KP3 Pimata adalah kelompok studi yang bergelut mengenai segala yang berkaitan dengan primata. Baik penelitian, pengamatan atau memperhatikan isu-isu terkini mengenai primata. Biasanya sebelum melakukan penelitian dan pengamatan, diadakan pematerian ruang yang akan memberikan pemahaman sebelum melakukan penelitian dan pengamatan di lapangan.
Pengalaman Magang di Salah Satu Perusahaan Plantation di Ketapang, Kalimantan Barat #2: Monitoring Orang Utan (Camera Trap)
Monitoring satwa dilakukan untuk mengamati jenis, status, populasi, dan keanekaragamannya. Pemantauan yang dilakukan adalah pemantauan umum dan khusus. Pemantauan umum yang dilakukan untuk semua jenis satwa yang dilindungi yang ada di sekitar lokasi konsesi perusahaan. Pemantauan khusus dilakukan untuk jenis key species tertentu yakni orang utan. Monitoring satwa dapat dilakukan dengan pemantauan secara langsung dengan melakukan survei dan pemantauan secara tidak langsung yakni melalui pemasangan camera trap. Survei orang utan dan pemasangan camera trap dilakukan mulai tanggal 6 Agustus 2019.
Camera trap yang dipakai di PT. Mayangkara Tanaman Industri II Estate Mendawak bermerk Bushnell model 119877. Kamera tersebut dibekali sensor panas, infra merah, dan cahaya untuk memicu penangkapan gambar. Spesifikasinya yaitu beresolusi 24 megapixel, auto focus, dan Passive Infra Red Sensor. Monitoring oleh PT. MTI dilakukan kembali satu bulan setelah pemasangan untuk mengunduh gambar dan perawatan alat yang dipasang.
Pemasangan camera trap dilakukan di tempat yang sekiranya dilalui oleh objek pengamatan. Selain itu kamera juga dipasang menghadap utara atau selatan, dan tidak berhadapan langsung dengan sinar matahari karena dapat memicu pengambilan gambar yang berlebihan akibat adanya sensor cahaya. Area didepan camera trap harus dipastikan bersih dari gangguan penghalang dan bebas dari ranting sehingga memungkinkan objek bisa diharapkan lewat di depan camera dan dapat didokumentasikan dengan baik.
Posisi camera trap diletakkan dengan ketinggian 50 cm dari atas permukaan tanah. Arah kamera disejajarkan dengan ketinggian tempat dan objek pengamatan. Camera trap dikaitkan ke pohon sebagai tempat untuk bersandar dan diberi pengaman berupa tali sling. Monitoring oleh PT. MTI dilakukan kembali satu bulan setelah pemasangan untuk mengunduh gambar dan perawatan alat yang dipasang.
Gambar 1. Camera Trap yang digunakan dalam survey orangutan dikutip dari Laporan Magang UGM Kloter II di PT. Mayangkara Tanaman Industri II, Provinsi Kalimantan Barat
Pengalaman Magang di Salah Satu Perusahaan Plantation di Ketapang, Kalimantan Barat #1: Monitoring Orang Utan (Survey langsung)
Perusahaan ini memiliki total area konservasi seluas 12.318 hektar di wilayah Sanggau dan total area luas konservasi seluas 23.000 hektar di wilayah Kubu Raya dan Ketapang. Fungsi area konservasi diperuntukkan sebagai kawasan penyangga untuk menyuplai air di daerah yang lebih rendah serta difungsikan untuk lokasi konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan flora dan fauna khas. Salah satu fauna yang dilindungi yaitu orang utan. Orang utan termasuk ke dalam ordo primate dan family pongidae. Orang utan yang ada di area konservasi ini adalah jenis Bornean (Pongo pygmeus) yang memiliki wajah bulat dengan warna rambut merah tua. Orang utan termasuk jenis satwa liar yang tidak dapat berenang dan menghabiskan sebagian besar waktunya di pepohonan. Orang utan membuat sarang di pepohonan yang digunakan untuk tidur. Sarang tersebut terbuat dari ranting dan dedaunan.
Sarang orangutan diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan kelas sarang dan posisi sarang. Kelas sarang dibedakan dari umur suatu sarang sedangkan posisi sarang dibedakan dari letak sarang pada suatu pohon. Selain itu, orang utan membuat sarang baru setiap hari. Sarang yang dibuat yakni sarang siang hari (day nest) dan sarang malam hari (night nest). Day nest dibuat lebih sederhana dan tidak memiliki bagian bantal sedangkan night nest dibuat lebih hati-hati, nyaman, serta memiliki bagian bantal untuk tidur.
Survei orang utan sebagai salah satu contoh monitoring satwa dapat dilakukan dengan membuat jalur transek. Titik awal jalur transek diambil sejauh 100 m ke dalam dari tepi area konservasi. Selanjutnya, jalur transek dibuat sepanjang 1 km dengan interval pengamatan tiap 500 m. Pengamatan yang dilakukan meliputi kelas sarang, posisi sarang, jenis pohon, diameter pohon, dan pohon pakan di sekitarnya. Kelas sarang terdiri dari lima grade, yaitu A (berumur 1-3 hari dan masih segar), B (berumur 5-14 hari), C (sarang mulai berwarna kuning dan masih bagus), D (sarang sudah berlubang), dan E (sarang tinggal menyisakan rangka dedaunan dan ranting).
Sayangnya, hingga survei sarang primata berakhir kami tidak bertemu dengan orang utan melainkan hanya jejak berupa sarang yang telah ditinggalkan oleh orang utan tersebut. Sarang orang utan dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan kelas sarang dan posisi sarang.
Daftar pustaka:
Prasetyo, Didik & Ancrenaz, Marc & Morrogh-Bernard, Helen & Atmoko, S. & Wich, Serge & Schaik, Carel. 2009. Nest Building in Orangutans. 10.5167/uzh-31344.
Ikut Latihan Survei Primata Di Petungkriyono, Berkah Nolak Lomba Birdwatching
Semester tua kuliah, pada waktu ini mungkin mayoritas mahasiswa akan berpikiran untuk fokus pada masa kedepannya dengan menjalani kehidupan sehari hari dengan rajin meningkatkan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan akademik kampusnya, dan salah satunya saya. Pada awal memasuki semester 5 (saya anak diploma, di kampus milik kemenkes 🙂 ) sudah saya niatkan dalam hati untuk mengurangi bahkan tidak melakukan kegiatan non akademik yang tidak berhubungan dengan bidang kuliah saya. Akhirnya sayapun memutuskan untuk tidak mengikuti ajang bergengsi bagi pengamat burung yaitu lomba pengamatan burung yang pastinya saya sebagai pengamat burung dengan berat hati menolaknya, ya meski skill saya masih abal-abal dan positif pasti kalah, tapi dalam event tersebut setidaknya bisa menikmati euforia serunya pengamatan dan kegiatan lainnya bersama peburung lain, serta hal penting lainnya adalah nambah kenalan, Eaaaa. Kegiatan sehari-hari sebagai mahasiswa sok rajinpun saya lakukan, meski mungkin tidak ada bedanya dengan semester lain sebelumnya.
Belum lama hijrah untuk menjadi mahasiswa yang taat pada akademik, tapi sepertinya alam menolak saya untuk vakum, datanglah banyak godaan menarik yang berat untuk ditinggalkan. Salah satu godaan muncul waktu itu dari grup whatsapp, ada teman yang membagikan poster suatu kegiatan yaitu pelatihan metode survey primata/MSP yang akan dilaksanakan di Petungkriyono tanggal 11-13 Oktober 2019, dan itu gratisss, persyaratan cuma ngirim cv dan kalimat motivasi ikut kegiatan tersebut. Tentu saja hal pertama yang dibayangkan ketika membaca lokasi di Petungkriyono adalah hutan yang masih sangat mewah sangat alami dan pastinya saya kepikiran burungnya, malah bukan primata. Burung yang sudah di anggap sirna seperti Ekek geling dan jenis favorit saya seperti julang emas, elang jawa, raja udang kalung biru berterbangan di kepala saya, berharap bisa langsung bertemu pada kegiatan tersebut. Seketika niat untuk vakum tidak mengikuti kegiatan yang tidak menunjang bidang kuliahpun bubraah, langsung saja saya membuat dan mengirimkan persyaratan yang diibutuhkan. Selang beberapa hari tiba tiba saat membuka whatsapp satu grup baru muncul, nama grup tersebut adalah “peserta MSP”, alhamdulillah. Antara senang dan heran kenapa orang seperti saya diperbolehkan ikut.
