Arsip:

BIF SPESIAL

Konsepsi Konservasi dan Poros yang Mengiringi

Penulis : Faried Al Chusna Ridhoni

Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, begitulah bunyi amanat menurut Undang-Undang Kehutanan. Kondisi saat ini, sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap potensi kawasan hutan. Sebanyak 25.800 desa, atau 34,1% dari total 74.954 desa di seluruh Indonesia, merupakan wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Dari total luas kawasan hutan Indonesia yang mencapai 120 juta hektare, banyak sekali masyarakat yang ikut memanfaatkan potensi sumber daya hutan dari hutan produksi, lindung maupun konservasi.

Pada hutan produksi, masyarakat masuk melalui perhutanan sosial, yang memiliki berbagai bentuk skema pemanfaatan.  Pada kawasan konservasi terestrial seluas 22,1 juta hektar yang dikelilingi oleh 6.381 desa, sebagian besar penduduknya memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal yang sama juga terjadi hutan lindung, meski pemanfaatan yang diambil oleh masyarakat lebih terbatas. Oleh karena itu, telah dilakukan upaya-upaya pemerintah dalam hal perubahan pengelolaan hutan yang awalnya berfokus pada pengelolaan kayu ke arah pengelolaan ekosistem bentang alam hutan.

Pada dewasa ini, konservasi berbasis masyarakat menjadi isu yang menggaung sebagai cara baru dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pemerintah dibantu oleh berbagai pihak terus merumuskan cara-cara terbaik untuk menemukan formula yang tepat. Masyarakat terus bina agar mereka mampu menjadi subjek dalam pengelolaan hutan. Kerja sama multi pihak ini berhilir pada terbentuknya kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan mengelola hutan. Dalam kelompok masyarakat inilah nantinya dapat terbangun nilai-nilai kelompok, misalnya kegotongroyongan, kebersamaan, dan kerja sama. Hal tersebut dalam rangka membangun pembelajaran bersama untuk mendorong terlaksananya prinsip-prinsip demokrasi.

Petungkriyono sudah lama menjadi basis percontohan bagaimana membangun masyarakat sebagai subjek dalam konservasi. Daerah ini menjadi salah satu calon Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) terbaru yang saat ini prosesnya sudah pada tahap pengukuhan kawasan sekitar 5000 Ha. Kawasan ini memang memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa, sebuah wilayah yang dapat dikatakan sebagai Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT). Sebenarnya daerah ini lebih dikenal sebagai kawasan Pegunungan Dieng Kulon yang sempat mendapatkan wacana menjadi Taman Nasional Dieng Slamet, tetapi pengajuaanya terhenti tahun ini. Calon kawasan taman nasional ini membentang dari Pegunungan Dieng sampai Gunung Slamet serta meliputi Pegunungan Sisik Naga yang menjadi tempat penelitian bersama FORESTATION.

Sementara dalam hal contoh membangun konservasi berbasis masyarakat, BISA Indonesia menjadi salah satu LSM yang banyak bergerak ke arah pemberdayaan masyarakat di berbagai daerah. Contoh-contoh program mereka adalah program kerja sama edu-tourism dengan Princeton University dan agensi edutour where there be dragons. Kemudian juga ikut andil dalam pembuatan roadmap dan baseline keanekaragaman hayati di Kabupaten Cirebon. Kemudian juga program dan proyek di CB Menoreh, Merapi, serta CB Blambangan. Semua daripada program-program tersebut mengakar pada sebuah visi dan misi mereka yaitu melestarikan kehati dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan lingkungan, mengedepankan keselarasan manusia dan alam melalui diseminasi informasi, penelitian, pendidikan, kebersihan, tanggap bencana, dan pemberdayaan.

