Harimau Terakhir Indonesia
Penulis: Ridwan Guntoro
Disadari atau tidak dengan punahnya harimau sumatera berarti adalah punahnya spesies terakhir harimau yang berada di Indonesia. Kita tahu bahwa harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah, dan disadari atau tidak kita telah kehilangan sumber ilmu pengetahuan kita ditahun 1940-an dan 1970-an dimana masing-masing harimau jawa dan harimau sumatera dinyatakan punah. Energi dan semangat untuk melakukan berbagai tindakan untuk mempertahankanpun tidak didapatkan oleh harimau jawa dan harimau bali. Namun, saat ini memungkinkan menjadi waktu untuk memberikan perhatian terhadap spesies terakhir harimau.
Harimau sumatera memiliki posisi penting bagi ekosistem dimana dia berada. Posisinya adalah puncak rantai makanan dalam ekosistem. Arti penting puncak ini adalah suatu spesies yang berarti menjadi puncak dalam konsumsi dan berperan sebagai penyeimbang dalam suatu ekosistem. Mungkin kita perlu menyegarkan ingatan mengenai puncak rantai makan dan pengatur keseimbangan ekosistem. Pengatur keseimbangan yang dilakukan oleh harimau sumatera adalah pengaturan yang dilakukan secara alami melalui aktivitas pemangsaan. Perlu diketahui bahwa harimau sumatera adalah hewan karnivora yang berarti pemakan daging, dan hewan ini adalah predator yang berarti hewan ini mendapatkan makanan dengan cara memburu mangsanya.
Bagaimana harimau sumatera mengatur ekosistem agar tetap seimbang? Beberapa peneliti menyebutkan harimau sumatera mengatur bagaimana kepadatan satwa yang menjadi mangsanya. Harimau sumatera memiliki sifat untuk memilih mangsa yang mudah didapatkan. Ini adalah sifat oportunistik satwa secara umum dan juga dimiliki oleh harimau sumatera. Mangsa yang terlalu padat disekitar lokasi harimau sumatera akan menjadi mangsa yang mudah untuk harimau sumatera. Pengurangan kepadatan spesies di sekitar harimau sumatera akan memunculkan ruang bagi spesies lain. Spesies lain akan memenuhi ruang kosong yang ditinggalkan spesies yang termangsa harimau sumatera. Kemudian, mangsa yang telah menempati ruang akan berkembang dan mencari makan. Ketika hal tersebut terjadi, maka spesies baru yang hadir tersebut kemudian juga akan menjadi mangsa bagi harimau sumatera.
Paragraf diatas merupakan salah satu alasan mengapa harimau sumatera masih perlu dipertahankan dalam memainkan peran menjaga keseimbangan ekosistem. Kembali mengenai permasalahan punahnya harimau sumatera, harimau sumatera hingga saat ini mengalami berbagai tekanan yang menyebabkan populasinya menurun. Tiga permasalahan utama harimau sumatera antara lain: 1. Perburuan yang menjadi permasalahan langsung penurunan populasi harimau sumatera, 2. Berkurangnya habitat bagi harimau sumatera (bukan sekadar habitat seadanya, namun habitat yang baik dan mampu menunjang kehidupan harimau secara berkelanjutan), dan 3. Berkurangnya spesies mangsa.
Perburuan terhadap harimau sumatera terjadi diakibatkan dua motivasi utama yaitu perburuan harimau sumatera karena bagian tubuhnya diminati oleh pasar dan yang kedua adalah harimau sumatera berkonflik dengan masyarakat. Permasalahan ini sering kita dengar dalam berita-berita mengenai penangkapan terhadap pelaku pemburu harimau sumatera dengan motif untuk diperjual-belikan. Kemudian, berkaitan dengan perburuan yang merupakan akibat adanya konflik dengan harimau sumatera, sering kita mendengar antara masyarakat yang hidup disekitar habitat harimau sumatera. Permasalahan perburuan hingga saat ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan. Insentif terhadap perburuan diwujudkan dengan berbagai hal mulai dari pencegahan hingga penegakan. Namun, kita masih sering mendengar berita semacam itu yang berarti penurunan populasi harimau sumatera masih terus terjadi.
Kedua mengenai habitat harimau sumatera yang terus berkurang. Berkurangnya habitat harimau sumatera ditandai dengan berkurangnya luas tutupan lahan berupa hutan dan tergantikan oleh fungsi lain baik perkebunan maupun tutupan lahan lain. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa saat ini telah ditetapkan 12 lokasi intensif untuk penyelamatan harimau sumatera yang berlokasi di hutan-hutan tersisa di pulau sumatera. Hutan-hutan tersisa ini menjadi habitat tersisa bagi harimau sumatera. Lokasi ini sering disebut dengan Tiger Conservation Landscape. Namun sayangnya, keberadaan hutan tersisa ini belum tentu bisa mempertahankan kelestarian harimau sumatera. Mengingat, hutan-hutan tersisa ini terpisah jauhnya antar hutan satu dengna hutan yang lain. Terpisahnya sisa hutan tanpa penyambung atau yang disebut koridor ini sangat memungkinkan percepatan kepunahan lokal harimau sumatera.
Ketiga mengenai berkurangnya mangsa, sebagaimana manusia, harimau sumatera membutuhkan mangsa sebagai proses metabolisme tubuh. Permasalahan berkurangnya mangsa tentunya akan berampak pada kelestarian dari harimau sumatera. Tidak adanya mangsa berarti tidak adanya sumberdaya untuk bertahan hidup maupun reproduksi untuk melanjutkan kelestarian. Beberapa peneliti bahkan secara spesifik menyebutkan kriteria tertentu bagi mangsa harimau sumatera. Kriteria mangsa harimau sumatera sering dikaitkan dengan ukuran yang sepadan dengan harimau sumatera. Namun seiring meningkatnya tekanan terhadap mangsa dan berkurangnya mangsa memungkingkan harimau sumatera harus beradaptasi dengan mangsa tersedia.
