Arsip:

Apa Kabar Konservasi?

Restorasi Terumbu Karang Lewotobi

Flores Timur merupakan salah satu wilayah di Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah perairannya 70% lebih luas dari wilayah daratan. Luas wilayah perairan yang tinggi ini didukung dengan potensi sumber daya laut yang sangat menjanjikan, salah satunya adalah dari aspek terumbu karangnya. Menurut Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Bappenas, Arifin Rudiyanto (2020) mengatakan bahwa total terumbu karang yang ada di Indonesia sebanyak 30% persen dalam kondisi baik, 37% dalam kondisi cukup baik, dan sisanya dalam kondisi rusak. Salah satu upaya pemerintah untuk menjaga kelestarian terumbu karang di Flores Timur adalah dengan membentuk Suaka Alam Perairan (SAP) Flores Timur melalui Surat Keputusan Bupati No.4 Tahun 2014 seluas 150.000 hektar.

Potensi sumber daya laut yang tinggi ini selain dapat menjadi daya tarik wisata, juga dapat menjadi ancaman sendiri bagi keberadaannya jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu ancaman yang paling dekat datang dari masyarakat. Beberapa aktivitas masyarakat yang marak dilakukan adalah pengeboman ikan oleh nelayan yang menyebabkan terumbu karang menjadi rusak. Selain pengeboman tersebut, masyarakat juga menggunakan racun (tuba) yang menyebabkan terumbu karang mati. Dampak adanya pengeboman ikan ini sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan yang dari hari ke hari semakin menurun. Salah satu wilayah yang merasakan dampak penurunan hasil tangkapan ikan dan semakin banyaknya terumbu karang yang hancur adalah Desa Lewotobi. Namun, pemerintah desa setempat tidak terus tinggal diam dan berusaha mengambil langkah rehabilitasi terumbu karang dengan menerapkan Peraturan Desa No.9 tahun 2017 tentang Perlindungan Pesisir dan Laut. Berlakunya peraturan ini sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Sebelumnya, masyarakat sempat ikut mengambil ikan hasil pengeboman yang dilakukan oleh masyarakat dari luar desa. Namun, secara berangsur masyarakat meninggalkan kebiasaan tersebut dan semakin mendukung upaya konservasi ekosistem pantai dan laut.

Selain menetapkan peraturan terkait konservasi laut tersebut, pemerintah setempat juga melakukan upaya restorasi karang dengan menggunakan metode jaring laba-laba (web spider). Metode ini dipilih karena mempertimbangkan arus yang ada di Desa Lewotobi. Dengan metode ini menyebabkan terbentuknya sirkulasi arus dan tempat persembunyian bagi ikan-ikan kecil. Rangka dari besi dapat menjaga karang tetap terikat serta menstabilkan substrat secara efektif. Selain itu pasir yang ditaburi di atas rangka besi tersebut dapat menjadi stimulan bagi karang yang ditanam agar memiliki daya tempel yang lebih cepat. Salah satu Staff Yayasan Misool Baseftin Flores Timur, Ayub (2021) mengatakan bahwa restorasi karang yang dilakukan telah berhasil membuat pertumbuhan karang mencapai batas maksimal, sekitar 30 cm sampai 40 cm dengan daya hidup sudah normal. Ayub mengestimasi bahwa persen meja yang tertutup sudah mencapai 80%. Berhasilnya upaya ini juga ditandai dengan mulai berdatangannya biota laut yang bernilai ekonomis ke terumbu karang yang direstorasi. Kegiatan restorasi yang pertama ini cukup membuahkan hasil dan membuat Yayasan Misool Baseftin Flores Timur mengajak pemerintah desa untuk kembali melakukan restorasi karang. Mereka melakukan transplantasi dalam satu area restorasi dan berdekatan agar membentuk koloni. Tujuannya agar terumbu karang yang lama dapat menyuplai sumber bibit karang dan menjadi tabungan ikan-ikan.

