari : https://econusa.id/id/galeri/hutan-perempuan-kampung-enggros-papua/

Hutan Kota untuk Peningkatan Kualitas Hidup

Penulis : Aina Nur Fitri

Sumber : Freepik.com

Hutan kota merupakan bagian dari ruang terbuka hijau yang ada di kawasan perkotaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.03/Menhut-V/2004, hutan kota dapat diartikan sebagai satu kesatuan ekosistem berupa hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, secara garis besar hutan kota adalah ruang terbuka yang berisi komunitas vegetasi berupa asosiasi pepohonan dengan berbagai bentuk dan memiliki struktur menyerupai ekosistem hutan alam sehingga memungkinkan kehidupan bagi satwa liar (Irwan, 1994 dalam Alfian dan Kurniawan, 2010). Menurut Marini (1996) dalam Alfian dan Kurniawan (2010), hutan kota terdiri dari berbagai tipe sesuai dengan tujuan dan peruntukannya, meliputi hutan kota konservasi, hutan kota zona industri, hutan kota wilayah pemukiman, hutan kota wisata, hutan kota perlindungan satwa, dan berbagai tipe lainnya. 

Terdapat beberapa bentuk hutan kota menurut Irwan (1994) dalam Alfian dan Kurniawan (2010), meliputi bentuk bergerombol atau menumpuk, menyebar, dan berbentuk jalur. Bentuk bergerombol atau menumpuk, yaitu bentuk hutan kota dengan komunitas vegetasi yang terkonsentrasi di suatu areal dengan minimal jumlah 100 pohon dan jarak tanam rapat tidak beraturan. Sementara bentuk menyebar, yaitu hutan kota tanpa pola tertentu dengan vegetasi yang tumbuh terpencar membentuk rumpun atau kelompok kecil. Terakhir, bentuk jalur adalah hutan kota dengan vegetasi yang tumbuh pada lahan berbentuk jalur atau mengikuti bentuk tertentu, seperti sungai, jalan, pantai, dan sebagainya. Selain bentuk, terdapat juga istilah struktur hutan kota, yaitu komposisi jumlah dan keanekaragaman komunitas vegetasi penyusun hutan kota. Struktur hutan kota ini dapat dibagi menjadi berstrata dua, yaitu komunitas vegetasi penyusun hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rerumputan atau penutup lain, dan berstrata banyak, yaitu komposisi hutan kota terdiri dari pepohonan dan rerumputan, serta terdapat semak, liana, dan ditemukan juga semai-semai anakan dengan jarak tanam rapat tak beraturan menyerupai komunitas vegetasi yang ada di hutan alam (Alfian dan Kurniawan, 2010).  

Banyak hutan kota yang ada di Indonesia, antara lain hutan kota Malabar yang ada di Malang dan hutan kota Bukit Senja di kota Singkawang. Hutan kota Malabar memiliki pola pertanaman yang tidak teratur dan vegetasi yang ada tumbuh secara menyebar dengan tumbuhan sejenis tidak tumbuh secara terkonsentrasi, sehingga dapat ditentukan bahwa bentuk hutan kota Malabar adalah menyebar. Dengan struktur yang terdiri dari strata pepohonan, rumput, semak, perdu, dan terdapat juga anakan dari beberapa jenis pohon menjadikan hutan kota Malabar termasuk dalam struktur strata banyak (Alfian dan Kurniawan, 2010). Sementara hutan kota Bukit Senja memiliki karakter, yaitu tersusun atas 35 spesies yang tersebar dalam empat tingkat pertumbuhan, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Salah satu jenis vegetasi yang ditemukan di hutan kota Bukit Senja adalah Hevea brasiliensis dan Durio zibethinus (Melaponty et al., 2019).