Hingga saat ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengusahakan harimau sumatera tetap lestari di habitat aslinya, alam liar. Mungkin menjadi menggemaskan melihat berbagai tayangan di youtube mengenai harimau yang menjadi hewan jinak dan berhasil berkembangbiak. Namun perlu diperhatikan harimau merupakan satwa liar dan memiliki peran terhadap ekosistem dimana dia berada. Menjadi sangat bijak untuk melakukan tindakan yang menjaga dan melestarikan harimau sumatera beserta habitatnya. Untuk seutuhnya menjadikan harimau sumatera tetap sebagai satwa liar.
Referensi:
Imron, M. A. (2011). An individual-based model approach for the conservation of the Sumatran tiger Panthera tigris sumatrae population in central Sumatra. January, 1–200. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.1069.0641
Sunquist, M. (2010). What Is A Tiger? Ecology And Behavior. In Tigers of the World (Second Edi, pp. 19–33). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-8155-1570-8.00002-5
Wibisono, H. T., & Pusparini, W. (2010). Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae): A review of conservation status. Integrative Zoology, 5(4): 313–323. https://doi.org/10.1111/j.1749-4877.2010.00219.x
Mengenal Lebih Dalam Si Sisik yang Suka Berjemur
Penulis: Jangker FORESTATION
Kadal (Lacertilia)
Kadal adalah kelompok reptilia bersisik berkaki empat yang tersebar sangat luas di dunia. Secara ilmiah, kelompok besar ini dikenal sebagai subordo atau anak bangsa Lacertilia yang merupakan anggota dari bangsa reptilia bersisik bersama dengan ular. Kadal pada umumnya bertubuh kecil, padat, bersisik licin dan berkilau, serta hidup di tanah. Kadal pada umumnya memiliki empat kaki, lubang telinga luar, dan kelopak mata yang dapat dibuka-ditutup. Namun, ada pula jenis-jenis yang tidak memiliki sebagian ciri itu.
Keanekaragaman
Saat ini, bangsa kadal terdiri dari sekitar 40 suku dengan bentuk tubuh, warna, dan ukuran tubuh setiap jenisnya yang sangat bervariasi. Sebagian jenis mempunyai sisik-sisik yang halus dan mengkilap seolah-olah dilapisi minyak, tetapi sebenarnya sisik-sisik itu kering karena kadal tidak memiliki pori di kulitnya untuk mengeluarkan keringat atau minyak. Beberapa jenis kadal seperti cecak dan tokek memiliki bulu-bulu khusus di telapak kaki yang berfungsi sebagai perekat saat memanjat pohon atau dinding.
Habitat dan Penyebaran
Kadal adalah reptilia yang paling sukses berkembang dan dapat dijumpai di semua habitat: hutan, gurun pasir, padang rumput, kebun, sawah, rawa, bahkan di pemukiman dan kota-kota, dimanapun selama kadal bisa menemukan makanan kesukaan mereka. Kadal juga dapat hidup di wilayah sejuk seperti pegunungan. Namun, sebagai binatang berdarah dingin (poikiloterm), kadal tidak dapat bertahan terlalu lama di tempat yang bersuhu rendah dan memerlukan sinar matahari sebagai salah satu sumber energi mereka untuk beraktivitas.
Kebiasaan
Sebagian besar kadal aktif pada siang hari dan sebagian lainnya aktif pada malam hari. Sebagian besar kadal memerlukan sinar matahari untuk menghangatkan badannya sebelum beraktivitas. Biasanya, kadal saling berkomunikasi menggunakan isyarat tertentu seperti menggerakkan bagian tubuh tertentu seperti ekor, menjulurkan lidahnya, mengubah-ubah warna kulit atau menaik-turunkan badannya. Pada keadaan tertentu, kadal-kadal jantan seringkali berkelahi untuk memperebutkan wilayah kekuasaan atau kadal betina, seperti saling menggigit atau mencakar, sampai salah satu mengalah dan pergi.
Makanan
Kadal adalah reptil omnivor. Makanan kadal meliputi serangga seperti nyamuk, belalang, atau larva, cacing, amfibia, dan bahkan memakan jenis kadal yang sama. Sebagian kelompok kadal juga menyukai bangkai, bahkan kadal besar seperti komodo juga memangsa hewan besar lainnya, misalnya unggas, rusa atau babi hutan.
Reproduksi
Sebagian besar kadal berkembangbiak dengan bertelur (ovipar). Telur kadal terdiri dari lapisan luar berupa cangkang lunak yang kedap air, kemudian ada dinding dalam berupa selaput, serta zat puti-kuning telur, yang akan berubah menjadi individu kadal baru apabila diinkubasi. Jenis kelamin pada kadal yang akan menetas sangat dipengaruhi suhu udara di sekitarnya. Apabila suhu udara tinggi, telur tersebut akan berisi kadal jantan, sedangkan jika sebaliknya (suhu udara rendah) akan menghasilkan kadal betina. Namun, batas suhu pasti akan menghasilkan jantan atau betina, sampai saat ini masih diperdebatkan.
Kadal yang berbisa
Sejauh ini, dikenal hanya ada dua jenis kadal yang gigitannya terbukti berbisa, yakni kadal monster gila (Heloderma suspectum) dan kadal manik-manik Meksiko (Heloderma horridum). Kedua jenis kadal yang berkerabat ini hidup di gurun di Amerika Serikat bagian barat daya dan Meksiko utara. Meskipun banyak mitos dan legenda tentang kedua makhluk tersebut dan ditemukannya fakta bahwa gigitan mereka bisa menyebabkan luka yang serius, namun belum ada catatan atau informasi mengenai kematian yang terjadi pada manusia akibat gigitan kedua kadal ini.
