Apa Kabar Konservasi?

Benarkah PLTA Batang Toru Perampas Habitat Orangutan Tapanuli?

Penulis: Herdwita O.

Pada tahun 2017, seorang peneliti menemukan jenis orangutan baru, yaitu orangutan tapanuli dengan nama ilmiah Pongo tapanuliensisOrangutan tapanuli ini merupakan spesies orangutan ketiga setelah orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan sumatra (Pongo abelii). Orangutan tapanuli memiliki ciri rambut tebal yang berwarna seperti kayu manis, berbeda dengan warna rambut orangutan kalimantan yang coklat gelap dan orangutan sumatra yang berwarna coklat kemerahan. Selain itu, rambutnya merupakan yang paling panjang dan pirang di antara tiga spesies tersebut. Namun, populasinya yang tidak sampai 800 ekor membuat spesies ini termasuk dalam kategori hampir punah.

Sumber: Eric Kilby Aiwok, Tim Laman (Kiri ke kanan: orangutan kalimantan, sumatra, dan tapanuli jantan)

Salah satu faktor yang mendorong kepunahan orangutan tapanuli adalah berkurangnya habitat yang biasa digunakan oleh spesies ini. Hal ini disebabkan oleh pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang ada di Batang Toru. Keberadaan PLTA ini dinilai dapat mengurangi habitat orangutan tapanuli yang tersisa, karena pengembangan yang telah direncanakan di area tersebut mengancam habitat mereka yang sekitar 15%-nya berstatus hutan yang tidak dilindungi. Selain orangutan tapanuli, beberapa spesies lain yang habitatnya juga terancam di Batang Toru yaitu siamang (Symphalangus syndactylus), owa ungko (Hylobates agilis), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), dan burung kuau raja (Argusianus argus).

 

Referensi:

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200123132829-199-467992/ahli-plta-batang-toru-ancam-orangutan-tapanuli-hingga-punah (diakses pada 9 Maret 2020) (diakses pada 9 Maret 2020)

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42140896 (diakses pada 9 Maret 2020)

https://www.mongabay.co.id/2020/03/06/nasib-orangutan-tapanuli-dengan-kehadiran-proyek-plta-batang-toru/ (diakses pada 9 Maret 2020)


Burung Bangau Hampir Punah?

Sumber: mongabay.co.id

Penulis: Arnoviananda

Indonesia merupakan habitat bagi beragam jenis burung, bahkan Indonesia bagian timur dijuluki sebagai surga burung. Berdasarkan data Burung Indonesia tahun 2014, Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung, dengan 426 di antaranya merupakan burung endemik. Namun, kekayaan yang kita miliki berangsur-angsur berkurang karena berdasarkan sebuah studi komprehensif berjudul “Market for Extinction: An Inventory of Jakarta’s Bird Markets”, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang paling banyak memiliki jumlah burung terancam punah di Asia. Hal ini didukung dengan data yang didapat dari Burung Indonesia tahun 2014, yang menunjukkan bahwa sejumlah 136 burung di Indonesia berstatus terancam punah.

Pada awal tahun 2020 ini, kita dikejutkan dengan banyak kabar yang kurang mengenakkan. Kabar tersebut juga datang dari dunia konservasi dimana kelimpahan burung bangau bluwok (Mycteria cineria) cenderung semakin menurun setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan bangau bluwok termasuk ke dalam status Endangered/EN berdasarkan IUCN sejak tahun 2016. Bangau bluwok sendiri adalah jenis burung air dengan bulu putih dengan kulit muka tanpa bulu. Ukuran burung ini berkisar antara 95-110 cm. Habitat utama bangau bluwok adalah lahan basah seperti hutan bakau, rawa, sawah, tambak dan daerah dataran lumpur yang berada di daerah pesisir. Bangau bluwok tersebar di beberapa daerah seperti Vietnam, Kamboja, Malaysia, Sulawesi, Sumatera bagian timur, dan Jawa. Habitat utama bangau bluwok di Jawa berada di Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