Keberadaan hutan kota memiliki berbagai manfaat, salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup. Dimana berdasarkan aspek ekologis hutan kota mampu menghadirkan udara yang segar dan sejuk sehingga masyarakat merasa nyaman. Jika dilihat dari aspek lanskap, penempatan hutan kota yang tepat dapat mengurangi polusi dari kendaraan bermotor, baik polusi udara maupun suara (Alfian dan Kurniawan, 2010). Selain itu, dalam peningkatan kualitas hidup, hutan kota juga dapat ditinjau perannya dalam siklus air dimana hutan kota mampu meredam hujan yang menerpa tanah melalui sistem presipitasinya, sehingga dapat menahan erosi dengan mengalirkan air hujan secara perlahan masuk ke dalam tanah sebagai air tanah bukan sebagai aliran permukaan atau run off. Dengan demikian adanya aliran permukaan dapat ditekan dan kemungkinan terjadi erosi maupun longsor dapat diminimalisir. 

Hutan kota juga memiliki manfaat lain berdasarkan aspek estetika. Keberadaan hutan kota dapat meningkatkan nilai estetika dengan penambahan corak identitas dalam perencanaan pembangunan suatu kota (Paransi et al., 2021). Selain itu, dengan bentuk dan struktur yang sesuai, hutan kota dapat memiliki daya tarik akan keindahannya bagi pengunjung untuk datang ke hutan kota. Sesuai dengan pendapat Paransi et al. (2021) bahwa hutan kota yang memiliki strata banyak akan bernilai estetika lebih tinggi. 

 

Referensi

Alfian, R dan Kurniawan, H. 2010. Identifikasi Bentuk, Struktur dan Peranan Hutan Kota Malabar Malang. Buana Sains. Vol. 10 (2) : 195-201.

Melaponty, D. P., Fahrizal, dan Manurung, T. F. 2019. Keanekaragaman Jenis Vegetasi Tegakan Hutan Pada Kawasan Hutan Kota Bukit Senja Kecamatan Singkawang Tengah Kota Singkawang. Jurnal Hutan Lestari. Vol. 7 (2) : 893-904.

Paransi, S. E., Sangkertadi, dan Wuisang, C. E. V. 2021. Analisis Pemanfaatan Hutan Kota di Kota Kotamobagu. Media Matrasain. Vol. 18 (2) : 1-14.

Pesut Mahakam, Lumba-Lumba Asli Indonesia

Penulis : Imam Mutofik

Pada Peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2022 ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya melepasliarkan 3 ekor lumba-lumba hidung botol yang berlokasi di Taman Nasional Bali Barat, Gilimanuk, Bali. Ketiga mamalia laut tersebut merupakan lumba-lumba yang berhasil diselamatkan oleh KLHK dari aktivitas atraksi lumba-lumba. Menteri Siti menekankan bahwa penyelamatan satwa sebagai komponen penting dari rantai makanan dalam suatu ekosistem harus terus diupayakan, yang bertujuan untuk melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati di Indonesia. Berbicara mengenai lumba-lumba, Indonesia juga mempunyai spesies lumba-lumba yang endemik atau asli dari Indonesia yaitu pesut mahakam.

Sumber Gambar : pusfaster.bsilhk.menlhk.go.id

Pesut mahakam (Orcaella brevirostris) merupakan mamalia akuatik sejenis lumba-lumba yang hidup di perairan tawar. Pesut mahakam memiliki daerah sebaran yang sangat terbatas di Indonesia, satwa ini merupakan satu-satunya jenis lumba-lumba yang ditemukan hidup di perairan tawar. Sesuai dengan namanya, habitat dari pesut ini berada di Sungai Mahakam yang ada di Provinsi Kalimantan Timur, sehingga pesut mahakam ini dikategorikan sebagai satwa endemik dari Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Populasi pesut mahakam ini terisolasi di Sungai Mahakam dan tidak menyebar merata di seluruh bagian sungai. Keberadaanya terkonsentrasi di bagian tengah Sungai Mahakam. Saat ini jumlah pesut mahakam dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Berdasarkan beberapa penelitian, dilaporkan bahwa populasi pesut mahakam saat ini hanya sekitar 80 ekor. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan pesut mahakam ke dalam daftar critically endangered (sangat terancam punah) dan masuk dalam Appendix I pada CITES.