Referensi:
Ditmars, R.L. 1933. Reptiles of the World: The Crocodilians, Lizards, Snakes, Turtles and Tortoises of the Eastern and Western Hemispheres. New York: Macmillan.
Greenberg, D.A. 2004. Lizards. Singapura: Marshall Cavendish.
Pianka, E.R. and Vitt, L.J. 2003. Lizards: Windows to the Evolution of Diversity. Amerika Serikat: University of California Press.
Burung Migran yang Hanya Ingin Hidup Tenang
Penulis: KP3 Burung
Bulan September hingga bulan Maret adalah waktu dimana bumi bagian utara mengalami musim dingin. Pada bulan-bulan tersebut, burung di wilayah tersebut akan melakukan perjalanan panjang menuju daerah beriklim tropis —atau biasa disebut migrasi— untuk mencari makan dan tempat tinggal sementara dengan suhu yang hangat. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan akhir dari burung migran, dan daerah Yogyakarta menjadi tempat tinggal sementara dari burung migran. Beberapa jenis burung yang bermigrasi ke arah Indonesia adalah burung layang-layang asia (Hirundo rustica), jalak cina (Sturnus sturninus), cerek asia (Charadrius veredus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan elang-alap cina (Accipiter soloensis).
Burung migran akan membuat sarang dan menetap di sekitar Yogyakarta hingga musim dingin di daerah asal mereka berakhir. Beberapa daerah yang dijadikan tempat bersinggah burung migran adalah Jalan Mataram dan muara Sungai Progo. Para burung migran, khususnya burung layang-layang asia bertengger pada pohon yang ada di pinggir jalan atau pada kabel listrik yang ada di sepanjang Jalan Mataram. Hal ini menyebabkan beberapa warga Yogyakarta yang berkendara melewati Jalan Mataram merasa sedikit dirugikan dengan adanya burung migran yang singgah di sekitar Jalan Mataram karena kotoran burung yang membuat jalanan terlihat kotor dan juga bau dari kotorannya yang mengganggu. Beberapa warga bahkan menembaki burung-burung tersebut hanya untuk sekadar mengisi waktu luang mereka. Penembakan burung migran juga terjadi di daerah muara Sungai Progo untuk dikonsumsi.
Pemerintah telah melakukan beberapa usaha untuk mengatasi perburuan burung migran yang terjadi. Beberapa usaha diantaranya yaitu dengan mengajak organisasi yang bergerak di bidang konservasi burung untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di daerah tempat singgah burung migran, serta membuat papan peringatan untuk tidak memburu burung migran. Kepolisian Republik Indonesia juga ikut serta membantu mengatasi perburuan burung dengan peraturan terkait penggunaan senapan angin untuk perburuan burung pada Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2012. Pemerintah melakukan usaha-usaha tersebut untuk melindungi burung migran, agar burung migran tetap lestari dan dapat kembali ke habitat asli mereka.
Referensi:
https://jogja.tribunnews.com/2018/11/23/kota-yogya-tujuan-akhir-kawanan-burung-migran-layang-layang-api-dari-korea-jepang-dan-himalaya (diakses pada 27 Februari 2020)
https://republika.co.id/berita/q28xg4283/migrasi-ratusan-burung-layanglayang-ke-yogyakarta (diakses pada 27 Februari 2020)
Sunda Flying Lemur (Galeopterus variegatus) / Kubung Sunda
Penulis: KP3 Primata
Kubung sunda merupakan salah satu mamalia paralayang terbesar, yang memiliki kulit membran/selaput yang cocok untuk meluncur. Dengan selaputnya ini, seekor kubung mampu meluncur dan melayang dari pohon satu ke pohon yang lain hingga sejauh 110 m. Selaput peluncur (patagium) ini digunakan sebagai kamuflase dengan substrat yang dia hinggapi, yang menyerupai kulit kayu dan batang pohon sehingga dapat memberikan perlindungan dari pemangsa. Satwa ini merupakan satwa arboreal yang beraktivitas di malam hari dan sebagian besar memakan daun (herbivora). Selain memakan daun, ia juga memakan bunga, tunas, buah, dan getah sehingga dapat membantu penyebaran benih serta penyerbukan bunga. Kubung sunda tersebar luas di Asia Tenggara, yang meliputi Penisular Malaysia, Sabah, Serawak, Singapura, Burma, Thailand, Vietnam Selatan, dan Indonesia. Di wilayah Jawa tercatat kehadiran kubung sunda di Jawa Barat (Cagar Alam Pangandaran), Jawa Timur (Taman Nasional Meru Betiri), dan Jawa Tengah (Hutan Kemuning, Temanggung). Kubung sunda memiliki nama banyak lokal seperti kubung melayu, walangkekes, kendung dan panggilan lainnya.
Kubung Sunda merupakan satwa yang sangat arboreal yang sangat bergantung pada adanya hutan. Kubung sunda yang saat ini masih termasuk dalam Least Concern (LC) atau risiko rendah dalam IUCN Red List, harus tetap dijaga kelestariannya karena berperan dalam membantu penyerbukan dan penyebaran biji, penyeimbang ekosistem hutan dan tentunya menjaga keanekaragaman satwa. Yuk, jaga satwa ini agar tidak punah!
Referensi:
Boeadi and Steinmetz, R. 2008. Galeopterus variegatus. The IUCN Red List of Threatened Species.
https://www.mongabay.co.id/2015/02/06/kubung-sunda-mamalia-melayang-yang-menginspirasi-olahraga-wingsuit-flying/ (diakses pada 30 Januari 2020).
Sulistiowati, D. 2019. Perilaku Makan Kubung Sunda (Galeopterus variegatus Audebret, 1799) di Hutan Kemuning, Temanggung, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Vegetasi Riparian, Seberapa Penting Sih?
