Peran Media Sosial dalam Konservasi

     Media sosial sedang berkembang pesat di berbagai kalangan mulai dari muda hingga tua. Perkembangan media sosial ini seperti 2 mata koin yang menguntungkan maupun merugikan. Terlepas dari beberapa konten negatif maupun positif sudah sewajarnya media sosial menjadi salah satu ujung tombak dalam membagikan informasi positif. Menurut Garrison(2000) pesatnya perkembangan platform media sosial telah berhasil menjadi sarana yang baik untuk mendapatkan, berbagi, dan menyebarluaskan informasi termasuk tentang satwa liar. Konten-konten berita yang ada dalam media sosial seringkali efektif untuk menyebarkan tentang konservasi keanekaragaman hayati.
“Namun benarkah media sosial mampu menyebarluaskan informasi tentang konservasi?”.
Dilihat dari beberapa kasus sebenarnya media sosial dapat berlaku positif terhadap kejadian-kejadian yang mengurangi esensi dari konservasi. Media sosial dapat dengan cepat tersebar dan menjadi informasi bagi pencari berita terutama bagi mereka yang peduli dengan konservasi memerlukan informasi-informasi terbaru tentang konservasi. Konservasi dalam media sosial dapat diterjemahkan dalam beberapa konten informasi. Seperti contohnya pada pola perilaku manusia terhadap satwa, seringkali satwa menjadi hal menarik untuk diinformasikan. Baik terkait perdagangan ilegal maupun penyiksaan terhadap satwa informasi seperti ini sering kali menjadi trending topik dalam pembicaraan di media sosial. Selain itu dilihat dari konservasi kawasan, beberapa informasi mengenai rusaknya kawasan dapat begitu mudah diakses dan dibagikan untuk menyatakan kepedulian dan mengecam hal-hal yang merusak keindahan alam. Hal ini dapat menunjukan sikap positif dari media sosial yang mulai objek-objek yang penting untuk dikonservasi sebagai objek pertukaran informasi laris. Kesadaran terhadap sumberdaya alam walaupun belum bisa dijelaskan secara ilmiah mengapa sumberdaya alam perlu dilindungi, setidaknya mulai muncul kepedulian terhadat pentingnya menjaga apapun yang berkaitan dengan objek konservasi sehingga dapat ikut serta dalam upaya mengampanyekan konservasi secara tidak langsung.
Data media sosial juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan penting untuk terlibat dalam strategi implementasi dalam perencanaan konservasi sistematis ( Knight et al., 2006 ). Pada saat yang sama, data media sosial dapat digunakan untuk menyingkap peluang untuk perlindungan di area-area di mana misalnya, pemilik lahan pribadi dan masyarakat mendukung langkah-langkah konservasi atau melawan pembangunan yang tidak berkelanjutan. ( Margules and Pressey, 2000 ; Knight et al., 2006). Adanya kesadaran bersama mengenai pentingnya media sosial sebagai trend untuk menyalurkan informasi penting mengenai penelitian yang dikemas untuk dijadikan bahan informasi bagi masyarakat biasa. Setidaknya dengan kearifan dalam berinformasi platform-platform media sosial dapat mengajak bersama-bersama untuk ikut serta dalam konservasi keanekaragaman hayati.
“Namun, apakah kesadaran menghasilkan tindakan?”. Untuk semua niat baik, berapa banyak dari apa yang kami bagikan digunakan untuk tindakan yang tidak diketahui. Sebagai masyarakat, terlalu bergantung pada orang lain, kita hidup di zaman di mana informasi dalam jumlah tak terbatas ada di ujung jari kita; informasi yang selalu berubah dan berkembang. Sadarilah apa yang Anda posting dan bagaimana orang lain melihat kata-kata atau gambar Anda bagikan(Cheng et. Al, 2013). Sementara pengguna media sosial saat ini tidak secara sengaja terlibat dalam pengumpulan data, lebih banyak kesadaran dapat ditingkatkan dalam platform media sosial (misalnya dengan berkampanye) untuk meningkatkan peran pengawasan mereka ketika mengunjungi kawasan alam. Akibatnya, lebih banyak orang berpotensi terlibat dengan pengumpulan data dan menjadi lebih sadar tentang konservasi keanekaragaman hayati. Disaat yang sama, platform media sosial dapat lebih langsung ditargetkan untuk kampanye masyarakat ilmu terarah. Informasi tentang konservasi seharusnya tidak secara mentah disajikan namun juga diolah menjadi informasi yang dapat menyatukan aksi bersama secara keseluruhan dalam upaya konservasi. Untuk semua tantangan data dalam ilmu konservasi, tetapi, dikombinasikan dengan sumber data lain, dapat memberikan cara inovatif untuk mengatasi kebutuhan informasi tantangan konservasi di masa depan(Minin et.all, 2015).

Sumber :

    Knight, A. T., Cowling, R. M., and Campbell, B. M. (2006). An operational model for implementing conservation action. Conserv. Biol. 20, 408–419. doi: 10.1111/j.1523-1739.2006.00305.x
Di Minin E, Tenkanen H and Toivonen T (2015) Prospects and challenges for social media data in conservation science. Front. Environ. Sci. 3:63. doi: 10.3389/fenvs.2015.00063
Elwood, S., & Leszczynski, A. (2011). Privacy, reconsidered: New representations, data practices, and the geoweb. Geoforum, 42, 6–15.
Cheng, L., Hupfer, S., Ross, S., Patterson, J., Clark, B., de Souza, C.: Jazz: a collaborative application development environment. In: 18th Annual ACM SIGPLAN Conference on Object Oriented Programming Systems Languages and Applications, pp. 102–103. Anaheim (2003)
Garrison, D.R., Anderson, T., Archer, W.: Critical inquiry in a text-based environment: computer conferencing in higher education. Internet Higher Educ 2(2–3), 87–105 (2000)

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.