Penurunan jumlah populasi pesut mahakam disebabkan oleh beberapa ancaman. Ancaman yang utama yaitu terjadinya penyusutan habitat. Penyusutan habitat yang terjadi merupakan dampak dari adanya aktivitas manusia, dimana terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat menyebabkan degradasi habitat dan hilangnya habitat bagi banyak spesies. Selain itu, perubahan kualitas air sungai akibat dari pembangunan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi pesut mahakam. Ancaman lain terhadap kelestarian pesut mahakam adalah kematian yang disebabkan oleh jaring nelayan. Hal ini disebabkan pesut mahakam memiliki kecenderungan untuk memangsa ikan-ikan yang terjerat di jaring nelayan. Ikan yang terperangkap tentunya lebih mudah dimangsa oleh pesut mahakam, namun resiko besar yang dihadapi ketika memangsa ikan di jaring nelayan ini mereka bisa ikut terjerat oleh jaring itu. Apabila terjerat dan tidak mampu melepaskan diri lagi maka pesut mahakam akan mati karena tidak bisa ke permukaan untuk bernafas.

Dibalik status konservasinya yang terancam punah, keberadaan pesut mahakam ini mempunyai peranan yang begitu penting terhadap lingkungan. Pesut mahakam dapat berguna bagi nelayan dalam menentukan lokasi dan waktu untuk mencari ikan. Selain itu, secara ekologis pesut mahakam juga dapat berperan sabagai indikator bagi kualitas lingkungan hidup. Pesut mahakam akan mendiami daerah perairan dengan kedalaman yang sesuai untuknya, bila keberadaan pesut mahakam tidak dapat ditemukan di perairan tersebut, maka menandakan perairan tersebut telah mengalami pendangkalan.

Mengingat fakta bahwa populasi dari pesut mahakam terus berkurang setiap tahunnya, maka perlu adanya upaya perlindungan terhadap kelestarian pesut mahakam ini. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk terus menjaga kelestarian dari pesut mahakam yaitu dengan upaya konservasi untuk melindungi habitat pesut mahakam dari pencemaran dan penangkapan, melindungi habitatnya untuk menjaga keberadaan sumber makanan alami pesut mahakam, serta mengajak masyarakat untuk terus melestarikan pesut mahakam. Upaya konservasi ini juga akan berjalan dengan efektif apabila mendapat dukungan dari pemerintah serta pastisipasi yang aktif dari masyarakat. Dengan upaya ini harapannya keberadaan pesut mahakam dapat tetap terjaga dan lestari. Sehingga generasi mendatang masih dapat melihat betapa cantiknya satwa endemik khas Kalimantan Timur ini.

 

Referensi:

Anugrah, N. (2022). Peringati HKAN 2022, Menteri LHK Lepasliarkan 3 Ekor Lumba-Lumba di Bali. Kementerian LHK [diakses 08 September 2022 di Peringati HKAN 2022, Menteri LHK Lepasliarkan 3 Ekor Lumba-Lumba di Bali – Kementerian LHK (menlhk.go.id)]

Asiatoday Editor. (2022). The Mahakam Dolphin Population in Indonesia is Increasingly Under Threat. Asiatoday.id. [diakses 08 September 2022 di https://asiatoday.id/read/populasi-pesut-mahakam-di-indonesia-kian-terancam]

Noor, I. Y. (2016). Pesut Mahakam. Profil, Peluang Kepunahan dan Upaya Konservasinya. Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Permana, R., Akbarsyah, N., & Rahman, T. (2022). Konservasi Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) Berbasis Kearifan Lokal di Kalimantan Timur, Indonesia. Aurelia Journal, 4(1), 1-8.

Syakira, H. (2022). Menteri LHK Lepasliarkan 3 Ekor Lumba-Lumba di Bali. Pusfaster [diakses 11 September 2022 di https://pusfaster.bsilhk.menlhk.go.id/index.php/2022/09/04/menteri-lhk-lepasliarkan-3-ekor-lumba-lumba-di-bali/]

Konservasi dalam Balutan Kearifan Lokal : Hutan Adat Sungai Utik di Kalimantan Barat

Penulis : Galuh Sekar A. R.