Penulis: KP3 Wetland
Pada umumnya, di tepian sungai terdapat berbagai jenis vegetasi yang disebut sebagai vegetasi riparian. Vegetasi riparian mungkin terdengar asing oleh orang awam. Padahal, ia berperan besar bagi manusia, hewan, dan ekosistem. Vegetasi riparian merupakan vegetasi yang tumbuh di tepian sungai yang memiliki ciri morfologi, fisiologi, dan reproduksi yang beradaptasi dengan lingkungan basah. Banyak tumbuhan riparian yang mampu beradaptasi terhadap banjir, pengendapan, abrasi fisik, dan patahnya batang akibat banjir. Vegetasi ini memiliki banyak fungsi antara lain menjaga kualitas air sungai, habitat kehidupan liar, mencegah erosi tepian sungai, dan mengatur pertumbuhan flora akuatik baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Selain itu, vegetasi riparian juga merupakan habitat yang cocok bagi berbagai jenis fauna. Secara umum, kondisi vegetasi di daerah tepi danau dan sungai (riparian) masih memperlihatkan jenis-jenis yang masih alami yang terdiri dari pohon dan semak.
Saat ini, banyak bantaran sungai yang mengalami tekanan akibat aktivitas manusia seperti pemanfaatan lahan sebagai pemukiman. Tidak hanya di kota saja, pemanfaatan lahan di sempadan sungai juga banyak ditemukan di pedesaan. Pemilihan lokasi di tepian sungai ini dianggap dapat memberikan kemudahan penduduk dalam mengakses air untuk mandi, cuci, masak, dan aktivitas harian lainnya. Apabila pemanfaatan daerah tepian sungai terlalu tinggi maka dapat menggangggu ekosistem yang ada di dalamnya sehingga peranan dan fungsi vegetasi riparian dapat terganggu.
Peranan vegetasi riparian dari segi biologis yaitu sebagai jasa penyaring atau filter materi tanah dan mineral air serta zat hara yang terkandung di dalamnya. Selain itu, vegetasi riparian juga memiliki kemampuan daya pencar pohon untuk mempertahankan kelangsungan regenerasi dari vegetasi-vegetasi di dalamnya. Vegetasi riparian juga mampu menyediakan pakan bagi satwa liar. Di perkotaan, vegetasi riparian dapat berfungsi sebagai penghalau angin dan menyerap polutan serta mampu menjaga iklim mikro. Secara hidrologis, dalam proses infiltrasi dan perkolasi vegetasi riparian mampu menjaga pelestarian air tanah dalam (ground water) yang sangat esensial dalam pengaturan tata air secara alamiah. Tak hanya itu, vegetasi riparian juga memiliki jasa ekologis yaitu sebagai koridor bagi kehidupan satwa seperti burung, mamalia terbang, bahkan wahana terjadinya mata rantai makanan. Dapat kita lihat bahwa peranan dan fungsi vegetasi riparian sangat banyak dan beragam, selain tu masih banyak peranan yang belum tertuliskan. Maka dari itu, mari kita tingkatkan kepedulian terhadap sungai dengan cara menanam pohon di tepian sungai, membangun rumah atau gedung sesuai dengan AMDAL yang semestinya, dan menjaga vegetasi riparian yang saat ini masih ada.
Sumber :
Siahaan, Ratna. 2004. Pentingnya Mempertahankan Vegetasi Riparian. Makalah Pribadi (Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana/S3). Institut Pertanian Bogor.
Makin Hari Makin Gerah? Wah, Pemanasan Global!
Penulis: Sekbend FORESTATION
Saat ini pemanasan global menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Pemanasan global terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Seiring perkembangan zaman, kebutuhan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya akan semakin tinggi. Hal tersebut berakibat pada semakin besar aktivitas industri, transportasi, pembukaan hutan, usaha pertanian, rumah tangga, dan aktivitas-aktivitas lain yang melepaskan gas rumah kaca. Akibatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan terus meningkat. Salah satu kontributor utama gas rumah kaca adalah CO2. Gas CO2 di hasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara, selain itu gas CO2 juga dapat dihasilkan dari penebangan hutan (deforestasi).
Salah satu akibat dari pemanasan global adalah perubahan iklim. Perubahan iklim global akan terus terjadi dengan peningkatan aktifitas kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon dan selanjutnya akan mengakibatkan kenaikan temperature global. Kenaikan temperatus permukaan bumi dapat menyebabkan melelehnya es di kutub, sehingga tinggi muka air laut pun mengalami peningkatan. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak pemanasan global. Menurut hasil penelitian, di Indonesia telah terjadi peninkatan suhu yang terjadi sepanjang musim dan pengurangan curah hujan. Hal tersebut mengakibatkan kekeringan yang lebih sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan beberapa wilayah di Timur Pulau Jawa. Kekeringan yan terjadi akan mempengaruhi pada banyak sector kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global sangat merugikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meminimalisir dampak dari pemanasan global. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain adalah:
- Secara internasional
- Penerapan Protokol Kyoto
Protocol Kyoto merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Didalam Protokol ini disepakati pengurangan emisi GRK sebesar 5,2% dibawah tingkat emisi rata-rata pada tahun 1990. Periode pertama dimulai pada tahun 2008 hingga 2012.
- Pembentukan badan atau lembaga internasional yang terfokus pada kajian mengenai pemanasan global
- Gerakan moral peduli lingkungan internasional
- Secara nasional
- Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan kepada lingkungan hidup.
- Kebijakan penanggulangan emisi industry
- Pengembangan energy alternative
- Secara individual
- Budaya hemat energy
- Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, dll.
Sumber :
Susandi, A., n.d. Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia 2.
Riyanto. 2007. Strategi Mengatasi Pemanasan Global (Global Warming). Value Added, Vol.3, No.2, Maret 2007.