Tibalah saatnya hari Jumat tanggal 11 Oktober, waktunya berangkat ke Petungkriyono, dan sayapun harus mengulangi kebiasaan lama yaitu membolos pada jam kuliah demi ikut kegiatan di luar kampus. Titik kumpul para peserta dari jogja di tamtim FKT UGM, kawan lama kawan baru jadi satu. Jadwal kita berangkat dari jogja ke Petungkriyono adalah jam sebelas menggunakan kendaraan elf, waktu sekitar 7 jam di perjalanan saya habiskan untuk menunaikan kegiatan wajib yaitu tidur. Waktu maghrib kami telah sampai di titik pemberhentian sebelum menuju ke lokasi untuk berganti kendaraan dari elf ke mobil pickup. Perjalanan malam menuju tengah hutan Sokokembang dimulai. Di atas bak belakang pickup kami disuguhi hawa sejuk petungkriyono yang pada saat itu baru saja diguyur hujan sambil bercerita kisah masing-masing dan bergoyang mengikuti gerakan kendaraan yang kita gunakan berjalan meliuk liuk mengikuti jalur jalan menuju tempat tujuan. Di pinggir sepanjang perjalanan pemandangan pohon pohon hutan sangat terlihat syahdu dilihat dengan bantuan sinar bulan yang remang-remang. Tak terasa sekitar 20 menit berlalu dan sampailah kita di rumah pak Tasuri, tempat kita akan bermalam selama kegiatan berlangsung.
Setibanya di tempat, kami beristirahat sebentar dan memenuhi keperluan pribadi masing-masing seperlunya karena pada jam 7 dilaksanakan untuk agenda yaitu pematerian pertama oleh mbak Salmah Widyastuti. Sebelum materi dimulai dilakukan pembukaan acara yang diisi sambutan sambutan, yang pertama oleh pak tasuri dan beliau juga memberikan beberapa tips dalam kegiatan pengamatan satwa liar di hutan petungkriyono seperti bagaimana mengidentifikasi tumbuhan yang bisa dimanfaatkan, mana yang berbahaya dan cara cara pengamatan satwa liar berdasarkan pengalaman pribadi pak tasuri sebagai warga lokal saat beliau masuk ke hutan. Materi pertama disampaikan oleh mbak Salmah dari SwaraOwa, adalah penjelasan tentang primata primata Di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, lalu jenis jenis yang terdapat di Petungkriyono dan ciri ciri deskripsi morfologinya untuk keperluan identifikasi di lapangan. Ternyata primata adalah satwa yang unik dan setiap jenisnya mempunyai karakteristik masing masing, pada bagian materi tersebut hati saya mulai terbuka dan tertarik untuk mempelajari taksa hewan tersebut. Materi selanjutnya adalah tentang salah satu metode survey primata yang akan dipraktikan esok harinya di lapangan yaitu metode line transek. Dijelaskan pada pematerian ini untuk metode line transek yaitu survey dengan menggunakan petak jalur transek yang lurus. Untuk metode ini diperlukan persiapan berupa, studi literature, peta lokasi target survey, survey awal untuk ketinggian, kondisi umum, aksesibilitas dll, informasi dari penduduk dan persiapan perlatan yang memadai. Lalu dilanjut tentang penjelasan pengisian talysheet, rumus yang digunakan untuk menghitung lebar jalur survey, dan yang terakhir adalah tentang cara menghitung kerapatan berdasarkan data yang telah diperoleh yaitu jumlah dibagi dengan luas area. Pematerian untuk hari pertama yang diberikan mbak Salmah sangat jelas dan mudah dipahami. Hari yang telah larut malam menyebabkan badan mengajak untuk segera rebahan, menyiapkan untuk esok hari, sehingga seusai pematerian saya langsung menyeting diri untuk nge-sleep.
Hari kedua dimulai. Suara owa saling bersahutan menyambut bangun tidur kita. Di hari ini akan di lakukan kegiatan di lapangan yang berupa hutan sokokembang yang maha indah, menerapkan materi line transek untuk survey primata yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada kegiatan di lapangan ini dimulai jam 6.30 dan dibagi menjadi 3 kelompok dengan jalur yang berbeda dan saya kebagian di jalur lawas, setiap jalur didampingi oleh masyarakat lokal sebagai penunjuk arah. Perkelompok dibagikan alat alat survey yang bagi saya masyarakat umum masih sangat asing dengan alat tersebut dan sedikit kebingungan cara mengoperasikan alat tersebut, serta nggumun dengan kecanggihannya. Setelah persiapan sudah dirasa cukup dan telah melaksanakan kegiatan wajib foto foto bersama, maka perjalananpun dimulai. Pada jalur lawas perjalanan kami di awali dengan menyeberangi sungai berbatu untuk menuju ke punggungan bukit di sebrangnya. Suara burung meninting saling bersahutan kemungkinan dari banyak individu, tapi saya harus mengurungkan keinginan untuk duduk diam menunggu kemunculan wujudnya untuk melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tersebrangi, lereng licin langsung kami daki perlahan. Susah tidak, senang iya akhirnya kami sampai di jalan utama jalur lawas yang sebenarnya tidak berwujud jalan, karena maklum di dalam hutan. Istirahat sebentar mengendalikan nafas, lalu kami mempersiapkan peralatan dan mulai mencatat titik awal kami untuk jalur perjalanan. Perjalanan kami lakukan dengan menerapkan pesan dari mas Wawan yaitu berjalan dengan santai, tidak tergesa gesa, dan mengamati sekitar. Tidak lama dari titik awal kita memulai survey, mas Anton dari BOSF(Borneo Orangutan Survival Foundation) yang merupakan sesepuh ahli primata yang membimbing kelompok kami, tiba tiba menyuruh kami berhenti dan menunjuk kearah kiri dan benar saja kawanan primata berwarna hitam lalu lalang searah jalan yang kita lalui, dengan binocular minimalis milik sendiri saya arahkan mata ke kawanan tersebut, dan hasilnya.. burem karena rapatnya tegakan di sekitar dan bino saya yang kurang mampu, padahal jaraknya adalah sekitar 15 meter saja, akhirnya kami hanya menunggu hasil identifikasi dari para sesepuh, hasil identifikasinya adalah jenis tersebut ialah lutung dan berjumlah 8 ekor dengan beberapa didapati membawa individu muda. Data-data untuk talysheet kami catat lalu kami move on dari kelompok lutung tersebut yang memang makin menjauh, perjalanan dilanjutkan. Selama perjalanan di kanan kiri kami suguhan indahnya tegakan tegakan megah hutan yang juga banyak dari pohon tersebut ialah pohon pakan untuk hewan hewan liar sangat menghilangkan rasa lelah perjalanan kita. Setelah berjalan agak jauh dari titik kawanan pertama lutung yang kami temui, kami bertemu lagi dengan kawanan primata lagi di sebelah kiri kami yang kali ini jaraknya agak jauh dan seperti sebelumnya kami menebak nebak jenis tersebut lalu menanyakannya kepada master. Hasilnya adalah jenis tersebut adalah lutung dengan jumlah yang lebih sedikit dari sebelumnya, data data kami catat, dan saya masih agak kewalahan menggunakan alat yang bernama gps dan teman-temannya yang saya lupa namanya. Jalur lawas masih panjang, kelompok kita harus melewati belokan karena terdapat jurang pemisah jalur di lereng yang kita lalui dan hal tersebut kami lalui dua kali. Akan tetapi tetap saja keindahan hutan petungkriyono selalu membuat kita senang untuk selalu menerabasnya. Disekitar belokan tersebut terdapat flora flora kecil yang menarik, salah satunya kami menemukan anggrek yang sedang mekar berbunga berwarna putih, kamipun juga melewati sungai kecil yang airnya sangat menyejukan. Terlalu asik dengan perjalanan tidak terasa kami sampai di titik terakhir jalur survey pengamatan. Istirahat sambil review hasil pengamatan sebelum kita kembali ke basecamp. Istirahat sudah cukup kamipun menuju jalur pulang menuruni bukit melewati kebon bambu. Baru saja mengawali perjalanan kembali, semut semut langsung memberikan salam perpisahan dengan gigitannya yang lumayan nylekit tidak mudah dilupakan. Daun daun bambu yang berserakan di lantai tanah ditambah tanah yang miring serta basah akibat hujan membuat beberapa dari kami ada yang terpeleset sambil senyum senyum malu. Aliran sungai berbatu sudah terlihat kembali tandanya kami sudah berada di bawah dan tinggal mengikuti jalan aspal untuk kembali ke tempat pak Tasuri.