Kearifan lokal merupakan suatu aspek kehidupan yang mengatur segala aspek kehidupan seperti hubungan sosial antar masyarakat, ritual ibadah, kepercayaan hingga hukum adat, maka dari itu kearifan lokal yang berkembang disetiap masyarakat menjadi berbeda berdasarkan perbedaan asal tempat dan waktu. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena kondisi alam dan kebutuhan hidup masyarakat yang beragam sehingga kemudian memunculkan sistem pengetahuan tersendiri berkaitan dengan pengetahuan lingkungan dan sosial (Suhartini, 2009 dalam Persada dkk., 2018).

Pengetahuan masyarakat terkait dengan lingkungan biasanya tergambar dalam suatu kearifan lokal yang dibangun dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan di beberapa daerah di Indonesia, masyarakat cenderung memiliki kearifan lokal yang mampu memelihara, melindungi sumberdaya dan mengelola sebuah kawasan hutan. Bahkan kearifan lokal sebagai suatu upaya konservasi telah diakui oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang  No 32 pasal 1 ayat 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup yang menyebutkan bahwa “Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup”.

Sumber : Gambar oleh Rhett Butler diambil dari Mongabay.co.id

Salah satu contoh kearifan lokal di Indoesia yang telah diakui sebagai bentuk pengelolaan hutan secara lestari yaitu Hutan Adat Sungai Utik yang merupakan hutan adat pertama yang menerima sertifikasi ekolabel di Indonesia dengan pengelolaan hutan secara lestari pada tanggal 7 Agustus 2008. Sertifikasi tersebut menunjukkan adanya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari memiliki peran yang cukup penting (Liani dkk., 2015). Bahkan Hutan Adat Sungai Utik bisa mendapatkan penghargaan Equator Prize oleh PBB atas kontribusi dan inisiatif dari masyarakat dan adatnya yang bisa berperan dalam menjaga lingkungan (Prasetyo, 2019).

Sungai Utik secara administrasi berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Secara adat, Sungai Utik menjadi bagian dari Ketemenggungan Jalai Lintang dengan mayoritas masyarakat dari suku Dayak Iban dan sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani baik lahan kering ataupun lahan basah. Suku Dayak Iban memiliki ritual adat yang berkaitan dengan relasi antar manusia dan relasi antara manusia dengan alam. Relasi antara manusia dengan alam dijadikan sebagai prinsip dasar atau pandangan masyarakat Dayak Iban dalam mengelola sumberdaya alam di wilayah adat Sungai Utik (Yuyun, 2006).

Menururt Prasetyo (2021), ritual adat tesebut ditunjukkan dalam konsep pembagian hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Iban dengan membagi kawasan hutan menjadi beberapa kawasan yang terdiri dari  :

  1. Kampong tarohmerupakan kawasan hutan yang tidak boleh diadakan kegiatan perladangan, kegiatan mengambil atau menebang kayu. Kawasan ini ditujukan untuk melindungi mata air dan habitat satwa,
  2. Kampung galaoyaitu kawasan hutan cadangan, kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini yaitu mengambil hasil hutan seperti tanaman obat, kayu untuk bahan bakar atau untuk bahan pembuat sampan. Namun, dalam pemanfatannya dilakukan dengan ketat dan terdapat sanksi adat jika ada pelanggaran,
  3. Kampong endor kerjaialah kawasan hutan produksi yang bertujuan untuk fungsi produksi dan dikelola secara berkelanjutan yaitu berupa pemanenan hasil hutan kayu dengan syarat diameter pohon yang dipanen yaitu lebih dari 30 cm dan kawasan ini juga difungsikan sebagai sumber bibit,
  4. Tanah mali merupakan wilayah hutan yang tidak boleh dibuka untuk aktivitas perladangan (tanah pantang),
  5. Pendam merupakan wilayah yang digunakan sebagai areal perkuburan.