Jika menilik pada lokasi penelitian bersama FORESTATION yaitu Desa Kramat, mereka saat ini sudah pada kondisi sadar bahwa hutan di sekelilingnya menuju ke arah rusak dan terancam hilang jika tidak dijaga dengan baik. Maka kemudian yang harus segera dilakukan adalah penyadartahuan kepada masyarakat bahwa dengan mempertahankan keberadaan hutan lindung maka sumber air, serta keindahan alam termasuk keanekaragaman hayati baik flora dan fauna tetap aman dan lestari. Proses tersebut dapat dimulai dari penguatan manajemen masyarakat, apalagi ini di luar kawasan konservasi yang selama ini tidak terkelola dengan baik. Sembari proses penguatan manajemen juga dapat dilakukan pembangunan kapasitas serta kerjasama multipihak. Baru kemudian dilakukan intervensi di tingkat tapak untuk menjaga hutan lindung yang ada di Desa Kramat agar tetap seperti sedia kala.

Hal-hal di atas merupakan uraian dan pembanding daripada beberapa kondisi di masyakarat yang diharapkan berkonklusi pada konservasi sumber daya hutan yang semakin maju. Kesemuanya juga merupakan upaya-upaya pembelajaran bersama untuk terus saling bersinergi demi terwujudnya konservasi berbasis masyarakat. Nantinya, Dalam payung paradigma konservasi berbasis masyarakat, akan menjamin demokrasi keadilan, keseriusan, keterbukaan dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan yang baik pada intinya akan kembali pada sejatinya hutan harus dilindungi dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sumber:

-Studi Banding FORESTATION FKT UGM dengan LSM BISA Indonesia

-Pembelajaran Kabinet Ajag FORESTATION FKT UGM dari swaraOwa, BTN Karimunjawa, Masyarakat Petungkrioyono, Masyarakat Karimunjawa,  PPA Gasda dll.

MASYARAKAT MEMBUMIKAN KONSERVASI

Oleh : Restia Cahyani

*tulisan ini diadaptasi dari hasil Diskusi Konservasi yang diadakan pada Minggu, 2 Mei 2021

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 mendefinisikan konservasi sumber daya alam hayati sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kebijaksanaan tersebut menjadi pekerjaan rumah jangka panjang yang tak kunjung tertuntaskan. Semakin panjang lagi dengan adanya gangguan berupa desakan ekonomi dan fakta bahwa tidak semua orang membuka matanya untuk pemanfaatan berkelanjutan. Ketika masyarakat dan konservasi dijejerkan, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul; “sudahkah masyarakat merdeka dalam merencanakan upaya konservasinya?”, “masyarakat manakah yang dimaksud?”, “apakah upaya yang dilakukan saat ini berkiblat pada tujuan yang tepat?”, “siapa yang merangkul ruang antara masyarakat dan konservasi?”.

Banyak pertanyaan bermunculan mendorong pada keraguan pada tindakan yang hendak dilakukan. Seperti yang terjadi pada Desa Kramat, Purbalingga, Jawa Tengah. Terletak di lereng timur Gunung Slamet, desa ini didominasi hutan yang luasnya mencapai 80% dari total luas desa. Berbagai jenis satwa menghuni hutan lindung dan hutan produksi terbatasnya, antara lain elang jawa (Nisaetus bartelsi), julang emas (Rhyticeros undulatus), rekrekan (Presbytis comata), dan owa jawa (Hylobates moloch). Hutan tersebut terbingkai dalam lanskap indah dan ikonik. Beberapa titik lokasi kerap dikunjungi warga lokal maupun luar desa karena cocok untuk rekreasi, misalnya Bukit Siregol dan Curug Mantras. 

Dengan potensi sumber daya hutan yang luar biasa, Desa Kramat sejatinya ingin melakukan upaya lebih dari sekedar ‘membiarkan’. Dibentuk forum SIGOTAK (Siregol Agro Buthak) sebagai wadah bagi warga yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kelestarian hutan Desa Kramat. Forum ini dibina oleh Komunitas PPA GASDA. Tahun lalu, GASDA mengadakan Ekspedisi Sisik Naga untuk mengungkap potensi Desa Kramat. GASDA berusaha merangkul masyarakat agar paham ‘harta’ yang dimiliki Kramat dan agar tumbuh kesadaran untuk melestarikan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun tanpa menanggalkan prinsip-prinsip konservasi, salah satu upaya yang berkembang yaitu keinginan untuk mewujudkan ekowisata. Namun kurangnya perhatian dari pemerintah setempat dan tidak semua warga turun tangan dalam upaya konservasi menyebabkan keinginan tersebut masih tetap menjadi keinginan. Belum ada peningkatan lebih lanjut ke tahap rencana yang matang.