Sumber: Greeners.co

Bangau bluwok yang berada di SM Pulau Rambut diperkirakan sebanyak 1.500 individu. Padahal, sebelum tahun 2000-an jumlahnya pernah diperkirakan mencapai 5.000 individu. Penurunan jumlah individu ini disebabkan oleh perburuan dan berkurangnya lahan basah akibat konversi menjadi peruntukan lain. Berkurangnya lahan basah akan menyebabkan penurunan sumber pakan dan hilangnya habitat bersarang bagi burung air, salah satunya adalah bangau bluwok yang sangat bergantung pada lahan basah. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian spesies burung air -tak hanya bangau bluwok-, kita sebagai conservationist perlu ikut serta menjaga lahan basah. Yuk, rawat dan jaga lahan basah kita!

 

Referensi:

https://www.mongabay.co.id/2020/02/02/burung-terancam-punah-penghuni-pulau-rambut/ (Diakses: 5 Februari 2020, pukul 9.37)

https://www.mongabay.co.id/2015/09/28/studi-menunjukkan-perdagangan-burung-endemik-indonesia-terus-terjadi/ (Diakses: 5 Februari 2020, pukul 10.09)

Syamal, F. M., P. Sugeng dan Harianto. 2018. Studi Populasi Burung Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) di Rawa Pacing Desa Kibang Pacing, Kecamatan Menggala Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari 6 (2): 1-6.


Alih Fungsi Hutan Sebabkan Malaria

Penulis: Herdwita O.

Suatu penelitian mengkaji tentang perubahan alih fungsi lahan hutan melalui pembukaan lahan yang terjadi di Mamuju Tengah pada tahun 2014-2015 menyebabkan merebaknya epidemi malaria. Sebelumnya, pada tahun 2012 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Lariang, Mamasa Sulawesi Utara mencatat sekitar 822.951 hektar hutan yang ada di wilayah Mamuju berpotensi kritis. Hal ini disebabkan karena adanya pembukaan lahan yang akan dijadikan pemukiman untuk para transmigran. Sebelum kawasan ini dibuka, kawasan ini merupakan hutan primer yang menjadi habitat salah satu hewan, yaitu nyamuk penyebab malaria.

Virus malaria merupakan virus purba yang dibawa oleh nyamuk jenis Anopheles. Penyakit ini muncul karena udara yang bau dan tak sehat. Namun di Sulawesi Barat ini hanya ditemukan malaria dengan jenis tropikana dan tertiana. Nyamuk ini tak hanya menyerang manusia, namun juga hewan ternak masyarakat yang ada disana.

Pembukaan lahan yang terjadi di kawasan ini menyebabkan perubahan lanskap kawasan hutan primer. Selain itu, pembukaan lahan juga menyebabkan habisnya tutupan lahan hutan yang diganti dengan tanaman monokultur. Salah satu kegiatan sehari-hari masyarakat juga memicu perubahan lanskap kawasan ini berupa penanaman sawit di tengah badan sungai dan juga pembalakan liar yang masih sering terjadi. Terdapat upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak yang disebabkan oleh adanya nyamuk malaria akibat pembukaan lahan hutan, yaitu dengan memperbaiki kondisi lingkungan sekitar agar nyamuk malaria memiliki tempat tinggal yang jauh dari pemukiman. Dengan demikian, nyamuk tidak dapat menyebarkan virus pada masyarakat sekitar.

 

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2019/12/05/kala-alih-fungsi-hutan-naikkan-risiko-malaria/ (diakses pada 9 Desember 2019 pukul 17.00)


Mirisnya Nasib Satwa sebagai Bahan Uji Coba

Penulis: Arnoviananda

Apa kabar sobat Konservasionis? Rasanya sudah lama tidak bertemu sejak BIF satu bulan yang lalu ya, hehe. Jadi di BIF edisi bulan November ini kita akan membahas tentang satwa lagi nih sobat Konservasionis, tapi bukan satwa yang berlokasi di hutan melainkan satwa-satwa yang berada di laboratorium-laboratorium uji coba!