Sesampainya di basecamp kamipun beristirahat, membersihkan diri lalu baru saya sadari ternyata ada pacet yang minum darah pada kaki, pengalaman pertama dengan pacet. Antar kelompok saling berbagi cerita dengan kelompok lainnya. Dari kelompok lain juga bernasip sama hanya bertemu dengan jenis lutung saja. Ada berita yang lumayan buruk dari salah satu kelompok lain yaitu ditemukannya jaring untuk berburu burung lengkap dengan burung terperangkap di dalamnya, mungkin ini penyebab utama kenapa hutan Petungkriyono yang semegah ini burungnya tidak begitu rame. Jaring sudah dibabat kembali fokus ke primata, agenda selanjutnya adalah analisa hasil bersama mbak Salmah dari hasil pengamatan kelompok kelompok menggunakan rumus yang telah diajarkan sebelumnya dan penggunaan aplikasi pemetaan untuk jalur yang telah dilewati. Perhitungan untuk hasil pengamatan tergolong mudah, tapi hanya sayanya saja yang terlalu pintar sehingga sedikit kebingungan dengan penjelasan materi sebelumnya hehe. Setelah analisa hasil selesai, diadakan pematerian oleh mas Anton, yang ditemani dengan suasana hujan yang lumayan deras. Materi dari mas Anton lebih ke sharing tentang jalan pengalaman beliau selama bergerak dan berdedikasi di bidang konservasi terutama konservasi primata yang sangat menginspirasi para peserta untuk konsisten bergerak dalam melakukan kegiatan konservasi dan untuk selalu bergembira dalam bekerja. Pematerian selesai sekitar jam empat sore setelah itu adalah kegiatan luang. Salah seorang teman yang sedang iseng iseng memantau sekitar melihat suatu yang tidak asing, dan seekor surili terpantau sedang bersantai sore hari di atas tajuk pohon yang dimana dari pendopo pertemuan terlihat jelas. Tentu saja tanpa waktu lama surili tersebut langsung menjadi pusat perhatian, surili sadar kamera tersebut nangkring lumayan lama dan anteng sehingga teman teman telah puas mengamati dan mengambil fotonya sebelum akhirnya primata tersebut turun menghilang.
Pukul 7 malam dan pematerian selanjutnya dimulai yaitu tentang metode survey primata khususnya owa jawa menggunakan vocal counting atau penghitungan jumlah kelompok owa menggunakan suara. Konsep dari vocal count sendiri adalah owa merupakan primata yang berkelompok dan memiliki wilayah teritorial yang stabil serta dipimpin oleh betina yang untuk menandai wilayahnya menggunakan cara melakukan suara great call pada pagi setelah matahari terbit sedangkan untuk jantan biasanya bersuara pada dini hari sebelum matahari terbit. Jadi untuk memetakan atau memprediksi jumlah kelompok owa dapat menggunakan vocal count, triangulasi dengan pos pendengaran lebih dari 1. Untuk data data yang diperlukan yaitu terdapat data utama berupa waktu dan sudut kompas, sedangkan data pendukung berupa prediksi jarak dan jumlah dari great call. Semakin banyak sudut kompas yang membidik arah suara dan didapatkan perpotongan semakin valid data yang didapatkan. Penentuan dari pos pendengaran sendiri yaitu minimal 3 titik pendengaran, tempatnya tinggi, dan bebas dari sumber kebisingan. Waktu sudah malam dan esok hari harus bangun pagi untuk penghitungan suara owa, maka pematerian dicukupkan. Selamat tidur.
Hari ke tiga tanggal 13 alias hari terakhir di tempat indah ini. Sesuai agenda pagi pagi sekali kami telah bangun tidur meski tidak mandi terlebih dahulu dan bersiap ke lapangan untuk mendengarkan dan menghitung suara owa betina pemimpin kelompok. Seperti sebelumnya dibagi lagi tetapi hanya 2 kelompok dengan jalur masing masing, kali ini saya kebagian titik rumah pohon dan tidak seperti sebelumnya yang harus langsung trabas sungai, jalur yang satu ini di awali dengan melewati jalan aspal dan langsung naik ke bukit dengan tutupan lahan yang kurang rapat berbeda dengan jalur lawas kemarin. Sesampainya di titik pos pendengaran kami langsung memposisikan diri duduk dan fokus mendengarkan setiap suara owa betina yang melakukan great call mencatat data yang diperlukan. Dikarenakan kali ini metode yang digunakan adalah berdiam di satu titik dan tidak bergerak seperti line transek maka menimbulkan rasa gabut pada para pengamat sehingga mengakibatkan keadaan kurang fokus pada tujuan dan khilaf untuk asik saling mengobrol. Pengamatan menggunakan metode vocal count ini dilakukan sampai jam 9. Pengamatan di akhiri lalu dilakukan kegiatan wajib yaitu foto bersama, sebelum kembali ke basecamp tercinta rumah pak Tasuri. Kalau sebelumnya di jalur lawas salam kepulangan saya dapatkan dari semut semut, kali ini seekor elang kemungkinan Elang Jawa tanpa disadari telah lama tengger di dekat pos pengamatan lalu terbang menjauh saat kami akan turun, sama sakitnya dengan tergigit semut kemarin.
Untuk menghemat waktu sesampainya di tempat pak Tasuri langsung dilakukan analisa hasil pengamatan dari setiap pos menggunakan aplikasi BaseCamp untuk pemetaan kelompok. Sebelum data dimasukan dilakukan terlebih dulu pencocokan kesamaan waktu setiap pos atau jumlah greatcall, lalu dipetakan menurut sudut kompas suara dan lokasi asal suara. Kelompok yang masuk dalam analisis yaitu yang minimal terdengar dari 2 titik pengamatan. Karena terjadi kekhilafan saat mengambil data maka ada beberapa data yang kurang lengkap dan tidak dipakai hehe.. .Proses pemetaan menggunakan aplikasi BaseCamp seluruh peserta mencoba sendiri satu persatu dalam pendampingan mbak Salmah. Seusai melakukan pemetaan dari hasil pengamatan menggunakan vocal count, mbak Salmah memberikan materi tentang spesies distribution modeling pada primata, yaitu metode analisa untuk memprediksi distribusi geografis satwa pada waktu tertentu berdasarkan data lingkungan yang berpengaruh menggunakan software Maxent. Dengan diakhirinya materi terakhir maka selesai sudah rangkaian kegiatan Pelatihan Survey Primata 2019. Penutupan acara dilakukan oleh mas Wawan dan beliau berharap untuk para peserta untuk tidak berhenti hanya pada kegiatan MSP dalam upaya konservasi primata.