Lanskap Hutan Desa Kramat. c/FORESTATION

Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, memberi dampak negatif paling rendah terhadap lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi pada muatan lokal (Fennel, 1999). Ekowisata terbukti menjadi solusi atas pemberdayaan masyarakat dan penegakan prinsip konservasi, sebagaimana yang diterapkan masyarakat Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah. Petungkriyono memiliki beragam flora dan fauna di alam liar yang masih sangat asri seperti elang jawa, owa jawa, dan lutung budeng. Hal tersebut menjadi PR besar bagi Petungkriyono untuk menjaga dan melestarikan alam mereka. Dalam pengelolaannya, masyarakat Petungkriyono tidak sendiri. Adalah LSM SwaraOwa yang memiliki andil besar dalam pemberdayaan masyarakat dan perintisan wisata berbasis konservasi di Petungkriyono.

Hutan Petungkriyono, habitat beragam flora dan fauna. c/KP3 Primata

Sebelum ada wisata, banyak masyarakat dari dalam maupun luar desa yang menebang pohon secara illegal dan berburu satwa liar terutama burung. Ekowisata diterapkan sebagai alternatif solusi agar masyarakat dapat mendapat hasil dari wisata dan meninggalkan kebiasaan lamanya. Saat ini, andalan wisata Petungkriyono antara lain wisata Weloasri dan pengamatan satwa. Masyarakat yang dulu berburu—dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang letak fauna unik biasa muncul—sekarang diberdayakan menjadi informan (tour guide) bagi kegiatan wisata minat khusus seperti pengamatan. Selain direkrut menjadi pekerja di kawasan wisata, masyarakat sekitar juga memperoleh pundi-pundi dengan berdagang di lokasi wisata. Berburu tidak lagi menjadi hal yang dimaklumi. Jika ada yang ketahuan berburu, akan ditegur dan diedukasi bahwa Petungkriyono sudah menerapkan konservasi sehingga tidak boleh lagi ada perburuan. Upaya ini makin kuat dengan diterbitkannya peraturan desa terkait penerapan konservasi.

Melihat Desa Kramat yang dibina GASDA dan Petungkriyono yang diberdayakan SwaraOwa, bahwa keterlibatan praktisi diperlukan dalam ruang antara masyarakat dan konservasi. Dalam Diskusi Konservasi tempo hari, Yayasan Relung Indonesia yang juga turut memberdayakan perintisan ekowisata Petungkriyono memaparkan bagaimana keterlibatannya. Programnya dinamakan “Inisiasi Ekonomi Hijau”. Dalam konsep ini, ekonomi diupayakan terus tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan, khususnya fungsi ekosistem dan keragaman hayati, serta mengutamakan keadilan sosial. Untuk mewujudkannya, diperlukan sinergi dari parapihak agar tidak terjadi trade off antara kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial. Progress yang masih berjalan saat ini yaitu assessment peluang pengembangan ekonomi hijau, pendampingan masyarakat pelaku wisata, mengembangkan komunikasi dengan pemerintah desa, kabupaten, provinsi, dan pusat (KSDA), serta Perhutani. 

Pemanfaan sumber daya alam yang bijaksana masih akan terus menemui berbagai tantangan. Proses menuju kolaborasi antarpihak membutuhkan waktu yang panjang, diperlukan kesabaran dan sumberdaya yang tidak sedikit. Keberhasilannya tergantung pada aktor kunci di masing-masing instansi/lembaga. Proses ini juga menuntut fleksibilitas dalam menetapkan target capaian, mengingat banyak faktor eksternal yang dapat mempengaruhi jalannya program dan kegiatan. Namun sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Desa Kramat dan yang tengah dilakukan oleh masyarakat Petungkriyono, konservasi memang harus diterapkan agar harapan atas hutan yang lestari terus menyala. 

 

Sumber : 

Fennel, D.A.1999. Ecotourism : An Introduction.. Routlege, London and New York.