Source: Yayasan Misool Baseftin

Setelah upaya restorasi yang dilakukan, untuk mendukung semakin berhasilnya upaya konservasi karang, diperlukan perawatan dan monitoring secara berkala. Terumbu karang harus sering dibersihkan dan alganya disikat menggunakan sikat yang halus agar pertumbuhannya lebih cepat. Restorasi terumbu karang yang telah berhasil ini selain memberikan dampak ekologis juga harapannya dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat. Salah satunya adalah dengan mengembangkan aspek ekowisata melalui paket wisata edukasi restorasi karang. Selain itu, pemerintah desa juga akan menyiapkan home stay dan membuat paket wisata dengan menyiapkan tiga pemandu selam dari kelompok konservasi di desa yang memiliki sertifikat selam. Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat akan terus merasakan manfaatnya dan selalu menjaga ekosistem terumbu karang tersebut.

Tradisi Sasi: Etnokonservasi Laut di Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih

Penulis : Akbar Wahyu Illahi

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia kaya akan keragaman budaya dan tradisi yang dapat ditemukan dari sabang sampai merauke ditunjang dengan kondisi geografis yang dilalui garis khatulistiwa dan beriklim tropis menyebabkan keanekaragaman hayati baik flora dan fauna di darat maupun di laut sangat melimpah. Menarik halnya apabila terjadi perpaduan antara budaya atau tradisi masyarakat dengan keanekaragaman hayati. Salah satu perpaduan antara tradisi dan menjaga keanekaragaman hayati tersebut dapat dilihat pada tradisi sasi yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih.

Sumber foto : Arsul Latul Rahman

Etnokonservasi

Dalam kegiatan konservasi, peran masyarakat lokal untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati atau biodiversitas di tingkat lokal telah lama dipraktikkan oleh masyarakat di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih tentunya dengan menekankan pada kegiatan perlindungan berbasis pada kearifan lokal (local wisdom). Paktik yang dilakukan oleh masyarakat lokal ini merupakan bentuk implementasi dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan (Tamalene dkk, 2016). Pendekatan konservasi berbasis kearifan lokal inilah yang disebut etno-konservasi. Selain itu, menurut Haenn (2000) Etnokonservasi dapat diterjemahkan sebagai konservasi berbasis masyarakat yang bersumber pada ide-ide masyarakat lokal dalam melindungi lingkungan Hidup. Dalam artikel ini dibahas mengenai etnokonservasi laut yang berarti kegiatan konservasi berbasis kearifan lokal yang dilaksanakan dilaut, dalam hal ini dilakukan di Taman Nasional laut terluas di Indonesia yakni Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC).

Tradisi Sasi

Sasi dapat diartikan sebagai bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Sasi merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah Sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Rumengan,2017).

Dalam hal ini, Sasi merupakan tradisi masyarakat lokal yang tinggal di pesisir pantai Papua yang menutup suatu areal tertentu agar tidak boleh diambil isinya dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Setelah sasi berakhir, barulah areal tersebut dibuka dan dapat diambil hasilnya untuk dimanfaatkan bersama oleh masyarakat baik untuk kebutuhan pokok atau untuk dijual. Bagi yang melanggar Sasi akan mendapat hukuman berupa sanksi adat serta denda. Menurut Novaczek dan Harkes (1998) dalam Sofyaun A (2012), kawasan laut yang diatur dalam tradisi Sasi memiliki kondisi ekologis yang lebih baik dibandingkan dengan daerah laut yang tidak dilakukan tradisi Sasi (seperti kondisi terumbu karang yang rusak). Oleh sebab itu, kcberadaan kearifan lokal diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati serta sumberdaya alam yang berkelanjutan.

Mulai tahun 2019 lalu, Tradisi Sasi mulai dirancang oleh Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih (BBTNTC) dan akan dimasukkan dalam masterplan pemberdayaan Masyarakat Lokal untuk tahun 2020-2024. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat lokal di TNTC karena akan berfokus pada sektor pariwisata di TNTC dengan rancangan program utama yakni pengembangan kesenian berbasis adat istiadat, pembukaan dan penutupan sasi laut dan wisata sejarah berbasis adat.