Kendaraan yang menjemput kami pulang ke Jogja datang jam 4 sore, masih ada senggang waktu lama, kesempatan tersebut kami manfaatkan untuk merasakan slulup air sungai di Petungkriyono yang masih sangat bening. Ada keberuntungan yang datang pada jam jam akhir di tempat ini, salah satu list target saya raja udang kalung biru mondar mandir tanpa malu diatas sungai tempat kami menyeburkan diri. Puas dengan sungai dan raja udang kami kembali ke basecamp untuk berkemas dan kembali ke Jogja. waktu kepulangan siang hari membuat kami bisa menikmati jalan di Petungkriyono dari atas pickup dengan view yang berbeda dengan saat awal berangkat. Turun dari pickup ganti naik elf dan perjalanan kembali ke realita masing masing.
Sungguh suatu berkah bisa ikut kegiatan satu ini, saya sebagai masyarakat umum sangat jarang kesempatan untuk mendapatkan ilmu tentang dunia konservasi khususnya primata yang juga disampaikan oleh pemateri-pemateri yang telah ahli pada bidangnya dan dikegiatan ini saya mendapatkan kesempatan tersebut. Lokasi kegiatan yang berada di Petungkriyono juga sangat berkesan bagi saya yang baru pertama kali mengunjunginya, tempat harus dikunjungi lagi. Serta waktu bersama kawan lama dan kawan baru juga akan sulit untuk dilupakan. Terima kasih banyak untuk semua pihak yang berjuang keras untuk terciptanya dan melancarkan berjalannya event ini. Semoga kedepannya event MSP tetap bisa dilakukan secara rutin tiap tahun dan semua kalangan bisa mendepatkan kesempatan untuk mengikutinya, mungkin saya ikut lagi hehe.
Nolak lomba birdwatching, berkah gratisan main ke petungkriyono dan gagal vakum dunia konservasi, terima kasih hahaha 😀
Peka Kukang : Pengamatan Kukang di Hutan Kemuning, Temanggung, Jawa Tengah
Foto Tim KP3 Primata FORESTATION FKT UGM dan KSSL FKH UGM
Pada Sabtu, 2 Maret 2019 kawan-kawan KP3 Primata berkesempatan melakukan pengamatan Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Hutan Kemuning, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Kukang Jawa merupakan salah satu primata yang sering diburu dan dijual. Menurut IUCN Redlist status konservasi kukang Jawa saat ini adalah kritis. Selain dihadapkan dengan tantangan perburuan dan perdagangan illegal, habitatnya saat ini telah berkurang dan semakin sempit, diacu dalam website kukangku hanya tersisa 20% area yang masih layak sebagai habitat satwa tersebut. Pengamatan ini merupakan yang kedua kalinya dan kali ini kami bersama kawan dari KSSL (Kelompok Studi Satwa Liar) FKH UGM.
Hutan Kemuning merupakan salah satu habitat kukang Jawa di Jawa Tengah. Hutan dengan konsep pengelolaan Agroforestry berbasis kopi ini, diketahui tetap menjaga keberadaan kehidupan kukang. Tujuan pengamatan kali ini adalah monitoring dan belajar tentang pengambilan data distribusi primata berdasarkan keruangan. Sebelum melakukan pengamatan, dilakukan sharing mengenai teknis pengambilan data distribusi yaitu mencatat keberadaan kukang dengan menandai titik koordinat melalui GPS. Pengamatan dibagi dalam tiga kelompok untuk menyusuri tiga jalur pengamatan, dimulai pada pukul 22.00 WIB dan diakhiri pada pukul 00.00 WIB. Hasil dari pengamatan ini ditemukan keberadaan kukang hanya ada di dua jalur. Kukang Jawa yang ada di kawasan tersebut beberapa ada yang telah dinamai, seperti Kukang Mahfut, Kukang Eny, Kukang Tungga, dan Kukang Slamet yang telah dilakukan pemasangan GPS Collar pada kukang tersebut. Pemasangan tersebut dilakukan untuk tujuan penelitian. Fungsi dari GPS Collar ini adalah untuk mengetahui keberadaan, daerah ataupun daya jelajah kukang yang ada di Hutan Kemuning. Selain mendapati keberadaan kukang, kali ini kami juga mendapati adanya mamalia kecil seperti luwak, tupai besar walangkopo atau sering disebut beluk oleh warga lokal, juga herpetofauna seperti bangkong kolong, bunglon, juga beberapa jenis katak. Diharapkan dengan pengamatan kali ini, kawan-kawan yang telah mengikuti dari awal hingga akhir dapat menerapkan salah satu metode yang telah dipelajari untuk penelitiannya, juga menambah jaringan dan pengetahuan akan kukang sehingga semakin peka dan cinta pada primata Indonesia.
Foto Salah Satu Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) yang Teramati Bernama Kukang Eny
Pengamatan Habitat Monyet Ekor Panjang di Desa Penyangga Suaka Margasatwa Paliyan
Oleh: Ryan Prihantoro
Foto Kegiatan Pengamatan Habitat
Cuaca Jogjakarta di penghujung weekend (06/4/2019) nampaknya mendukung perjalanan untuk melakukan pengamatan habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Suaka Margasatwa Paliyan. Sebuah suaka margasatwa dengan luasan 434,834 Ha yang masuk dalam dua kecamatan yaitu Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosar, Kabupaten Gunung Kidul. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian hutan Paliyan dialihfungsikan menjadi Suaka Margasatwa Paliyan. Sehingga, kawasan yang tadinya dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta yaitu pada petak 136 s/d 141 sebagai hutan produksi menjadi kawasan yang diperuntukkan untuk melindungi habitat monyet ekor panjang sekaligus menjadi tempat khusus untuk monyet ekor panjang tidak keluar ke kawasan penduduk (Sulistyo, 2005).
Menariknya, tahun 1998 masyarakat merambah kawasan Paliyan dan menjadikan hampir 80% dari kawasan Paliyan sebagai tempat berladang. Menurut BKSDA Yogyakarta (2005) kerusakan ekosistem yang berimbas pada kerusakan habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) membuat mereka keluar untuk mencari pakan ke kebun dan ladang masyarakat yang berada di luar Suaka Margasatwa Paliyan. Dilihat dari pengamatan yang dilakukan di sekitar Goa Jemblong, bahwa memang saat menelusuri ke dalam SM Paliyan cukup dominan tanaman pertanian yang ditanam oleh masyarakat, beberapa dilakukan dengan model pertanaman agroforestri yang terdiri dari tanaman kehutanan yaitu Jati dan tanaman pertanian yang berupa kacang, ketela pohon, rumput gajah. Habitat yang kurang cocok untuk seekor primata yang masih dalam kategori Least Concern (LC) dan Appendix II dalam CITES yang berarti belum terancam punah, akan tetapi dapat terancam punah apabila tingkat mortalitas dan perdagangannya tidak dikendalikan.
Pengamatan ini lebih memiliki tujuan pada berlatih cara pengambilan data habitat untuk primata. Simulasi pengambilan data dilakukan di sekitar Goa Jemblong yang termasuk dalam kawasan desa penyangga di SM Paliyan dengan pembagian peserta menjadi 3 kelompok yang masing-masing berjumlah 3-5 anak. Setiap peserta mengambil data persen tutupan tajuk dan tumbuhan bawah sekaligus membuat nested sampling ukuran 20 m x 20 m untuk mengidentifikasi pohon yang ada. Pengamatan dengan waktu kurang lebih 45-60 menit dilanjutkan dengan presentasi singkat masing-masing kelompok untuk hasil data yang didapatkan. Secara garis besar persen tutupan tajuk didapatkan berkisar antara 50-85%, sedangkan tumbuhan bawah berkisar antara 30-50% dengan pohon yang ditemukan dan dominan berupa Jati (Tectona grandis). Baru setelah itu terdapat penjelasan singkat mengenai hasil dari pengambilan data yang dilakukan. Sebuah perjalanan singkat mencari pengetahuan yang semoga akan bermanfaat di kemudian hari. Dari suaka sedikit suara monyet yang terdengar di hati, bahwa primata seperti mereka juga perlu ruang untuk tumbuh tanpa intervensi.