Mengenal Lebih Dekat dengan Rusa Jawa (Rusa timorensis)
Penulis: Herdwita O.
Rusa Jawa (Rusa timorensis) merupakan salah satu satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Rusa Jawa termasuk jenis satwa liar yang dilindungi karena populasinya yang saat ini cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mengancam kehidupan rusa Jawa di alam liar, antara lain perburuan liar, bencana alam, pertumbuhan penduduk, dan perladangan berpindah yang dapat berpotensi untuk merusak habitatnya. Oleh karena itu, kegiatan konservasi perlu dilakukan untuk menyelamatkan populasi rusa Jawa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan kegiatan penangkaran.
Perilaku harian yang biasa dilakukan rusa Jawa yaitu berpindah, istirahat, tidur, makan, dan sosial. Rusa Jawa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya dengan tujuan mencari makan atau mencari tempat untuk berlindung. Perilaku istirahat merupakan saat dimana rusa Jawa tidak melakukan kegiatan apapun. Untuk perilaku tidurnya, rusa Jawa tidak banyak menghabiskan waktu di siang hari untuk tidur karena pada dasarnya rusa Jawa merupakan hewan nokturnal yang aktif pada malam hari. Saat makan, rusa Jawa termasuk satwa ruminansia yang menyukai pakan rumput-rumputan segar seperti rumput gajah. Dalam hal sosial, rusa Jawa berinteraksi dengan rusa Jawa lain dalam bentuk pertarungan atau perebutan makanan.
Rusa Jawa merupakan salah satu satwa liar yang berperan sebagai indikator untuk mengukur kualitas suatu habitat dalam ekosistem. Oleh karena itu, kegiatan konservasi rusa Jawa perlu dilakukan demi menjaga populasi rusa Jawa agar tetap ada di alam liar. Hal ini dapat juga diwujudkan dengan pemenuhan beberapa komponen habitat berupa pakan, air, ruang, dan pelindung.
Referensi:
Sofyan, I. dan Setiawan, A. 2018. Studi Perilaku Harian Rusa Timor (Rusa timorensis) di Penangkaran Rusa Tahura Wan Abdul Rachman. Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati. Vol. 5 No. 1.
Penggunaan Camera Trap untuk Monitoring Satwa Liar
Penulis: Herdwita O.
Satwa liar merupakan semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih memiliki sifat-sifat liar. Satwa liar yang hidup di alam liar ini tidak terpantau oleh manusia selama hidupnya. Kehidupan satwa liar yang ada di alam menyebabkan seluruh perilaku yang biasa dilakukan oleh satwa tak dapat terpantau. Oleh karena itu, saat seorang peneliti ingin mengetahui perilaku-perilaku yang biasa dilakukan oleh satwa liar di habitatnya dapat dilakukan dengan bantuan teknologi bernama camera trap.
Camera Trap atau kamera jebakan merupakan jenis kamera yang dilengkapi sensor gerak dan sensor panas dan atau termal yang dapat digunakan untuk merekam keberadaan satwa liar yang ada di kawasan tertentu. Sensor camera trap ini akan aktif jika ada objek bergerak dan atau yang memiliki suhu berbeda dengan lingkungan area cakupan sensor. Penggunaan kamera jebakan ini juga bisa digunakan untuk mengetahui keanekaragaman berbagai jenis satwa, salah satunya yaitu mamalia yang ada di suatu kawasan tertentu. Selain itu juga bisa digunakan untuk mengetahui Indeks Kelimpahan Relatif (RAI/ Relative Abundance Index) satwa, terutama satwa yang dapat diidentifikasi secara individual melalui tanda-tanda alami yang ada pada satwa, seperti loreng pada harimau. Penggunaan kamera jebakan ini memiliki kelebihan pada data yang dihasilkan, karena data yang dihasilkan dari kamera jebakan ini berupa gambar-gambar satwa yang terekam. Hal ini bisa membuktikan bahwa pada suatu wilayah terdapat aktivitas keseharian yang biasa dilakukan oleh satwa liar di alam bebas.
Kamera jebakan sudah lama digunakan untuk monitoring satwa liar yang ada di wilayah tertentu dan dalam upaya konservasi satwa liar karena teknologi ini cukup mudah dalam penggunaannya dan tidak membutuhkan tenaga kerja yang cukup. Pemasangan kamera jebakan ini biasa dilakukan di tempat-tempat yang sekiranya sering dilewati atau dijadikan tempat untuk singgah sementara oleh suatu satwa, namun juga disesuaikan dengan keadaan sekitar agar tidak mengganggu aktivitas yang dilakukan satwa itu sendiri. Penggunaan kamera jebakan ini juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi kendala saat pengambilan data dilakukan.
Sumber:
Abdul, Haris, Setiawan, Agus, Rinaldi, Dones. 2015. Kelimpahan Jenis Mamalia Menggunakan Kamera Jebakan di Resort Gunung Botol Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Media Konservasi, Vol. 20 No.2.
https://www.wartadesa.net/monitoring-kehidupan-satwa-liar-hutan-sokokembang-gunakan-kamera-trap/ (diakses pada 28 Agustus 2019 pukul 18.35)
Mengenal Citizen Science Dalam Dunia Konservasi
Penulis: Herdwita O.
Citizen science dapat diartikan sebagai peran serta publik dalam melakukan pendataan sebuah penelitian yang berbasis ilmiah. Masyarakat umum dapat berkolaborasi dengan ilmuwan-ilmuwan profesional dalam menganalisis, mengumpulkan, dll yang nantinya akan berguna untuk menambah pemahaman dalam pengelolaan sumber daya yang ada. Perkembangan komunikasi ilmiah dalam beberapa waktu ini menunjukkan peningkatan peran aktif citizen science. Salah satu faktor yang membuat hal itu terjadi adalah kemajuan teknologi yang membuat semua orang dapat dengan mudah mendapatkan data dan membagikannya.