Sistem zonasi yang diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan adat di Sungai Utik dapat menciptakan suatu pemanfatan sumber daya hutan yang dikelola dengan fungsi yang berbeda sehingga dapat menghindari terjadinya eksploitasi secara berlebihan. Adanya sistem zonasi dalam pembagian kawasan hutan didukung dengan adanya kepercayaan dan pandangan masyarakat Sungai Utik dalam memandang pentingnya kawasan hutan. Salah satunya ajaran yang turun menurun yaitu mengenai “babas adalah apai kami, tanah adalah inai kami dan ae adalah darah kami yang memiliki arti hutan adalah bapak kami, tanah adalah ibu kami dan air adalah darah kami” (Pahlevi, 2020).

Kearifan lokal masyarakat Hutan Adat Utik terhadap kawasan hutan menjadi sebuah contoh adanya pengetahuan masyarakat yang sudah diterapkan dari zaman dahulu menjadi suatu nilai-nilai kehidupan yang sangat berarti dan bermanfaat, masyarakat adat Sungai Utik tentunya tidak semua memiliki pendidikan tinggi atas pemahaman ekologi mengenai hutan. Namun, lewat hubungan manusia dengan alam yang terbangun atas kecintaan leluhurnya bisa menyelematkan sebuah kawasan hutan agar tetap lestari.

 

Referensi :

Liani, M. F., Roslinda, E., & Muin, S. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Hutan Lestari4(3).

Pahlevi, Aseanty. 2020. Hutan Adat Maysarakat Iban Sungai Utik Kini Diakui Negara. Mongabay. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 dari : https://www.mongabay.co.id/2020/07/18/hutan-adat-masyarakat-iban-sungai-utik-kini-diakui-negara/

Persada, N. P. R., Mangunjaya, F. M., & Tobing, I. S. 2018. Sasi sebagai budaya konservasi sumber daya alam di kepulauan Maluku. Jurnal Ilmu dan Budaya41(59).

Prasetyo, D. 2021. Analisis Faktor Keberhasilan Desa Adat Dayak Iban Sungai Utik dalam Memenangkan Equator Prize Tahun 2019. Journal of Social and Policy Issues, 94-99.

Yuyun, Indradi. 2006. Kearifan Lokal: Potret Pengelolaan Hutan Adat di Sungai Utik, Kapuas Hulu. Buletin Intip Hutan Edisi I-06/Januari-Februari 2006. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 dari : https://www.lifemosaic.net/images/uploads/Kearifan-Lokal-Pengelolaan-Hutan-Adat-di-Kp-Hulu.pdf

 

Konservasi Inklusif: Seperangkat Humanisme Untuk Alam yang Baru

Penulis : Bilal Adijaya

 

Satu abad sudah kegiatan konservasi secara sadar dilakukan. Mulai dari model konservasi racikan naturalis Belanda tahun 1912 sampai era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah melalui berbagai macam model konservasi yang cukup dinamis dengan satu tujuan yang statis; kelestarian sumber daya dan ekosistemnya[1].

Jalur setapak hutan

Konservasi menjadi ranah yang “sexy” untuk terus diperbincangkan. Pasalnya, kegiatan konservasi terus mengalami perkembangan. Pekerjaan konservasi tidak hanya “ngurusin” alam, tetapi juga menjadi lebih efektif, inklusif, dan berkeadilan. Efektif berarti pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan metode yang mampu mendatangkan output akhir sesuai dengan rencana aksi. Inklusif berarti terbuka; setiap aktor pemanfaat memiliki makna dan otoritas sendiri dalam melihat kawasan hutan. Berkeadilan berarti pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya tersentral pada tujuan kelestarian, tapi juga untuk menyokong sumber penghidupan, bahan pangan, maupun menyokong eksistensi identitas budaya lokal.

Pada era modern seperti sekarang ini, dibutuhkan gerakan konservasi yang menyebar secara persuasif dan substantif. Bukan tak beralasan; ekspansi pembangunan, sawit, maupun konflik kepentingan menjadi beberapa di antara banyak alasan kawasan hutan tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun seiring bertambahnya umur negeri ini. Ambil contoh ekspansi pembangunan, masih menjadi pertanyaan apakah sekian luas kawasan hutan yang dibabat untuk pembangunan rangka besi dan beton terdapat kompensasi sebagai pelega hati? Perlu menjadi perhatian dan keprihatinan bersama, bukan sendiri. Sekali lagi, bukan sendiri! Karena sendiri tidak efektif, bukan inklusif, dan sulit mencapai keadilan.