Sumber :
BKSDA Yogyakarta 2005. Suaka Margasatwa Paliyan. Diakses dari bksdadiy.dephut.go.id/halaman/2015/22/S M_Paliyan.html Pada tanggal 10 Januari 2016.
Sulistyo, Kuspriadi. 2005. Kajian Rencana Rehabilitasi Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Pelatihan Metode Survei Primata 2018
Para peserta pelatihan metode survei primata 2018
Pekalongan, 19 Oktober 2018 – Tahun ini merupakan keenam kalinya KP3 Primata FKT UGM bekerja sama dengan LSM Swara Owa untuk mengadakan pelatihan metode survei primata di habitat salah satu primata endemik yang sekarang populasinya menurun yaitu Owa Jawa di Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 12-14 Oktober 2018 dengan dukungan dari berbagai pihak sponsor juga merupakan ajang memperingati hari Owa Internasional yang diperingati setiap tanggal 24 Oktober. Acara yang bertujuan untuk mendorong munculnya generasi muda pegiat konservasi, peniliti primata, dan menjalin kerjasama berbagai pihak untuk mempelajari terkait konservasi primata dihadiri oleh para akademisi dari berbagai universitas lokal, instansi pemerintah, dan komunitas-komunitas lokal. Selain dikenalkan tentang teknik survei populasi primata di lapangan, kami juga mengundang para konservasionis primata yang sudah berpengalaman dari Kadoorie farm and botanic garden – China yaitu Dr. Bosco Chan yang berpengalaman dalam konservasi Owa Hainan di China, dan Dwi Yandhi Febriyanti dari Macaca Nigra Project dengan pengalamannya dalam konservasi Monyet Yaki di Sulawesi.
Pada hari pertama perwakilan dari KPH Pekalongan Timur sebagai pemilik kawasan memberikan sambutan dan mendukung adanya kegiatan ini. Selain itu diceritakan pula terkait primata-primata yang ada di Sokokembang oleh peneliti primata di Sokokembang, lalu dilanjutkan dengan penyampaian materi teknik survei lapangan yang pertama yaitu metode line transect untuk bekal di lapangan di hari selanjutnya. Materi disampaikan oleh Arif Setiawan dari pihak Swara Owa yang sudah berpengalaman dalam kegiatan lapangan terkait penelitian ataupun monitoring primata.
Sharing pengalaman konservasi Monyet Yaki di Sulawesi oleh Dwi Yandhi Febriyanti
Sharing pengalaman konservasi Owa Hainan di China oleh Dr. Bosco Chan
Pada hari kedua dilakukan pelaksanaan kegiatan survei lapangan menggunakan metode line transect. Lokasi kegiatan telah ditentukan sebelumnya yaitu ada 3 jalur meliputi Kalirambut, Iger Menyan, dan Rumah Pohon. Para peneliti diajak untuk mengamati langsung dengan berjalan mengikuti jalur yang telah dibuat sesuai dengan metode line transect dan mencatat perjumpaan dengan primata. Setelah kegiatan survei lapagan selesai selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data untuk mengetahui kerapatan jumlah individu per satuan luas. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan oleh peneliti dengan bimbingan dari Arif Setiawan. Kegiatan berikutnya adalah pematerian sesi pertama dan diskusi dengan Dr. Bosco Chan yang membawakan materi tentang Konservasi Owa Hainan yang ada di China. Beliau menceritakan tentang sejarah dan alasan menurunnya populasi Owa Hainan yang ada di Pulau Hainan serta upaya konservasi yang dilakukan untuk menjaga populasi dari Owa Hainan tersebut. Beliau juga mengkampanyekan pelestarian dan konservasi primata khususnya Owa (gibbon) yang menjadi perhatian dunia karena populasinya yang menurun dan hampir punah. Acara dilanjutkan dengan pematerian dan diskusi sesi kedua bersama Dwi Yandhi Febriyanti. Beliau banyak bercerita mengenai pengalamannya dalam Konservasi Monyet Yaki yang merupakan salah satu primata endemik dari Sulawesi Utara. Primata jenis ini berwarna hitam legam yang terkenal dengan jambulnya dan terdapat bantalan pada pantatnya. Dalam diskusi tersebut diceritakan tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Proyek Macaca Nigra dalam upayanya untuk mengkonservasi Monyet Yaki di Gunung Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Setelah pematerian dan diskusi kemudian dilakukan pembekalan metode survei lapangan untuk hari berikutnya yaitu metode vocal count-triangulation yang dibawakan oleh Arif Setiawan.
Pengamatan dengan menerapkan metode line transect
Survei dengan menerapkan metode vocal-triangulation mengestimasi melalui suara primata
Pada hari ketiga dilakukan pelaksanaan metode vocal count-triangulation oleh peneliti setelah menuju ke lokasi yang telah ditentukan di hari pertama. Metode vocal count-triangulation mengajak peneliti untuk mendengar langsung suara dari primata khususnya Owa Jawa yang mana jenis ini dapat mengeluarkan suara yang khas dan mampu terdengar hingga radius kurang lebih 600 meter. Peneliti mencatat data arah koordinat datangnya suara, durasi suara, dan taksiran jarak pendengar dengan pusat suara. Setelah pengambilan data selesai, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengolahan dan analisis data. Data tersebut digunakan untuk mengetahui kerapatan individu per satuan luas dan juga untuk mengetahui taksiran jumlah populasi spesies dan sebaran spesies primata bersuara seperti Owa Jawa yang ada di lapangan. Pengolahan dan analisis data lapangan merupakan penghujung dari rangkaian kegiatan Metode Survei Primata 2018. Kegiatan ini diharapkan mampu memberi semangat bagi para generasi muda untuk menjadi aktor penyelamat primata dengan pengetahuan teknik survei primata di lapangan dan bersama-sama stakeholder lainnya menjalin komunikasi untuk menjaga keutuhan ekosistem hutan.
Pengamatan Perilaku Primata Gembira Loka Zoo
Anggota yang ikut serta pengamatan di Gembira Loka Zoo
Yogyakarta – Pada tanggal 6 Oktober 2018 lalu kami mengunjungi kebun binatang Gembira Loka. Kami berangkat menuju lokasi di siang hari pukul 13.00 WIB. Tujuan kami mengunjungi kebun binatang Gembira Loka yaitu mencoba menerapkan metode pengambilan data perilaku primata yang telah dipelajari pada pematerian ruang di minggu sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada satu individu primata (focal animal sampling) dengan pencatatan perilaku menurut interval waktu yang telah ditentukan sebelumnya (instataneous sampling). Dalam pengamatan perilaku terdapat unit perilaku yaitu state yang merupakan perilaku individual atau grup yang berlangsung lama (jenis perilaku yang dapat dihitung durasinya/ongoing), lalu event yang merupakan perilaku yang tidak dapat dihitung durasi (hanya dapat dihitung kali kejadian/momentary) (Sackett, 1978), dan bouts yang merupakan kejadian repetitif dari perilaku yang sama (dapat dipisahkan berdasar perilaku dan interval kejadian) (Heiligenberg, 1965; Mulligan 1963).