Baru-baru ini beredar video tentang perlakuan semena-mena terhadap monyet-monyet yang dijadikan sebagai objek uji coba oleh seorang pekerja di Laboratory of Pharmacology and Toxicology (LPT), Hamburg, German. Dalam video tersebut nampak bahwa monyet-monyet kecil yang dijadikan sebagai bahan uji coba sedang menangis dan menjerit kesakitan seperti bayi yang baru lahir. Mereka digantung di sabuk logam yang diikatkan di lehernya untuk menjalani uji toksikologi. Tidak hanya monyet, di dalam video tersebut juga terdapat kucing dan anjing yang terlihat berdarah dan sekarat setelah menjalani uji coba. Uji coba yang dilakukan adalah dengan sengaja memasukkan racun ke tubuh satwa untuk mengetahui banyaknya bahan kimia yang tergolong “aman” bagi manusia. Perlakuan tersebut berdampak buruk bagi para satwa objek uji coba. Dampak yang ditimbulkan meliputi muntah, pendarahan internal, gangguan pernapasan, demam, penurunan berat badan, lesu, masalah kulit, kegagalan organ bahkan kematian [1].

sumber foto: mongabay.co.id

Dari kasus tersebut dapat kita ketahui bahwa penggunaan hewan percobaan (hewan coba) pada penelitian kesehatan sudah banyak dilakukan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menguji kelayakan atau keamanan suatu bahan obat dan juga untuk melakukan penelitian terkait suatu penyakit [2]. Lalu mengapa masih banyak oknum tidak bertanggungjawab? Adakah hukuman untuk mereka? Sebenarnya aturan tentang hak dan keselamatan hewan coba sudah jelas tertulis. R. Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal menjelaskan hal-hal yang termasuk tindakan penganiayaan pada hewan, hal tersebut meliputi: tindakan sengaja menyakti, melukai atau merusak kesehatan hewan, tidak memberi makan dan minum dan tindakan di luar batas kelaziman. Tindakan penganiayaan atau kekerasan ada beberapa macam, salah satunya adalah menggunakan hewan sebagai uji coba kedokteran di luar batas kelaziman. Dan konsekuensi atas segala bentuk kekerasan terhadap hewan (melukai, merugikan kesehatan, hingga tidak memberi makan) akan diancam pidana paling lama tiga bulan dan denda Rp 4.500.000,00 (sesuai Pasal 302 KUHP) [3].

Untuk itu mari kita jaga dan sayangi hewan-hewan di luar sana, perlakukan mereka sebaik mungkin karena tidak hanya manusia yang bisa sakit, tetapi hewan juga!

 

Referensi:

[1] Tolistiawaty, I et al. 2014. Gambaran Kesehatan pada Mencit (Mus musculus) di Instalasi Hewan Coba. Jurnal Vektor Penyakit 8 (1):27-32.

[2] https://kumparan.com/kumparannews/sejauh-mana-hukum-melindungi-kesejahteraan-hewan-di-indonesia (Diakses pada 11 November 2019)

[3] https://kumparan.com/kumparannews/sejauh-mana-hukum-melindungi-kesejahteraan-hewan-di-indonesia (Diakses pada 11 November 2019)


Kebakaran Hutan Kembali Terjadi, dari Bagian Timur Negeri Ini

Penulis: Arnoviananda

Kebakaran hutan Amazon baru saja menjadi berita yang menggemparkan seluruh dunia karena dengan terbakarnya hutan Amazon, separuh sumber penyumbang oksigen menghilang. Masih belum reda asap di hutan Amazon, kebakaran hutan kembali terjadi di Provinsi Riau dan Jambi hingga asapnya menyebar dan mengancam kesehatan masyarakat Riau dan sekitarnya pada bulan September lalu. Memasuki akhir bulan September, berita kebakaran hutan masih menjadi masalah utama dari sektor kehutanan. Kali ini kebakaran hutan terjadi di Hutan Lindung Egon-Ilimedo yang terletak di Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung seluas 19.456,8 ha melalui register 107 pada 1932, pengukuhan tapal batasnya diresmikan pada 12 Desember 1984, dan disahkan lewat SK Menhut No. 423/KPTS-II/1999 [1].