 

Referensi :

Haenn, N. 2000. Biodiversity Is Diversity in Use : Community-Based Conservation in the Calakmul Biosphere Reserve. The Nature Conservancy.

Handayani, N.M. 2020. Sasi: Komitmen Masyarakat Terhadap Konservasi Melalui Kearifan Lokal. https://telukcenderawasihnationalpark.com/2020/11/19/sasi-komitmen-masyarakat-terhadap-konservasi-melalui-kearifan-lokal/. Diakses pada 27 April 2021 pukul 22.11 WIB.

Kabartimur.com. 2019. Tradisi Sasi Masuk Masterplan Pemberdayaan Masyarakat Taman Nasional Teluk Cenderawasih. https://kabartimur.com/tradisi-sasi-masuk-masterplan-pemberdayaan-masyarakat-taman-nasional-teluk-cenderawasih/. Diakses pada Diakses pada 27 April 2021 pukul 22.17 WIB.

Rumengan, I. 2017. Tempat-Tempat Sakral dan Penerapan Sawora Dalam Masyarakat Kampung Isenebuai di Kawasan Taman Teluk Cenderawasih. Jurnal Sabda Vol 12 (2).

Sofyan A. 2012. Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Tamalene, M.N., Almuhdhar, M.H.I., Suarsini, E., Rohman, F. 2016. Etnokonservasi keanekaragaman hayati. Yogyakarta. Plantaxia.

Wildlife Photography : Edukasi Satwa Liar Melalui Media Fotografi

Penulis : Akbar Wahyu Illahi

Sumber Foto : Indonesian Wildlife Photography

Indonesia merupakan negara yang dilewati garis zamrud khatulistiwa dan memiliki iklim tropis. Kondisi geografis inilah yang menyebabkan melimpahnya keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna ditemukan di Indonesia. Potensi ini sudah sepatutnya digunakan sebagai wadah pembelajaran bagi generasi muda supaya pengetahuan mengenai kenakeragaman hayati tetap tumbuh sehingga kedepannya dapat menjadi bekal untuk mencintai dan menjaga keanekaragaman hayati ini tetap lestari. Salah satu cara edukasi yang mudah diterima dan dipahami masyarakat luas berkaitan dengan fauna yaitu melalui media fotografi.

Dewasa ini, istilah “Wildlife Photography” semakin sering didengar dan ditemukan karena semakin berjayanya media-media yang ada baik digital maupun konvensional. National geographic, BBC, hingga buku-buku yang berkaitan dengan satwa liar pasti terdapat visualisasi dari satwa liar yang sedang dibahas. Buku-buku identifikasi satwa liar pun yang sering dibahas dalam dunia perkuliahan juga tak luput dari urusan fotografi sebagai bagian untuk memperjelas gambaran mengenai satwa liar yang akan diidentifikasi. Namun, banyak orang yang belum menyadari bahwa Wildlife Photography atau fotografi satwa liar merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dalam model pembelajaran satwa liar masa kini.

Sesuai dengan namanya yakni Wildlife Photography, bidang fotografi ini berfokus untuk  mengabadikan kehidupan satwa liar di alam bebas. Tidak seperti memotret hewan di kebun binatang, atau di penangkaran. Wildlife photography menuntut fotografer tidak hanya memotret, namun juga bisa menceritakan apa dan mengapa satwa liar tersebut berperilaku seperti ini sehingga nantinya pesan atau isi dari foto tersebut dapat tersampaikan dengan baik kepada para pembaca maupun penikmat. Dalam menghasilkan foto wildlife, seorang fotografer bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan hidup di alam liar baik untuk sekadar mengamati pola dan perilaku target, hingga bersiap mencari posisi dan waktu terbaik untuk memotret.