Simpanse (Pan troglodytes) Lutung Budeng/Jawa (Trachypithecus auratus)
Owa Kalimantan (Hylobates muelleri) Bekantan (Nasalis larvatus)
Pengamatan kali ini kami dibagi menjadi tiga kelompok yang mengamati primata besar yaitu orangutan, simpanse dan primata kecil yaitu bekantan. Interval waktu pencatatan digunakan waktu 5 menit tiap perilaku yang teramati selama 30 menit. Dengan pengamatan di siang hari kami melihat bahwa bekantan lebih sering aktif bergerak dibanding primata besar. Pengamatan perilaku primata dilakukan di kebun binatang memudahkan kami untuk fokus terhadap objek pengamatan, dibandingkan di hutan. Selain kami melakukan pengamatan perilaku, kami juga mengenal jenis-jenis primata disini. Kelompok primata besar yang ada disini yaitu ada orangutan (Pongo pygmaeus) dan simpanse (Pan troglodytes), sedangkan kelompok primata kecil disini yaitu Lutung budeng/Jawa (Trachypithecus auratus), lutung simpai putih (Presbytis mitrata), owa Kalimantan (Hylobates muelleri), dan bekantan (Nasalis larvatus). Dengan pengamatan kali ini diharapkan anggota-anggota KP3 Primata dapat lebih mengenal jenis dan dapat menerapkan metode pengambilan data perilaku primata dengan benar untuk penelitian.
Sumber:
Lehner, P. 1998. Handbook of Ethological Method, Second Edition. Cambridge University Press. England: Cambridge.
Sackett, G.P. 1978. Observing Behavior (Vol. 2): Data Collection and Analysis Methods. Baltimore: University of Park Press.
Pygma : Ceritaku Untuk Dunia
Oleh: Ryan Prihantoro
Aku Pygma, seekor Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang sedang tumbuh dan berkembang. Namun, aku juga tidak terlalu paham bagaimana ibukku dahulu. Sebab setelah aku lahir, hidupku menyendiri tanpa asuhan dan kasih sayang. Rumah tempatku bermain telah berganti dengan tanah lapang, di beberapa tempat hanya ada bekas tebangan pohon yang tak bisa untukku belajar berayun dengan bebas, yang lainnya hanyalah kayu-kayu bekas terbakar. Saatku bermain terlalu jauh, hanyalah terlihat luasnya sawit (Elais sp.) sepanjang mata memandang, yang mana tak satupun buahnya dapat kumakan. Ya itu rumahku sekarang, dengan tandusnya tanah dan kurangnya air yang bisa kuminum. Sedikit dongeng dari beberapa ibu temanku bahwa oknum (re : manusia) telah bersikap rakus, mereka ambil semua yang ada di rumahku, mengubahnya menjadi perkebunan sawit dan sering memburu kami entah untuk hobi ataupun dengan maksud ekonomi.
Menurut WWF total populasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Pulau Borneo di wilayah Indonesia maupun Malaysia pada tahun 2004 sekitar 3000 hingga 4500 ribu individu. Orangutan memiliki rambut panjang dan kusut berwana merah gelap kecoklatan dengan warna pada wajah berwarna merah muda, merah, sampai hitam. Perbedaan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dengan saudaranya Orangutan Sumatra (Pongo abelii) adalah pada bantalan pipi dan kantung suara pejantannya di fase dewasa. Pada Orangutan Kalimantan bantalan pipi melebar sehingga keseluruhan wajahnya terlihat bulat, sedangkan Orangutan Sumatera memiliki bentuk wajah yang terlihat oval sebab bantalan pipinya menggelambir, serta bentuk dagunya terlihat lebih panjang. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) banyak ditemukan di hutan dataran rendah dibanding dataran tinggi sebab buah-buahan berukuran besar lebih banyak dihasilkan dari hutan dan lahan gambut di daerah yang juga menjadi daerah jelajah orangutan ini. Tercatat selama 20 tahun terakhir, habitat Orangutan Borneo berkurang paling tidak sekitar 55%. Menurut artikel resmi Mongabay (20/2/2018) 148.000 individu orangutan dari Pulau Kalimantan selama 16 tahun terakhir telah tiada. Lebih detail dikatakan bahwa 63-75% tingkat penurunan orangutan paling tinggi ada di daerah yang mengalami deforestasi atau daerah yang dikonversi menjadi perkebunan di Kalimantan dan di Sabah, Malaysia. Namun menariknya hampir tidak ada hutan tanaman industri dan kawasan penggundulan hutan di wilayah orangutan di Sarawak, Malaysia. “Orangutan yang ada di Kalimantan dibunuh karena situasi konflik, saat hewan didorong memasuki taman atau perkebunan karena habitat yang telah rusak,” ujar Maria Voight, seorang peneliti Orangutan Kalimantan yang mana jurnalnya diterbitkan oleh Current Biology Maret 2018.
Begitulah kisahku yang sendu nan haru, seakan aku hidup dalam kenistaan dengan alur hidup yang tak pernah diharapkan. Hei kalian (re : manusia), bukankah kita bisa hidup bersama, berdampingan, dan saling menjaga? Kami juga perlu disayang, dengan penuh pengharapan untuk hidup yang lebih indah sekarang dan masa depan.
Sumber :
WWF Indonesia. 2017. Kenali Lebih Dekat Orangutan di Indonesia. https://www.wwf.or.id/rss.cfm?uNewsID=63143 (diakses 24 September 2018 pukul 20.14 WIB).
Jejak Konservasi Kalitengah
Oleh: Giot Simanullang
Kali ini kami melangkah menyusuri Desa Kalitengah, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Wilayah selatan dari kecamatan ini berbatasan langsung dengan kawasan Dataran Tinggi Dieng. Perjalanan dimulai pada Rabu, 22 Agustus 2018, pukul 13.00 WIB kami berangkat menuju Desa Kalitengah. Setelah menempuh 5 jam perjalanan kami disambut dengan udara dingin dan senyuman hangat anak-anak di desa. Beberapa hari kedepan kami akan tinggal di rumah kepala desa dan rumah salah satu warga disana. Malamnya kami melakukan briefing untuk pengamatan esok harinya sesuai dengan KP3 masing-masing. Pukul 07.00 kami pun berangkat ke salah satu curug yang letaknya tidak jauh dari Desa Kalitengah, yaitu Curug Sibiting. Di sana kami melihat 6 ekor lutung dalam satu kelompok serta mendengar suara burung Rangkong (Julang). Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju Dukuh Kaliurang, melewati rumah warga, kebun, sungai, jembatan, hutan tanaman damar dan pinus, tebing, hingga terus ke dalam hutan. Susur sungai pun tak lupa kami lakukan. Pada perjalanan kali ini kami tak menemukan primata, tapi kami bertemu dengan 3 ekor Elang Jawa yang sedang terbang rendah. Kami pun pulang karena rintik hujan sudah datang menghampiri.
Pada malam harinya kami mengadakan evaluasi, menyampaikan apa saja yang didapatkan hari itu, serta briefing untuk keesokan harinya. Pukul 07.30, kami berangkat menuju Curug Lojahan. Kami menyusuri jalan setapak. Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan Rangkong yang terbang di atas kami. Untuk menuju Curug Lojahan, terdapat 3 pos peristirahatan. Di pos pertama kami mendengar suara Owa Jawa dari 3 arah yang berbeda. Kemudian kami menuju suara tersebut sembari melanjutkan perjalanan lagi. Namun suaranya perlahan menghilang.
Sore harinya kami menuju Curug Sigenting yang jaraknya jauh dari Curug Lojahan. Untuk menghemat waktu kami menggunakan sepeda motor kemudian berjalan kaki menyusuri jalan menuju curug. Jalan menuju curug masih jalan berbatu sehingga kami perlu berhati-hati untuk menuju kesana. Sayangnya di curug tersebut kami tidak menemukan primata. Kemudian kami memutuskan untuk kembali ke basecamp. Sama seperti malam sebelumnya, kami menyampaikan hasil yang didapatkan pada pengamatan kami, kemudian dilanjutkan dengan briefing untuk pendidikan lingkungan yang akan dilakukan di dua SD yang ada di Desa Kalitengah, yakni SD Kalitengah dan SD Kembanglangit.
