Penulis : Galuh Sekar A. R.
Kearifan lokal merupakan suatu aspek kehidupan yang mengatur segala aspek kehidupan seperti hubungan sosial antar masyarakat, ritual ibadah, kepercayaan hingga hukum adat, maka dari itu kearifan lokal yang berkembang disetiap masyarakat menjadi berbeda berdasarkan perbedaan asal tempat dan waktu. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena kondisi alam dan kebutuhan hidup masyarakat yang beragam sehingga kemudian memunculkan sistem pengetahuan tersendiri berkaitan dengan pengetahuan lingkungan dan sosial (Suhartini, 2009 dalam Persada dkk., 2018).
Pengetahuan masyarakat terkait dengan lingkungan biasanya tergambar dalam suatu kearifan lokal yang dibangun dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan di beberapa daerah di Indonesia, masyarakat cenderung memiliki kearifan lokal yang mampu memelihara, melindungi sumberdaya dan mengelola sebuah kawasan hutan. Bahkan kearifan lokal sebagai suatu upaya konservasi telah diakui oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No 32 pasal 1 ayat 30 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup yang menyebutkan bahwa “Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup”.
Salah satu contoh kearifan lokal di Indoesia yang telah diakui sebagai bentuk pengelolaan hutan secara lestari yaitu Hutan Adat Sungai Utik yang merupakan hutan adat pertama yang menerima sertifikasi ekolabel di Indonesia dengan pengelolaan hutan secara lestari pada tanggal 7 Agustus 2008. Sertifikasi tersebut menunjukkan adanya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari memiliki peran yang cukup penting (Liani dkk., 2015). Bahkan Hutan Adat Sungai Utik bisa mendapatkan penghargaan Equator Prize oleh PBB atas kontribusi dan inisiatif dari masyarakat dan adatnya yang bisa berperan dalam menjaga lingkungan (Prasetyo, 2019).
Sungai Utik secara administrasi berada di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Secara adat, Sungai Utik menjadi bagian dari Ketemenggungan Jalai Lintang dengan mayoritas masyarakat dari suku Dayak Iban dan sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani baik lahan kering ataupun lahan basah. Suku Dayak Iban memiliki ritual adat yang berkaitan dengan relasi antar manusia dan relasi antara manusia dengan alam. Relasi antara manusia dengan alam dijadikan sebagai prinsip dasar atau pandangan masyarakat Dayak Iban dalam mengelola sumberdaya alam di wilayah adat Sungai Utik (Yuyun, 2006).
Menururt Prasetyo (2021), ritual adat tesebut ditunjukkan dalam konsep pembagian hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Iban dengan membagi kawasan hutan menjadi beberapa kawasan yang terdiri dari :
- Kampong tarohmerupakan kawasan hutan yang tidak boleh diadakan kegiatan perladangan, kegiatan mengambil atau menebang kayu. Kawasan ini ditujukan untuk melindungi mata air dan habitat satwa,
- Kampung galaoyaitu kawasan hutan cadangan, kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini yaitu mengambil hasil hutan seperti tanaman obat, kayu untuk bahan bakar atau untuk bahan pembuat sampan. Namun, dalam pemanfatannya dilakukan dengan ketat dan terdapat sanksi adat jika ada pelanggaran,
- Kampong endor kerjaialah kawasan hutan produksi yang bertujuan untuk fungsi produksi dan dikelola secara berkelanjutan yaitu berupa pemanenan hasil hutan kayu dengan syarat diameter pohon yang dipanen yaitu lebih dari 30 cm dan kawasan ini juga difungsikan sebagai sumber bibit,
- Tanah mali merupakan wilayah hutan yang tidak boleh dibuka untuk aktivitas perladangan (tanah pantang),
- Pendam merupakan wilayah yang digunakan sebagai areal perkuburan.
Sistem zonasi yang diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan adat di Sungai Utik dapat menciptakan suatu pemanfatan sumber daya hutan yang dikelola dengan fungsi yang berbeda sehingga dapat menghindari terjadinya eksploitasi secara berlebihan. Adanya sistem zonasi dalam pembagian kawasan hutan didukung dengan adanya kepercayaan dan pandangan masyarakat Sungai Utik dalam memandang pentingnya kawasan hutan. Salah satunya ajaran yang turun menurun yaitu mengenai “babas adalah apai kami, tanah adalah inai kami dan ae adalah darah kami yang memiliki arti hutan adalah bapak kami, tanah adalah ibu kami dan air adalah darah kami” (Pahlevi, 2020).
Kearifan lokal masyarakat Hutan Adat Utik terhadap kawasan hutan menjadi sebuah contoh adanya pengetahuan masyarakat yang sudah diterapkan dari zaman dahulu menjadi suatu nilai-nilai kehidupan yang sangat berarti dan bermanfaat, masyarakat adat Sungai Utik tentunya tidak semua memiliki pendidikan tinggi atas pemahaman ekologi mengenai hutan. Namun, lewat hubungan manusia dengan alam yang terbangun atas kecintaan leluhurnya bisa menyelematkan sebuah kawasan hutan agar tetap lestari.
Referensi :
Liani, M. F., Roslinda, E., & Muin, S. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Hutan Lestari, 4(3).
Pahlevi, Aseanty. 2020. Hutan Adat Maysarakat Iban Sungai Utik Kini Diakui Negara. Mongabay. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 dari : https://www.mongabay.co.id/2020/07/18/hutan-adat-masyarakat-iban-sungai-utik-kini-diakui-negara/
Persada, N. P. R., Mangunjaya, F. M., & Tobing, I. S. 2018. Sasi sebagai budaya konservasi sumber daya alam di kepulauan Maluku. Jurnal Ilmu dan Budaya, 41(59).
Prasetyo, D. 2021. Analisis Faktor Keberhasilan Desa Adat Dayak Iban Sungai Utik dalam Memenangkan Equator Prize Tahun 2019. Journal of Social and Policy Issues, 94-99.
Yuyun, Indradi. 2006. Kearifan Lokal: Potret Pengelolaan Hutan Adat di Sungai Utik, Kapuas Hulu. Buletin Intip Hutan Edisi I-06/Januari-Februari 2006. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022 dari : https://www.lifemosaic.net/images/uploads/Kearifan-Lokal-Pengelolaan-Hutan-Adat-di-Kp-Hulu.pdf