“Memotret tidak hanya sekedar memotret”, kalimat tersebut cocok untuk disematkan dalam kegitan berburu foto wildlife. Hal ini didasarkan karena memotret satwa liar berbeda dengan memotret objek lain, sangat banyak hal-hal yang harus dipersiapkan serta etika yang diperhatikan dalam meotret satwa liar ini. Beberapa persiapan seperti riset tentang perilaku dan kondisi habitat mengenai jenis satwa yang akan difoto hingga persiapan alat kamera dan perizinan lokasi mutlak untuk dipersiapkan sebelum proses pengambilan gambar. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa wildlife photography dapat mengajari kita untuk bagaimana dapat hidup berdampingan dengan satwa liar tanpa harus mengganggu dan merusak habitatnya.

Salah satu hasil yang dapat dinikmati masyarakat luas dari adanya Wildlife Photography yaitu buku-buku dan majalah mengenai satwa liar yang kini sudah tersebar dimana-mana. Pembelajaran menggunakan media gambar atau foto dinilai juga baik di gunakan dan di terapkan dalam proses belajar mengajar sebagai media edukasi karena media gambar ini cenderung sangat menarik hati siswa sehingga akan muncul motivasi untuk lebih ingin mengetahui tentang gambar yang dijelaskan. Lebih dari itu, Wildlife Photography mendorong untuk tetap mencintai keanekaragaman hayati khususnya satwa liar serta berpartisipasi mengenalkan satwa liar masyarakat luas sehingga apabila sudah teredukasi dengan baik harapannya laju kepunahan satwa liar dapat ditekan dan dihindari.

Referensi :

Angelica, S.P. 2020. Wildlife Photographer, Menjaga Alam lewat Jepretan Kamera. https://gensindo.sindonews.com/read/128856/700/wildlife-photographer-menjaga-alam-lewat-jepretan-kamera-1597054095. Diakses pada 27 April 2021 pukul 11.01 WIB.

Firdhani, A.R. 2017. Indonesia Wildlife Photography, Upayakan Konservasi Satwa Lewat Foto. https://www.greeners.co/sosok-komunitas/indonesia-wildlife-photography-upayakan-konservasi-satwa-lewat-foto/ . Diakses pada 27 April 2021 pukul 10.27 WIB.

Pradhana, W.E. 2020. Panduan Jadi Fotografer Satwa Liar, Masalah Etika pada Satwa Jangan Dilupakan. https://kumparan.com/pandangan-jogja-com/panduan-jadi-fotografer-satwa-liar-masalah-etika-pada-satwa-jangan-dilupakan-1uEGnEcI5Ae/full. Diakses pada 27 April 2021 pukul 10.35 WIB.

Saintd.co. 2019. Pengertian Wildlife Photography: Bukan Sekadar Memotret Satwa. https://www.saintd.co/2019/02/pengertian-wildlife-photography.html. Diakses pada 27 April 2021 pukul 10.47 WIB.

Ada Apa dengan Perairan Natuna?

Penulis : Fabian Ayu

Photo by: Yogi ES/Mongabay Indonesia

Pada tanggal 20 Maret 2021 lalu, warga Kabupaten Natuna menemukan bangkai binatang laut yang membusuk mengapung di perairan Desa Kelanga. Danielle Kreb, Scientific Program Manager Yayasan Konservasi RASI memastikan bahwa binatang laut yang terdampar tersebut adalah paus baleen. Paus ini masuk dalam golongan paus mysticeti atau tidak bergigi dengan ciri khas memiliki dua rahang yang tidak bersambung dan berbentuk seperti gading gajah. Seminggu setelah ditemukan bangkai paus baleen ini, warga kembali menemukan lumba-lumba yang terluka di bibir pantai. Jika dilihat dari google map, pantai tempat lumba-lumba ditemukan hanya berjarak 48 km dari tempat ditemukannya paus baleen. Idris, Ketua Rapala, mengatakan bahwa masyarakat setempat sadar akan pentingnya konservasi sehingga mereka sempat menolongnya dan melepaskan kembali ke laut. Selain dua kejadian tersebut, sebelumnya juga telah banyak ditemukan mamalia laut yang mati terdampar di Kepulauan Natuna ini. Kemudian apa yang menjadi penyebab terjadinya fenomena ini?