Peningkatan penggunaan teknologi yang semakin pesat dapat memungkinkan pertukaran informasi antara ilmuwan dengan non-ilmuwan. Peranan teknologi juga berguna untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengumpulan data dalam hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan studi pustaka dan dikaji secara objektif, sistematik, dan kuantitatif untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat.
Saat ini salah satu kegunaan citizen science yang dapat kita jumpai dalam aplikasi yang ada di ponsel pintar yaitu aplikasi Burungnesia. Aplikasi ini memanfaatkan peran para pengamat yang sedang melakukan pengamatan jenis burung yang ada di sekitar. Lalu para pengamat melakukan beberapa kegiatan seperti mengumpulkan, mengarsip, menganalisis, dan berbagi data mengenai biodiversitas. Tujuan dari pengembangan tentang citizen science yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi, pengetahuan mengenai biodiversitas, dan data-data yang ada terkait dengan biodiversitas di Indonesia.
Peran serta masyarakat dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan suka rela. Hal ini bertujuan untuk membagikan informasi-informasi yang dijumpai seorang peneliti kepada masyarakat agar lebih terbuka dengan upaya konservasi yang ada. Dalam hal ini masyarakat dapat dengan mudah mengakses data yang sudah ada untuk dimanfaatkan dengan berbagai tujuan.
Sumber :
Febry Afrianto, Whisnu, Kamila, Siti. 2017. Peran Citizen Science Dalam Upaya Konservasi Biodiversitas. Prosiding Semnas Biodiversitas, Vol. 6 No. 1.
Sejarah Konservasi di Indonesia
Gambar : Pemandangan alam di TN Gunung Palung
Sumber : http://ksdae.menlhk.go.id/assets/gallery/Air_Terjun_Riam_Berasap.JPG
Hutan merupakan sumberdaya alam yang memiliki keanekaragaman tinggi, selain itu sejak zaman dahulu hutan sudah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun seiring bertumbuhnya jumlah penduduk, luas hutan yang ada di dunia juga semakin berkurang. Selain itu karena terjadi perang dunia membuat hutan menjadi rusak. Jika hutan dibiarkan begitu saja mungkin akan semakin rusak dan menimbulkan banyak masalah apalagi banyak satwa yang kehilangan habitatnya. Salah satu negara yang terkena dampak dari penjajahan adalah Indonesia. Banyak hutan di Indonesia yang dimanfaatkan penjajah untuk diambil kayunya sebagai bahan perang. Namun kegiatan konservasi yang ada di Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh pemerintahan kolonial. Kegiatan konservasi sendiri merupakan perkembangan dari preservasi. Sejarah ide preservasi lahir di Eropa kemudian berkembang menjadi konservasi dengan prinsip pemanfaatan di Amerika.
Lahirnya konservasi di Indonesia dimulai dari para naturalis Belanda yang mempunyai rasa memiliki terhadap alam Indonesia yang kaya dengan aneka ragam flora dan fauna. Terbukti dengan adanya perlawanan para naturalis tersebut terhadap berbagai kebijakan kolonialis yang merusak alam, seperti perdagangan burung Cendrawasih yang tidak terkontrol. Para naturalis Belanda seperti M.C Piepers dan P.J Van Houten terus melakukan tekanan terhadap pemerintah kolonial Belanda agar peduli mengenai laju kepunahan cendrawasih, dan akhirnya membuahkan hasil, yaitu Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar) yang dikeluarkan pada tahun 1910. Tepat pada tanggal 22 Juli 1912 di Buitenzorg (Bogor), para naturalis ini sepakat mendirikan perkumpulan ini didirikan dengan nama ”Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda” (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) dengan diketuai oleh Dr. SH Koorders. Perkumpulan ini semacam organisasi pecinta alam yang mempelopori dan mengusulkan kawasan-kawasan dan jenis-jenis flora fauna tertentu, pembuatan peraturan-peraturan dan berbagai tulisan dari hasil penelitian tentang perlindungan alam (jenis satwa dan tumbuhan). Cita-cita Koorders untuk mewujudkan perkumpulan ini untuk menggugah Pemerintah Hindia Belanda yang selalu menitikberatkan pengelolaan hutan hanya untuk kepentingan ekonomi belaka. Mereka juga merintis pendirian kawasan perlindungan seperti cagar alam (Natuurmonument) di Depok. Diusulkan 12 lokasi sebagai Cagar Alam yaitu beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau, dan Pulau Panaitan, laut Pasir Bromo, Pulau Nusa Barung, Semenanjung Purwo dan Kawah Ijen.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1916 telah menerbitkan Natuurmonumenten-Ordonnantie (Peraturan tentang Monumen Alam). Peraturan ini menjadi landasan hukum penunjukkan kawasan cagar alam di wilayah Hindia Belanda. Ada 43 monumen alam yang ditunjuk sekitar tahun-tahun tersebut. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya, telah ditetapkan sebagai Monumen Alam pada tahun 1921. Pada Tahun 1937 Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu badan yang bernama ”Natuur Bescherming afseling Ven’s Lands Flantatuin” yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk mengawasi cagar alam dan suaka margasatwa, mengusahakan anggaran dan penambahan pegawai. Pada Tahun 1940 keluar Peraturan Perburuan Jawa-Madura dan sejak itu, pengelolaan kawasan Ujung Kulon di bawah Kantor Besar Kehutanan di Bogor, sedangkan Kawasan Cagar alam dan suaka Margasatwa lainnya diserahkan kepada Inspektur Kehutanan Provinsi, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap Cagar Alam dan Suaka Margasatwa serta mengurus pelanggaran perburuan. Pada Tahun 1947 Bali Barat ditunjuk sebagai Suaka Alam.