Ingatkah ketika suku Anak Dalam terkena dampak kebakaran hutan dan lahan pada 2015 dan terpaksa keluar kawasan menghindari asap tebal yang mengganggu sistem pernapasan mereka?[2]. Sama halnya dengan Papua, dua dekade sudah seluas 57.000 hektare diperkirakan ludes dikonversi menjadi perkebunan sawit oleh perusahaan dari Korea[3]. ‘Hutan terkikis, masyarakat meringis,’ begitulah kiranya. Pasalnya, hutan menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitarnya, namun di sisi lain menjadi garda terdepan ekspansi bisnis perusahaan.

Perlu adanya peran dari para pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan. Para pihak yang berkepentingan didorong untuk membangun hubungan yang konstruktif dan terbuka dalam mendengarkan kepentingan dari masing-masing. Para stakeholder yang terlibat sejatinya memiliki tipologi peran yang berbeda mulai dari perencana (planner), pembuat kebijakan (policy creator), fasilitator, pelaksana (implementator), dan peneliti (researcher). Pembagian tipologi peran tersebut dilaksanakan secara integral oleh masing-masing stakeholder ahli di masing-masing tipologi[4]. Karenanya diperlukan model konservasi yang terbuka dari atas ke bawah dan melingkupi semua lini.

Konservasi yang inklusif akan membuka tabir konflik yang berkepanjangan secara perlahan, memutus ego yang menjadi pedang paling tajam di garda terdepan masing-masing aktor pemanfaat, dan membentuk harmonisasi yang satu abad ke belakang sangat sulit untuk dijumpai. Para aktor berkumpul bersama, meletakkan kepentingan masing-masing di tengah meja diskusi, dan memikirkan bagaimana mengedepankan kelestarian alam dengan tetap membawa pulang apa yang diinginkan. Karena sejatinya pembangunan akan terus berlanjut sebagai penunjang kebutuhan ekonomi dan bukan ciri khas dari rezim.

Sudah saatnya konservasi digaungkan bersama dengan lebih lantang. Bukan agresif, tapi persuasif, dan kolaboratif tentunya. Menyisihkan sebentar ketegangan politik, membelakangi sebentar kepentingan pribadi, kemudian mengawinkan konservasi dengan pembangunan. Pembuat kebijakan, sektor swasta, LSM, pengelola balai, akademisi, masyarakat lokal, dan anak-anak muda menjadi saksi terbentuknya konservasi yang pengertian terhadap pembangunan, pembangunan yang pengertian terhadap konservasi, yang nantinya akan menciptakan kegiatan konservasi secara inklusif dan satu produk turunan yang dinamakan pembangunan berkelanjutan.

 

[1] https://forestation.fkt.ugm.ac.id/2018/09/03/sejarah-konservasi-di-indonesia/

[2] https://nasional.tempo.co/read/710806/darurat-asap-kebakaran-hutan-suku-anak-dalam-mengungsi

[3] https://www.pinterpolitik.com/ruang-publik/korindo-dan-ironi-hutan-papua/

[4] Mustafa, F., & Marsoyo, A. (2020). Tipologi Peran Stakeholder dalam Mendukung Reforestasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Planoearth5(1), 35-44.

Sumber gambar : https://relungindonesia.org/2021/07/pengelolaan-kawasan-hutan-meranti-dangku-secara-inklusif-2/