Menurut Sekar Mira, peneliti mamalia laut di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), penyebab kematian mamalia di laut cukup banyak, bisa terjadi secara alami dan tidak alami. Contoh penyebab alami seperti cuaca ekstrim, radiasi sinar matahari, magnetik bumi, dan sebagainya. Sedangkan contoh penyebab tidak alami adalah interaksi dengan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti pencemaran laut, perburuan, dan ocean noise atau kebisingan di laut akibat aktivitas kapal selam. Seperti yang diketahui bahwa Perairan Natuna sering dijadikan tempat latihan militer. Selain itu, kondisi laut saat ini juga semakin memburuk yang menyebabkan kualitas air juga tidak baik. Mira juga menambahkan bahwa penanganan fenomena ini perlu adanya sinergitas yang erat antara masyarakat dan pemerintah.

Sumber:

Mongabay Indonesia

Teori Ekologi Sosial: Alternatif untuk Keberhasilan Konservasi Sumber Daya Hutan

Penulis: Gilang Passasi

Apa yang membuat konservasi menjadi polemik dari upaya perlindungan hutan? Mungkinkah tata kelola informasi yang kurang baik atau memang ada kekeliruan fundamental dalam upaya konservasi sumber daya hutan di Indonesia?

Kita -konservasionis- cenderung selalu berpikir bahwa konservasi sumber daya hutan hanya dapat diwujudkan dalam koridor penyeimbangan fungsi ekologi. Dalam studi maupun penelitian-penelitian klasik, ekologi oleh Ernst Haeckel (1834–1919) dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara kehidupan alamiah makhluk hidup dengan lingkungannya. Misalnya: ekosistem mangrove dapat lestari jika kita memperhatikan kaidah pengaturan tiga pola penanaman mangrove, kandungan oksigen terlarut dan salinitas air; atau ekosistem hutan akan lestari jika kita memperhatikan faktor-faktor abiotik dan biotik yang berguna bagi pertumbuhan pohon maupun perkembangan satwa di dalamnya. Memang teori itu benar adanya melalui observasi dan riset di kalangan peneliti. Namun, akan menjadi salah kaprah jika kita berpikir bahwa itu cukup untuk menyelamatkan hutan dari kehancuran.

Hari ini, teori semacam ini menjadi pedoman yang lumrah digunakan oleh  kalangan mahasiswa, akademisi atau bahkan tingkatan yang lebih superior seperti pejabat dan pembuat kebijakan konservasi. Faktanya adalah bahwa pendekatan konservasi secara ekologis belum mampu menjawab tantangan di era saat ini. Pendekatan ekologis dibutuhkan dalam penelitian yang bersifat observatif namun kurang berdampak pada implementasi upaya konservasi di Indonesia.

Jika kita berbicara tentang pengelolaan konservasi -atau kawasan konservasi- di Indonesia, pendekatan secara sosial sebenarnya telah dilakukan. Sebagai contoh pengelompokkan zona-zona dalam kawasan taman nasional. Indonesia berupaya untuk melindungi zona inti dari intervensi manusia – atau dari terminologi yang lain adalah upaya segregasi. Konsep ini sebenarnya telah dilakukan John Muir (1838-1914) seorang naturalis ekstrem dari Amerika Serikat yang sampai saat ini menjadi pionir dari pedoman dasar segregasi alam dari manusia. Artinya, hutan pada dasarnya tidak membutuhkan manusia untuk terus ada dan preservasi adalah hal yang mutlak untuk menyelamatkan sumber daya hutan.