Keesokan harinya kami menuju ke sekolah yang sebelumnya sudah dibagi. Saya berkesempatan untuk mengajar pendidikan lingkungan di SD Kembanglangit. Di sana kami berbagi pengalaman dan mengajarkan adik-adik untuk menjaga lingkungan. Tak lupa lagu “Rimbawan Kecil” dinyanyikan, disusul dengan lomba cerdas cermat serta meminta mereka untuk menggambarkan cita-citanya di atas kertas. Mereka tampak antusias dan bersemangat dengan kedatangan kami. Sore harinya kami melanjutkan kegiatan bersih-bersih di sekitar curug serta mengumpulkan sampah sepanjang jalan menuju curug. Pada malam harinya kami melakukan sarasehan bersama warga sekitar termasuk kepala desa, LMDH, serta pihak Perhutani. Kami memaparkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan. Tak hanya berdiskusi tentang satwa, kami juga berdiskusi megenai potensi wisata, serta potensi-potensi lainnya.
Pagi hari pun tiba, kami berkemas, merapikan rumah kepala desa yang menjadi basecamp, lalu berpamitan kepada bapak kepala desa dan ibu yang telah mengizinkan kami untuk singgah di rumahnya. Tak lupa kami pun berpamitan kepada adik-adik kecil yang menjadikan Desa Kalitengah tetap menjadi tempat terhangat walaupun suhunya dingin. Minggu, 26 Agustus 2018, kami kembali ke Yogyakarta.
Kalitengah punya cerita tersendiri, membuat orang yang mengunjunginya ingin kembali dan bercengkerama di lingkungan hangan berudara dingin ini.
Pelatihan Metode Strip Transect
Yogyakarta—pada 20 April 2018, pelatihan metode strip transect dilakukan oleh KP3 Primata di Arboretum Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini dipandu oleh koor KP3 Primata, Windari Vikka, dan diikuti oleh anggota KP3 Primata. Pelatihan dilakukan dengan membuat transek sepanjang 100 meter dengan lebar 25 meter ke arah kanan dan kiri garis transek. Penggunaan metode strip transect dalam pelatihan ini dilakukan untuk mengamati semua satwa yang ditemui. Data yang diambil berupa koordinat ditemukannya satwa, jarak dari garis transek ke satwa, dan data tambahan seperti habitat satwa. Hasil dari pelatihan ini adalah ditemukannya beberapa satwa seperti burung cangak dan tupai. Setelah pelatihan di lapangan, dilakukan evaluasi mengenai penggunaan metode dan pembahasan lebih lengkap mengenai metode strip transect serta beberapa penggunaan metode lainnya.
Pemraktikkan metode strip transect di Arboretum Fakultas Kehutanan UGM
Pengukuran jarak dari garis transek ke tempat ditemukannya satwa
Evaluasi setelah praktik metode di lapangan
Berkunjung ke Rumah Owa Jawa di Hutan Citalahab
Bogor—pada tanggal 23 Januari 2018, lima anggota KP3 Primata mendapatkan kesempatan berkunjung ke Hutan Citalahab yang berada dalam Kawasan Taman Nasional Halimun Salak untuk melakukan pengamatan Owa Jawa. Kegiatan pengamatan dilakukan di wilayah penelitian Javan Gibbon Research and Conservation Project (JGRCP). JGRCP merupakan suatu proyek yang diprakarasai oleh Ewha Womans University, Korea Selatan untuk mempelajari perilaku dan ekologi dari Owa Jawa. JGRCP mempunyai tiga kelompok Owa Jawa yang rutin diamati perilakunya, yakni kelompok A, B, dan S. Pada kesempatan ini, KP3 Primata diberikan kesempatan untuk mengamati Kelompok A, keluarga Owa Jawa yang terdiri dari Aris (bapak), Ayu (ibu), Amore (anak), dan Awan (anak).
Pengamatan dilakukan dengan didampingi oleh Rahayu Oktaviani (Mbak Ayu), selaku koordinator JGRCP dan tiga asisten peneliti yaitu Kang Isra, Kang Sahri, dan Kang Iyan. Namun, menurut para asisten peneliti menyatakan bahwa sudah dua minggu mereka tidak dapat menemukan keberadaan kelompok A karena cuaca yang tidak mendukung. Selama pengamatan, selain ditemukan Kelompok A, ditemukan juga Surli dan Lutung Jawa
Kelompok KP3 Primata mengamati Owa Jawa dari jarak yang sangat dekat tanpa khawatir mereka lari bersembunyi ketika melihat kelompok pengamat. Owa Jawa yang tergabung dalam Kelompok A ini memang sudah dihabituasi oleh para peneliti JGRCP untuk memudahkan pengamatan. Habituasi ini membuat Owa Jawa menjadi terbiasa dengan keberadaan manusia.
Pengamatan perilaku dilakukan dengan mengikuti pergerakan masing-masing individu. Tingkah laku setiap individu mulai dari foraging hingga interaksi sosial yang mereka lakukan dicatat dalam interval waktu tertentu. Identifikasi pohon juga dilakukan untuk mengetahui jenis pakan yang dimakan oleh Owa Jawa tersebut.
Anggota KP3 Primata yang mengikuti pengamatan
Pengamatan Owa Jawa di Hutan Citalahab
Pelatihan Metode Survei Primata 2017
Pelatihan Metode Survei Primata merupakan acara tahunan yang sudah dilaksanakan lima kali oleh SwaraOwa dan bekerja sama dengan KP3 Primata Forestation UGM yang ditujukan bagi para pegiat konservasi terutama konservasi primata. Pelatihan ini diselenggarakan pada tanggal 13-15 Oktober 2017 di Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring, Petungkriyono, Pekalongan. Peserta yang hadir pada pelatihan ini beragam, antara lain mahasiswa se-DIY dan Jawa Tengah, BKSDA, Perhutani, Komunitas yang bergerak di bidang konservasi, dan LMDH ( Lembaga Masyarakat Desa Hutan).
Materi-materi yang disampaikan oleh pihak SwaraOwa dan tamu undangan ini selanjutnya dipraktikkan di lapangan agar peserta dapat merasakan langsung aplikasinya dan dilanjutkan dengan analisa data yang didapatkan. Pada hari pertama, 13 Oktober 2017 dibahas mengenai metode pengamatan line transect yang diberikan oleh Arif Setiawan atau yang lebih dikenal dengan mas Wawan. Pada hari kedua, 14 Oktober 2017 pukul 07.00 WIB mulai dipraktikan metode line transect yang sudah disampaikan sebelumnya. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok dengan jumlah kurang lebih 10 orang yang sebenarnya tidak sesuai dengan syarat pengamatan dengan metode ini (hanya diperlukan dua orang). Praktik metode line transect ini menghasilkan jumlah individu spesies owa jawa dan lutung jawa. Setelah itu, pelatihan dilanjutkan dengan menganalisis hasil. Analisis hasil ini merupakan akhir dari materi pertama.