Kebakaran Hutan Lindung Egon-Ilimede pada Senin (30/9) lalu bukan merupakan konflik pertama yang terjadi di kawasan ini. Menurut sejarah selama 4 tahun terakhir, konflik memang selalu rutin terjadi baik kebakaran hutan ataupun konflik lainnya. Pada tahun 2016 konflik yang terjadi adalah adanya pembukaan lahan yang difungsikan sebagai jalan. Proyek jalan tersebut direncanakan sepanjang 4 kilometer dengan lebar 3-4 meter [2]. Kemudian pada bulan April 2017 terjadi penebangan pohon ilegal yang dilakukan oleh masyarakat desa. Hal ini memicu terjadinya bencana salah satunya kebakaran hutan [3]. Lalu masih pada tahun yang sama, kebakaran hutan terjadi bulan Juli dengan alasan masih kurangnya pengawasan terhadap sebaran titik api dan kurangnya kepedulian warga sekitar [4].

Tahun ini pada penghujung bulan September, kebakaran hutan lindung ini terjadi di areal khususnya kecamatan Waigete. Upaya pemadaman kebakaran pada kawasan ini berlangsung lama karena tidak adanya mobil tanki air dan sarana pra sarana pendukung di kantor Unit Pelayanan Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Sikka. Kebakaran yang terjadi di kawasan ini diduga terjadi akibat adanya pembakaran lahan kebun di areal timur hutan lindung berbatasan dengan kebun warga. Dugaan lain menyatakan bahwa kebakaran terjadi akibat adanya puntung rokok yang sembarangan dibuang oleh pengendara yang melintasi jalan Negara Trans Flores Maumere-Larantuka. Didukung dengan musim kemarau, sebaran titik api menjalar dengan cepat karena adanya daun dan ranting-ranting kering. Kebakaran hutan lindung ini menyebabkan puluhan pohon Ampupu yang berusia puluhan hingga ratusan tahun ikut terbakar. Tidak hanya itu, ratusan pohon mahoni yang baru ditanam pada tahun 2018 pun lenyap. Secara keseluruhan estimasi luas lahan yang terbakar sebesar 20 ha.

sumber foto: mongabay.co.id

Menurut Perpres Republik Indonesia No. 28 tahun 2011 menyatakan bahwa pemanfaatan hutan lindung diperbolehkan asal tidak mengganggu fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah [5]. Dengan kejadian kebakaran Hutan Lindung Egon-Ilimede, siapa yang patut dipersalahkan?

 

Referensi:

[1] https://www.mongabay.co.id/2019/10/08/hutan-lindung-egon-ilimedo-kembali-terbakar-kenapa-kebakaran-rutin-terjadi/ (Diakses pada 10 Oktober 2019, pukul 20.37)

[2] https://www.mongabay.co.id/2016/01/11/jurus-saling-tuding-di-balik-pembukaan-jalan-di-kawasan-hutan-lindung-egon-ilimedo/ (Diakses pada 11 Oktober 2019, pukul 05.03)

[3] https://wanadri.or.id/home/upaya-selamatkan-kawasan-hutan-lindung-egon-ilimedo-lewat-perdes/ (Diakses pada 11 Oktober 2019, pukul 05.05)

[4] http://www.indonesiakoran.com/news/nusantara/read/73800/pengawasan.lemah..kebakaran.hutan.egon.ilimedo.meluas (Diakses pada 11 Oktober 2019, pukul 05.08)

[5] http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2011/ps28-2011.pdf (Diakses pada 11 Oktober 2019, pukul 07.30)

 


Potensi “Blue Carbon Ecosystem” dalam Upaya Penurunan Gas Rumah Kaca

Penulis : Arnoviananda

sumber: researchgate.net

Apa kabar konservasionis? Kembali lagi nih, di Bank Info Forestation yang masih berhubungan dengan artikel sebelumnya tentang perubahan iklim. Pada artikel kali ini kita akan bahas hubungan antara iklim dan ekosistem karbon biru (blue carbon ecosystem). Belakangan ini emisi karbon di dunia semakin meningkat, dalam lingkup global emisi karbon meningkat karena terbakarnya hutan Amazon yang berperan penting sebagai paru-paru dunia. Sedangkan dalam lingkup nasional peningkatan emisi karbon mendapat sumbangan paling banyak dari bidang transportasi, apalagi yang terjadi di kota metropolitan terhitung 182,5 ton emisi CO2 per tahun 2017.  Hal ini tentu saja akan memperparah tingkat emisi rumah kaca. Padahal Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk penurunan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 dari target dunia sebesar 80%.