Pendekatan lain dari segi ekonomi misalnya, telah dilakukan dengan mengizinkan masyarakat memanfaatkan apa yang disebut dengan zona pemanfaatan taman nasional. Meminjam konsep “wise use” dari Giffort Pinchot (1865-1946), Indonesia berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konservasi dengan meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar zona pemanfaatan. Sayangnya, baik preservasi ala Muir maupun “wise use” ala Pinchot tidak serta merta menghapus konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola kawasan konservasi di Indonesia. Data yang dilansir dari National Geographic bahkan menunjukkan sejak tahun 2015, sekitar 30% hutan konservasi rusak akibat perambahan hutan oleh masyarakat.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa permasalahan ekologi dan konservasi sebagian besar atau bahkan seluruhnya berkorelasi dengan struktur sosial yang ada. Manusia memiliki andil yang sangat serius terhadap kelestarian alam dan bahkan bertanggungjawab atas bencana ekologis yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang berbeda dengan spesies primata lainnya, yaitu cenderung manipulatif dan ingin menguasai. Tentunya jika kita berbicara tentang persoalan ini akan sangat menarik jika meninjau terlebih dahulu artikel oleh Garret Hardin yang sangat terkenal dalam dunia ekologi, sosial dan konservasi: “The Tragedy of The Commons”. Singkatnya, “The Tragedy of The Commons” membahas persoalan tentang krisis lingkungan yang disebabkan oleh kerakusan manusia baik perorangan maupun kelompok dalam mengambil sumber daya sebesar-besarnya. Walaupun sedikit atau bahkan banyak, perilaku ini menciptakan persaingan eksploitasi sumber daya dan berdampak pada krisis ekosistem bioma.

Konflik untuk eksploitasi sumber daya hutan akan terus terjadi jika keselarasan struktur sosial masih bermasalah. Mengingat, kita hidup dalam masyarakat yang kooptatif di mana mereka selalu mencari cara untuk perluasan penguasaan lahan dan komersialisasi. Ekologi sosial berusaha untuk menghapuskan komersialisasi sumber daya hutan dengan pendekatan masyarakat yang menganut pandangan ekologis, rekonstruktif, dan komunitarian. Teori ini berupaya merekonstruksi dan mengubah pandangan saat ini tentang masalah sosial dan faktor lingkungan. Ini berguna untuk meminimalisir hierarki sosial dalam ekonomi di mana komunitas manusia bekerja sama secara harmonis dengan alam untuk menerima dan menjunjung tinggi keberagaman serta kreativitas dan kebebasan.

Mungkin bagi sebagian besar kalangan, teori ini lebih bersifat normatif atau bahkan delusif dibandingkan instrumental atau aplikatif. Namun, jika dikaitkan dengan pengelolaan konservasi, di mana konsep-konsep yang ada saat ini masih belum efektif, teori ini perlu untuk dicoba. Contoh, Hutan Lindung Mendawak yang berbatasan dengan areal konsesi PT WSL di Kalimantan Barat. Pada tahun 2020, perusahaan memiliki inisiatif untuk melakukan upaya konservasi lanskap. Program yang ditawarkan pun cukup baik karena melibatkan lapisan masyarakat bahkan melakukan pemberdayaan terhadap warga sekitar kawasan konsesi. Namun, permasalahan kuno kebijakan konservasi di Indonesia masih digunakan yaitu kebijakan bersifat top-down di mana masyarakat menjadi objek kebijakan alih-alih subjek sosial. Masyarakat tidak dapat memanfaatkan lahan untuk pertanian karena konsesi dialihkan menjadi kawasan konservasi. Dampaknya, masyarakat melakukan praktik yang lebih instan seperti menebang pohon di wilayah konservasi untuk penghidupan.