Konservasi Dengan Konsep Hutan Keramat

Penulis : Aina Nur Fitri

Hutan adalah kawasan habitat berbagai jenis pohon dan jenis tumbuhan lainnya (Purwaningsih, 2022). Sebagai salah satu sumberdaya alam, fungsi yang ditawarkan hutan sangatlah beragam, baik dari aspek sosial ekonomi, hingga aspek perlindungan (Birgantoro, 2007 dalam Wenno et al., 2021). Selain itu, manfaat hutan secara langsung dapat dilihat dari kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pangan dan papan, sementara manfaat tidak langsung hutan adalah menjadi sumber devisa negara, habitat plasma nutfah, penunjang fungsi hidroorologi serta potensi objek daya tarik ekowisata (Nabila et al., 2017 dalam Wenno et al., 2021). Namun sebaliknya, dengan fungsi penting yang ada pada hutan, keberadaannya semakin menurun setiap waktu. Di Indonesia sendiri tercatat memiliki luasan hutan sekitar 9,7 juta Ha yang menyusun separuh luas total kawasan hutan di Asia (Wenno et al., 2021). Berdasarkan data tahun 1990-2020 yang menyatakan tren penurunan luas hutan mencapai 19%, dan diprediksi akan bertambah menjadi 20% dalam rentang 2005-2025 (beritasatu.com), menjadikan upaya konservasi perlu dilakukan agar kawasan hutan tetap lestari. 

Beberapa upaya konservasi hutan yang dapat dilakukan meliputi pembentukan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan sebagainya. Dimana dalam penentuan jenis upaya tersebut telah mempertimbangkan faktor-faktor tertentu, termasuk mempertimbangkan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Seperti pada kawasan Gunung Merapi yang mana dilakukan upaya konservasi hutan dengan cara pembentukan Taman Nasional. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut memiliki nilai penting, meliputi sumber air, kawasan vulkanik, serta habitat berbagai flora dan fauna. Selain beberapa upaya konservasi tersebut, dewasa ini dikenal upaya efektif dalam konservasi hutan, yaitu dengan konsep hutan keramat. 

Sumber: ksdae.menlhk.go.id

Konsep hutan  keramat adalah cara konservasi yang didasarkan pada nilai kearifan lokal yang ada di sekitar masyarakat. Seperti yang dinyatakan Maridi (2015) kearifan lokal dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dengan adanya tempat yang dianggap keramat, dalam hal ini dimisalkan bahwa keberadaan pohon beringin yang dianggap keramat. Dengan anggapan tersebut, maka termasuk upaya konservasi karena akan menjaga sumber air dengan adanya akar pohon beringin yang sangat banyak. Berdasarkan penelitian Alanindra (2012) dalam Maridi (2015), konsep ini telah diterapkan di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul melalui pembentukan kelompok yang disebut sebagai “Jagawana”. Kelompok ini memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara vegetasi di daerah tangkapan air mata air Wonosadi. Dengan diterapkannya konsep hutan keramat di desa Beji, berbagai potensi baik seperti flora, fauna, maupun sumberdaya air akan terjaga dengan baik. Selain itu, dilansir dari antaranews.com,  peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan,  Kebun Raya dan Kehutanan BRIN Ni Kadek Erosi Undaharta mengatakan bahwa di Bali juga memiliki hukum adat yang berkaitan dengan pelestarian tumbuhan, yang mana diatur dalam hukum adat Bali dan dikenal dengan awig-awig. Namun, terlepas dari nilai positif yang diberikan dari adanya hutan keramat, Kadek juga menambahkan bahwa perlu diperhatikan dalam konsep ini memiliki kerentanan yang tinggi apabila terjadi erosi pada nilai budaya yang berdampak pada berkurangnya nilai perlindungan. 

 

Sunber :

https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/2924485/peneliti-hutan-keramat-berdampak-signifikan-untuk-konservasi-tumbuhan

https://www.google.com/amp/s/www.beritasatu.com/amp/news/895875/guru-besar-ipb-ungkap-penurunan-luas-hutan-di-indonesia-selama-20-tahun

http://ksdae.menlhk.go.id

Maridi. (2015). Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air. Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS, 20-39.

Purwaningsih,  S. D. (2022). Pemahaman Masyarakat Sekitar Hutan Pada Informasi Konservasi Hutan Dalam Memanfaatkan Dan Melestarikan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal IKRAITH-HUMANIORA, Vol. 6(1) : 110-120.

Wenno, A., Puttileihalat, M. M. S., dan Latupapua, Y. Th. (2021). Kearifan Lokal Sebagai Bentuk Konservasi Tradisional Sumberdaya Alam Di Desa Tamilouw Kabupaten Maluku Tengah. 107-115.