Pada tahun 1950 terbentuk Urusan Perlindungan Alam di Djawatan Kehutanan, dengan tugas pokok mengusut perburuan badak di Ujung Kulon. Tahun 1952 Kebun Raya Bogor membentuk Lembaga Pengawetan Alam yang merupakan bagian dan Pusat Penyelidikan Alam Kebun Raya Bogor. Sedangkan di Djawatan Kehutanan, Urusan Perlindungan Alam statusnya berubah menjadi Bagian Perlindungan Alam (BPA) pada tahun 1956 yang mempunyai hak penuh untuk menyelenggarakan organisasi di dalam Djawatan Kehutanan secara vertikaL. Rentang periode 1950-1959, tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat ditertibkan secara represif oleh Djawatan Kehutanan yang bernaung dibawah Kementerian Pertanian dan Agraria dengan bantuan polisi dan tentara. Pada tahun 1954 muncul beberapa kemajuan dalam bidang perlindungan dan pengawetan alam, misalnya rehabilitasi suaka margasatwa dan kerjasama internasional dengan IUCN. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Kabinet Nomor 75/II/Kep/11/1966 terbentuk Direktorat Jenderal Kehutanan yang berada dibawah Departemen Pertanian. Pada tahun yang sama, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor Kep./30/11/1966 tanggal 10 Desember 1966 dan Nomor Kep/18/3/1967 tanggal 9 Maret 1967 terbentuk Struktur Organisasi Departemen Kehutanan. Dalam Struktur Organisasi dimaksud, Dinas Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) berada dibawah Direktorat Pembinaan Hutan. Pada tahun 2010 pemerintah Indonesia telah menunjuk tak kurang 521 unit kawasan konservasi, dengan luasan mencapai lebih dari 27,2 juta hektar dengan berbagai tipe ekosistem.
Sumber :
Yudhistira, P. 2014. Sang Pelopor Peranan Dr. SH. Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan.
http://ksdae.menlhk.go.id/sejarah-ksdae.html (Diakses pada 31 Agustus 2018 Pukul 14.08 WIB).
Mengenal Bekantan Lebih Dekat
Gambar Bekantan
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan biodiversitas flora dan fauna yang unik dan menarik untuk dipelajari. Salah satu contohnya adalah Bekantan. Bekantan (Nasalis larvatus) adalah salah satu jenis satwa primata yang ada di Indonesia. Bekantan dicirikan oleh bentuk hidungnya yang unik, sehingga mudah dikenal diantara jenis primata lainnya. Selain hidung yang panjang dan besar, spesies ini juga memiliki perut yang buncit. Perut buncit ini akibat dari kebiasaan Bekantan mengkonsumsi makanan yang tidak imbang. Selain mengonsumsi buah-buahan dan biji-bijian, Bekantan juga memakan dedaunan. Secara umum, habitat bekantan berada di lahan basah seperti daerah hutan mangrove, hutan riparian dan hutan rawa, baik rawa air tawar maupun rawa gambut. Bekantan tersebar luas di hutan-hutan sekitar muara atau pinggiran sungai di Kalimantan. Masyarakat di Pulau Kalimantan memberi beberapa nama pada spesies Bekantan yang termasuk kera berhidung panjang ini, seperti Pika, Kera Belanda, Raseng, Bahara Bentangan dan Kahau.
Bekantan merupakan satwa arboreal atau satwa yang hidup di pohon, namun terkadang turun ke lantai hutan untuk alasan tertentu. Pergerakan dari dahan ke dahan dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan melompat, bergantung, atau bergerak dengan keempat anggota tubuhnya. Selain itu, Bekantan juga perenang ulung karena di bagian telapak kaki dan tangannya memiliki selaput kulit (web) seperti pada katak, sehingga memudahkan Bekantan untuk menyeberang sungai. Bekantan juga termasuk primata diurnal, yaitu aktifitasnya dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari. Menjelang sore hari, Bekantan umumnya akan mencari pohon untuk tidur di sekitar tepi sungai. Anggota kelompok akan bergabung dalam satu pohon atau pohon lain yang letaknya berdekatan.
Bekantan juga merupakan salah satu dari sekian banyak spesies satwa endemik Indonesia yang populasinya semakin terancam. Jenis ini telah dinyatakan sebagai salah satu jenis dilindungi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 (yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018) tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Kemudian dalam buku Redlist Data Book of Endangered Species-IUCN (The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2014, bekantan dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah (endangered species), sedangkan dalam CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dikategorikan ke dalam Appendix I (CITES, 2010) yang berarti satwa jenis ini tidak boleh diperdagangkan baik secara nasional maupun internasional. Hewan ini mulai terancam punah sejak tahun 2000-an karena tingginya laju deforestasi serta penggundulan hutan-hutan yang menjadi tempat Bekantan tinggal.
Ancaman utama kelestarian Bekantan adalah wilayah sebaranya terbatas, kerusakan habitat dan perburuan ilegal. Karena merupakan satwa arboreal, adanya alih fungsi hutan, illegal loging, serta kebakaran hutan juga memberikan pengaruh besar terhadap penurunan populasi Bekantan di Kalimantan. Hal ini membuat pengamatan dan pemantauan populasi jenis ini sangat dibutuhkan untuk menghindari penurunan populasinya. Strategi utama untuk mempertahankan populasi bekantan adalah dengan mempertahankan populasi yang masih tersisa. Oleh karena itu informasi terkait populasi dan struktur kelompok pada habitatnya penting untuk diketahui. Dalam mengamati populasi bekantan diperlukan data berupa jumlah keseluruhan bekantan pada area yang diteliti beserta rincian kelas umur dan jenis kelamin. Selain itu dibutuhkan data habitat bekantan berupa komposisi jenis vegetasi penyusun habitatnya.