Jika pengelola konservasi menerapkan teori ekologi sosial, mungkin penebangan liar tidak terjadi. Mengingat ekologi sosial mengedepankan struktur sosial yang egaliter dan demokratis sehingga manusia dan alam dapat berjalan selaras. Sebenarnya, teori ekologi sosial telah ada dan diterapkan di Indonesia oleh kearifan lokal serta hierarki komunal masyarakat hutan adat. Mereka -masyarakat hutan adat- memiliki kebebasan untuk mengelola hutan dengan pendekatan spiritualitas melalui roh nenek moyang yang dipercaya berada dalam sendi-sendi kehidupan alam. Secara tidak langsung mereka menggunakan ekologi sosial untuk mencapai konservasi sumber daya hutan dalam komunitasnya. Mengingat, ekologi sosial juga setuju pada ideologi eko-spiritual walaupun bukan merupakan ilmu fundamental dari teori ini. Tampaknya tidak masuk akal dan terlalu menghayal, namun cara yang dipengaruhi spiritualitas dan egalitarian dalam struktur sosial terbukti efektif untuk melindungi hutan konservasi dari perambahan dan eksploitasi berlebih. Contohnya ada pada hutan-hutan di Indonesia yang memiliki cerita mistis cenderung lebih lestari dibandingkan hutan-hutan yang tidak memiliki cerita magis.

Akhir kata, permasalahan konservasi bukan hanya dari segi ekologi namun jauh lebih daripada itu. Dialektika, demokrasi, hierarki sosial dan berbagai macam faktor politis lainnya. Mengutip dari (Wiryono, 2011) tentang konservasi di Indonesia, mengatakan bahwa penyebab fundamental menurunnya keragaman hayati di Indonesia adalah pandangan antroposentris sempit yang masih dipegang bangsa Indonesia, termasuk para pejabatnya. Meskipun konservasi tumbuhan sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda, namun di Indonesia belum pernah terjadi diskusi kritis melibatkan semua pihak tentang kedudukan manusia di bumi dan hubungannya dengan makhluk lain dan benda-benda mati di bumi. Etika konservasi, atau etika lingkungan secara umum, hanya menjadi bahan kuliah di program pasca sarjana bidang lingkungan, tetapi tidak pernah menjadi topik pembicaraan masyarakat luas sebagaimana isu-isu di bidang hukum, politik, ekonomi dan agama. Sejak awal sejarahnya sampai kini, konservasi tumbuhan adalah aspirasi kelompok elit.

 

Salam konservasi!

Pembaca dapat berdiskusi dengan Penulis melalui,

instagram        : gilangpassasi

linkedin            : Gilang Passasi

 

REFERENSI

Bennett N.J, et all,. 2016. Conservation Social Science: Understanding and Integrating Human Dimensions to Improve Conservation. Biological Conservation. XVI

Bookchin, M. 1965. Ecology and Revolutionary Thought. New York: The Anarchist Library.

Faida L. W. R. 2020. Mengapa Usaha Hutan Konservasi di Indonesia Masih Belum Optimal?. Yogyakarta: UGM http://www.environmentandsociety.org/tools/keywords/ernst-haeckel-coins-term-oecologia-or-ecology diakses tanggal 3 Maret 2021 Pukul: 02.44 WIB

Hardin, G. 1968. The Tragedy of The Common. Science. Vol. 16

Muir, J. 1901. Our National Parks. Boston: Houghton, Mifflin.

Mulyadi E., et all. 2010. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Volume 1

National Geographic. 2015. Hutan Konservasi yang Rusak adalah 30 Persen. https://nationalgeographic.grid.id/read/13296509/hutan-konservasi-yang-rusak-30-persen diakses pada tanggal 3 Maret 2021 Pukul: 03.56 WIB

Pahlevi A. 2020. Dukungan Sosial menjadi Kunci Sukses Kebijakan Konservasi Berbasis Lansekap. https://www.mongabay.co.id/2020/03/02/dukungan-sosial-menjadi-kunci-sukses-kebijakan-konservasi-berbasis-lansekap/ diakses pada tanggal 5 Maret 2021 Pukul : 00.11 WIB

Wijiadi I. 2007. Analisis Ekonomi, Ekologi dan Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta). UT – Forest Management. abstract

Wiryono. 2011. Aspek Etika dalam Konservasi Tumbuhan di Indonesia (An Ethical Aspect of Plant Conservation In Indonesia). Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159. ISBN 978-979-99448-6-3

Apa Kabar Burung Rangkong Gading?