Praktik metode pengamatan di lapangan
Masih di hari kedua, sekitar pukul 16.00 WIB dilakukan pematerian kedua dan sharing pengalaman dari beberapa pembicara. Adapun pembicara pertama adalah Mbak Rahayu Oktaviani yang bekerja di Javan Gibbon Research and Conservation Project. Mbak Ayu menjelaskan proyek tersebut berlokasi di Citalahab dan fokus terhadap Owa Jawa dan ekologinya. Kegiatan yang dilakukan berupa monitoring Owa Jawa, mengukur suhu dan presipitasi, phenology, dan edukasi konservasi yang dilaksanakan setiap selasa. Pematerian berlanjut hingga pukul 17.00 WIB dengan sharing tentang konservasi Orangutan yang disampaikan oleh Mbak Nur Aoliya selaku koordinator kebersihan kandang di Yayasan Jejak Pulang. Sharing ini berkaitan dengan rehabilitasi orangutan yang berada di Kalimantan Timur. Yayasan Jejak Pulang adalah salah satu pusat rehabilitasi orangutan yang ada di Kalimantan yang tidak hanya melakukan rehabilitasi secara fisik tetapi juga secara psikologis. Tidak hanya itu, yayasan ini mempunyai motto “Mengorangutankan manusia, bukan memanusiakan orangutan”. Dalam kegiatan sharing ini juga dijelaskan tentang cara dan tahapan dalam rehabilitasi orang utan. Materi ketiga dilaksanakan pada pukul 19.00 WIB yang disampaikan oleh Andie Ang. Andie adalah peneliti primata dari Singapura yang berfokus terhadap Raffles Banded Langur atau sering disebut “surilinya Singapura”. Di dalam pematerian ini dijelaskan tentang Feeding Ecology yang diambil melalui DNA yang dikenal dengan Diet Metabarcoding. Andie menjelaskan bahwa penelitian pakan primata bisa dilakukan melalui analisis feses primata, sehingga di metode ini feses menjadi hal penting dan data utama yang dapat menyajikan DNA dari jenis-jenis pakan primata dan berguna untuk manajemen konservasi primata tersebut. Setelah pematerian dari Andie, dilanjutkan dengan pematerian metode Point Count-Triangulation Vocal Count yang dipandu oleh Mas Wawan. Metode ini biasa dilakukan pada hewan yang mempunyai perilaku yang bersuara yang khas, seperti Owa Jawa. Dalam metode ini merupakan perpaduan antara Vocal Count dengan Triangulasi. Triangulasi adalah sistem spasial yang digunakan untuk memverifikasi lokasi distribusi kelompok. Pematerian mengenai metode ini kemudian dipraktikkan keesokan harinya dan dimulai dari pukul 06.00 WIB.
Pematerian oleh Rahayu Oktaviani
Pematerian oleh Andie Ang
Pada hari ketiga, 15 Oktober 2017, peserta mempraktikkan metode vocal count. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok dan menuju ke lokasi masing-masing pada pukul 6 pagi. Pemilihan waktu ini dilakukan agar peserta sudah tiba di lokasi pengamatan sebelum Owa Jawa melakukan morning call. Syarat pemilihan lokasi untuk mendengarkan suara yaitu jauh dari gangguan suara lain seperti suara sungai dan kendaraan agar suara owa terdengar jelas. Selama perjalanan menuju ke lokasi yang jauh dari gangguan suara, owa jawa sudah mulai bersuara, pagi ini suara owa lebih banyak terdengar dibandingkan hari sebelumnya. Data yang diambil dari pengamatan dengan metode ini antara lain perkiraan arah datangnya suara owa (dalam bentuk sudut dari kompas), jarak owa yang bersuara, jumlah individu yang bersuara, serta berkoordinasi dengan kelompok lain apakah mendengar suara yang sama. Metode ini dipraktikkan sampai pukul 09.00 WIB. Setelah itu, data dianalisis dan dipandu oleh Mas Wawan. Analisis dilakukan dengan menggabungkan semua data arah Owa Jawa bersuara dari tiga lokasi pengamatan berbeda dan dicari titik perpotongannya. Titik perpotongan itu diasumsikan sebagai lokasi Owa Jawa yang bersuara. Analisis data vocal count menjadi acara penutup kegiatan Pelatihan Metode Survei Primata.
Kegiatan pelatihan ini terbilang padat karena mempraktikkan tiga metode pangambilan data primata dalam waktu dua hari. Pihak SwaraOwa mengharapkan dengan adanya kegiatan ini dapat memotivasi generasi muda untuk menjadi peneliti ataupun pegiat konservasi terutama dibidang primata dan juga diharapkan dapat memberikan sosialisasi mengenai primata untuk peserta non-mahasiswa lainnya.
Foto bersama pembicara dan peserta Metode Survei Primata
Pengenalan#1 tentang Primata Secara Umum
Yogyakarta—Pada tanggal 30 Agustus 2017 di Ruang 3 Gedung A Fakultas Kehutanan UGM, diadakan Pengenalan #1 tentang Primata Secara Umum yang berisi tentang karakteristik primata, distribusi primata, jenis-jenis primata di dunia, konservasi primata melalui penelitian dan juga membahas sedikit tentang Ethnoprimatology. Pengenalan ini tidak hanya ditargetkan untuk anggota baru KP3 Primata, tetapi terbuka untuk umum. Acara ini dimulai pukul 15.30 WIB dan yang dihadiri oleh anggota KP3 Primata sebanyak 24 orang, Mbak Ike dari Fakultas Biologi, dan satu orang dari STTL. Pengenalan ini disampaikan oleh Wendy M, Erb yang merupakan peneliti primata yang berasal dari Amerika Serikat. Sekarang ini, Wendy sedang fokus dengan penelitian orangutan di Kalimantan.
Presentasi tentang primata oleh Wendy
Menurut penjelasan Wendy, bahwa karakteristik primata antara lain kaki dan tangan bisa menggenggam, kuku dan cakar kurang tebal, mocong lebih pendek, penciuman berkurang, memiliki kehamilan yang lebih panjang daripada mamalia lain, stereoskopik, dan lain-lain. Dijelaskan pula mengenai ciri-ciri khusus dari masing-masing jenis primata yang ada. Wendy juga berharap bahwa semakin banyak yang peduli terhadap primata dan memulai penelitian tentang primata demi menjaga keberadaan primata.
Pembagian jenis-jenis primata
Setelah dilakukan pematerian selama kurang lebih 2 jam dilakukan sesi tanya-jawab. Dalam sesi ini cukup mengasyikkan karena cukup banyak peserta yang bertanya dan memilki keingintahuan yang tinggi tentang primata.
Foto bersama anggota KP3 Primata dengan Wendy
KP3 Primata Melihat Kukang di Kemuning!
Kemuning—Pada tanggal 9 dan 10 September 2017, KP3 Primata berkesempatan mendatangi Kemuning untuk melihat kukang jawa di lokasi pengambilan data skripsi Koordinator KP3 Primata 2015 (Tungga Dewi). Pengamatan kukang di Kemuning diikuti oleh Sembilan orang dari KP3 Primata dan peneliti primata asal Amerika Serikat yaitu Wendy M. Erb. Menurut penelitian yang pernah dilakukan bahwa terdapat 8 kukang yang hidup di hutan tersebut. Hutan Kemuning ini sebagian besar diisi oleh tanaman kopi yang dirawat dengan baik oleh para masyarakat.
Anggota KP3 Primata bersama denagn Wendy M. Erb
Perjalanan dari Yogyakarta menuju Kemuning memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Setelah sampai di Kemuning, rombongan istirahat sebentar kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai pengambilan data perilaku kukang jawa, lalu cara mengidentifikasi jenis perilaku yang dilakukan dengan mempelajari etogram perilaku yang dibuat oleh Anna Nekaris. Pukul 19.30 WIB dilakukan pengamatan kukang karena nokturnal. Pengamatan tersebut dibagi menjadi tiga kelompok kecil agar tidak berisik dan dapat menjelajahi semua plot yang ada.
Pengamatan kukang
Setelah melakukan pernjalanan kurang lebih setengah jam, ditemukan kukang jawa yang dikenal dengan nama Eni, karena telah menemukan satu jenis kukang maka akan dilakukan pengamatan perilaku hingga pukul 04.00 WIB dimana adalah waktu tidur mereka. Setelah melakukan pengamatan terhadap Eni, ternyata ditemukan kukang lagi yang dikenal dengan Mahfut. Daerah hutan Kemuning ini, kukang jawa telah diberikan nama sesuai dengan lokasi ditemukannya sehingga lebih mudah dalam mengidentifikasi.
Keesokan harinya, pada pukul 08.00 WIB rombongan bergegas kembali ke Yogyakarta. Anggota KP3 Primata sangat bersemangat saat menemukan kukang jawa, Wendy pun tidak kalah semangatnya karena ini pertama kalinya beliau melihat kukang jawa secara langsung di habitatnya. Keberadaan kukang saat ini telah semakin terancam apalagi semakin banyaknya konversi lahan di habitat aslinya, oleh karena itu dengan danya pengamatan ini diharapkan para anggota lebih memahami tentang kukang jawa dan dapat melestarikannya.