Sumber:
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA/article/view/3195/3811
https://borneochannel.com/monyet-bekantan-kalimantan/
https://primata.ipb.ac.id/bekantan-nasalis-larvatus/
Melihat Garis Batas Perlindungan Satwa Liar
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi, termasuk flora dan faunanya. Beberapa flora dan fauna hanya ditemukan dan hanya dapat hidup dengan baik di Indonesia serta masuk dalam daftar spesies endemik Indonesia. Satwa endemik merupakan jenis hewan unik dan memiliki ciri khas yang disebabkan karena penyesuaian diri terhadap habitatnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan. Satwa dan habitatnya merupakan salah satu bagian dari sumberdaya yang penting dan memiliki manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadiranya tidak dapat tergantikan. Tetapi, kegiatan perburuan terus terjadi dan menyebabkan satwa terancam punah. Hasil buru telah berganti tujuan, dari bertujuan dikonsumsi, kini untuk kecantikan, obat, bahkan gengsi. Menurunnya populasi satwa, saat ini bukan hanya disebabkan perburuan liar, tetapi juga karena kebakaran hutan, pembalakan liar dan perubahan fungsi hutan untuk bertani serta bermukim.
Beberapa organisasi yang memberikan aturan untuk perlindungan satwa liar salah satunya adalah IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). IUCN mengeluarkan daftar yang membahas status konservasi berbagai jenis makhluk hidup, salah satunya satwa (Red List IUCN). Tujuan dikeluarkannya Red List IUCN adalah untuk memberitahukan kepada publik pentingnya konservasi dan untuk memperbaiki stastus kelangkaan suatu spesies. Terdapat 9 kategori Red List IUCN berdasarkan jumlah populasi, penyebaran dan resiko dari kepunahan, yaitu :
- Punah (Extinct ;EX)
- Punah di alam liar (Extinct in the wild ;EW)
- Kritis (Critically Endangered; CR)
- Genting (Endangered ;EN)
- Rentan (Vulnarable; VU)
- Hampir terancam (Near Threatened; NT)
- Beresiko rendah (Least Concern; LC)
- Informasi kurang (Data Deficient; DD)
- Tidak dievaluasi (Not evaluated; NE)
Aturan atas status perdagangan flora dan fauna diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES menetapkan kuota suatu negara yang dapat memperdagangkan satwa langka. Penetapan kuota ini disertai dengan syarat-syarat, misalnya harus merupakan hasil penangkaran.
Untuk Indonesia sendiri, lembaga yang mengatur mengenai konservasi flora dan fauna adalah BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam) sebagai Unit Pelaksana Teknis. Tugas pokok BKSDA adalah menyelenggarakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru serta koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi di provinsi berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kegiatan konservasi dan jual beli satwa langka maupun dilindungi tidak hanya menjadi perhatian pemerintah, namun seluruh masyarakat Indonesia. Kegiatan jual beli tersebut harus dihentikan dan akan lebih baik jika seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat termasuk mahsiswa bekerjasma untuk melakukan perlindungan dan konservasi terhadap satwa liar agar tetap lestari dan jauh dari kepunahan. Jika bukan kita siapa lagi yang akan melakukannya ? ayo bergerak sekarang!
Sumber :
Aristides, Y., A. Purnomo, dan Fx. A. Samekto. 2016. PERLINDUNGAN SATWA LANGKA DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF FLORA AND FAUNA (CITES). Diponegoro Law Journal Volume 5 No. 4 Hal : 1-17. Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang.
Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Bagi mahasiswa yang mempelajari hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (PDAS) pasti sering mendengar atau membaca kutipan dari Chay Asdak. Salah satu buku karangan lulusan UGM ini adalah buku Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai terbitan Gadjah Mada University Press. Sampai saat ini, buku Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai sudah sampai cetakan keenam (2014).
Di dalam buku Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ini diulas tentang prinsip-prinsip hidrologi dan cara pengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut untuk memahami keterkaitan komponen-komponen DAS. Buku ini terdiri dari 10 bab yang pada setiap babnya dibahas secara lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan topik bab. Topik yang dibahas dalam buku ini contohnya tentang daur hidrologi dan ekosistem DAS, presipitasi, statistika dalam hidrologi, kualitas air, PDAS, dan masih banyak lagi. Pada setiap akhir bab juga disediakan daftar pustaka yang digunakan sehingga jika pembaca ingin mengetahui lebih dari yang disediakan di buku dapat dicari di pustaka-pustaka tersebut.
Konservasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Jawa di Kebun Raya Baturraden di Kawasan Bekas Hutan Produksi Terbatas
Kebun Raya diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi upaya konservasi, karena koleksi tumbuhan hidup dan spesies merupakan sumber informasi terbaik mengenai penyebaran tumbuhan dan pengenalan tumbuhan dan penelaahan status konservasi spesies.
Di Indonesia sendiri terdapat empat kebun raya yang sudah eksis, salah satunya Kebun Raya Baturraden. Kebun Raya Baturraden diresmikan sebagai Kebun Raya pada pada 29 Desember 2004 oleh Gubernur Jawa Tengah kemudian dikuatkan dengan SK Menhut No 85/ Menhut-II/ 2005 tanggal 4 April 2005.
Tetapi, sebelum ditunjuk menjadi Kebun Raya Baturraden, kawasan tersebut merupakan Hutan Produksi Terbatas. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan contohnya seperti permasalahan surface run off apabila penanganan lokasi tidak dilakukan secara konservatif.
Lalu, bagaimana cara mengatasi masalah perubahan ekosistem hutan produksi terbatas yang bersifat homogen menjadi Kebun Raya Baturraden yang bersifat heterogen? Cek selengkapnya di Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 14: Konservasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Jawa di Kebun Raya Baturraden di Kawasan Bekas Hutan Produksi Terbatas oleh Mandiriati, H., dkk atau kalian bisa klik disini.