Penulis : Isna Najwah


Sumber : https://pbs.twimg.com/

(2021)

Haloo konservasionis, tahukah kalian bagaimana kabar salah satu sobat kita yang satu ini? Yap! Burung Rangkong Gading. Rangkong Gading memiliki nama ilmiah Rhinoplax vigil atau di Kalimantan biasa dikenal dengan nama Enggang Gading. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2015, status burung ini dinaikkan dari Near Threatened menjadi Critical Endangered atau satu tahap lagi menuju kepunahan.

Sumber : https://www.greeners.co/

(2021)

Rangkong Gading banyak menghuni hutan tropis yang lebat dengan pohon-pohon besar dan tinggi sampai pada ketinggian 1500 mdpl. Burung ini bisa dijumpai di Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Thailand, dan populasi kecil di Myanmar. Burung omnivora ini sangat mudah dikenali karena ukurannya besar dengan bulu ekor bagian tengah memanjang. Dari ujung paruh sampai ujung ekor, panjangnya mencapai 190 cm dengan bentang sayapnya 90 cm dan berat tubuh 3 kg. Ciri khas dari Rangkong Gading yakni kulit leher tanpa bulu berwarna merah pada jantan dan putih kebiruan pada betina. Kemudian memiliki cula atau balung (casque) di bagian atas paruhnya. Suaranya terdengar seperti orang tertawa terpingkal-pingkal.

Belakangan ini sedang hangat diperbincangkan tentang krisis rangkong gading karena diburu untuk keperluan pasar gelap global. Perburuan umumnya mengincar cula atau balung untuk dijadikan berbagai bentuk hiasan. Baru-baru ini, Kepolisisan Daerah Aceh menangkap sebuah mobil sedan di jalan lintas Bireun – Takengon, Aceh yang membawa 71 paruh burung Rangkong Gading, 28 kg kulit trenggiling, dan selembar kulit harimau beserta tulang belulangya yang nilainya mencapai 6,5 miliar. Menurut pelakunya, bagian tubuh hewan tersebut didapatkan dari hasil perburuan di Kawasan Hutan Konservasi Leuser, Aceh.

Sumber: https://majalah.tempo.co/

 (2021)

Gimana? Miris bukan mendengar kabar tersebut? Sebagai konservasionis, kita bisa kok turut andil dalam mengawasi perburuan dan perdagangan satwa liar yang ilegal. Ada kalanya para penjahat menjajakan buruannya secara terbuka di internet atau media sosial. Jika kita menemukan situs ilegal tersebut, ayok!!! jangan ragu untuk melaporkan kepada tim patroli cyber atau aparat penegak hukum di daerah kalian agar populasi Burung Rangkong Gading dan satwa liar lainnya tidak terancam punah.

 

Referensi :

https://rangkong.org/enggang-di-indonesia/rangkong-gading (Diakses : 28 Januari 2021, pukul 13.15 WIB)

https://www.mongabay.co.id/2020/07/12/nasib-rangkong-gading-tak-henti-jadi-target-buruan/ (Diakses : 28 Januari 2021, pukul 13.20 WIB)

https://www.greeners.co/berita/pergeseran-nilai-adat-dinilai-pengaruhi-populasi-burung-rangkong/ (Diakses : 28 Januari 2021, pukul 13.40 WIB)

https://majalah.tempo.co/read/hukum/161893/bagaimana-aceh-menjadi-daerah-merah-perdagangan-satwa-liar?read=true(Diakses : 28 Januari 2021, pukul 14.02 WIB)