Komitmen tersebut sebenarnya dapat diupayakan melihat Indonesia memiliki biodiversitas yang melimpah. Salah satunya dari ekosistem perairan yang juga sering disebut sebagai ekosistem karbon biru. Ekosistem karbon biru (rawa-rawa, mangrove dan padang lamun) dapat menyerap karbon sebesar 3x lipat lebih banyak dari ekosistem daratan. Di Indonesia khususnya terdapat ekosistem mangrove seluas 3,1 juta hektare dan padang lamun seluas 30 juta hektare. Dapat dibayangkan betapa besarnya peluang Indonesia untuk berkontribusi dalam penurunan GRK?

Lalu mengapa ekosistem karbon biru dapat menjadi sebuah carbon sink yang efisien? Peran ekosistem tersebut dalam penyerapan karbon dikontrol oleh dua proses, yaitu pompa solubilitas dan pompa biologi. Ekosistem mangrove setiap hektarenya dapat menyerap 110 kilogram karbon dan sepertiganya dilepaskan berupa endapan organik di lumpur.

sumber: theroyalsocietypublishing.org

Sedangkan ekosistem lamun adalah ekosistem yang berkontribusi melalui proses fotosintesis yang selanjutnya disimpan dalam bentuk biomassa pada daun dan akar. Karbon yang diserap melalui proses fotosisntesis berasal dari atmosfer yang terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC (Dissolved Inorganic Carbon). Padang lamun dapat menyimpan 83.000 metrik ton karbon per kilometer persegi dan mengendapkannya sebagai sedimen dalam waktu yang cukup lama.

Maka dari itu, mari kita jaga daerah pesisir dan laut kita agar terhindar dari eksploitasi berlebih!

 

Referesi:

Taillardat, Pierre., Friess, D. A., & Lupascu, M. 2018. Mangrove Blue Carbon Strategies for Climate Change Mitigation are Most Effective at the National Scale. Biol. Lett.

https://www.mongabay.co.id/2014/05/18/potensi-peluang-blue-carbon-dari-ekosistem-pesisir-dan-laut/ (Diakses: 4 September 2019, pukul 17.05 WIB)

https://www.gatra.com/detail/news/437837/technology/pelestarian-terumbu-karang-mampu-kurangi-emisi-karbon (Diakses: 4 September 2019, pukul 17.08 WIB)

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Draft Perpres 2010)

Ganefiani, Ajeng., Suryanti & Latifah, N. 2019. Potensi Padang Lamun sebagai Penyerap Karbon di Perairan Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa. Saintek Perikanan 14 (2): 115-122.


Bagaimana Dampak Perubahan Iklim terhadap Satwa di Sekitar Kita?

Penulis: Arnoviananda

Masalah Climate Change atau Perubahan Iklim dalam 30 tahun terakhir ini sedang gencar dibicarakan di seluruh Negara. Banyak organisasi peduli lingkungan yang mulai rutin mengampanyekan tentang dampak dan cara penanganan dari adanya perubahan iklim. Suhu panas yang meningkat secara global dapat memengaruhi kesehatan bahkan sosial dan ekonomi masyarakat. Tapi taukah sobat Konservasionis, jika perubahan iklim juga berpengaruh besar bagi satwa liar?

sumber foto: National Geographic

Pada daerah tropis sendiri para ilmuwan, ahli biologi dan para pelestari alam telah mengkaji tentang dampak perubahan iklim saat ini dan memprediksi perkembangannya di masa depan terhadap kehidupan satwa liar dan ekosistem. Saat ini suhu rata-rata global sekitar 14,3°C sedangkan satu abad yang lalu suhu bumi sekitar 13,7°C. Suhu yang tinggi pada daerah tropis menyebabkan adanya pola penggunaan dan sirkulasi air yang sangat dinamis. Di beberapa hutan hujan tropis, air akan cepat menguap bahkan sebelum mencapai permukaan tanah. Namun di suatu waktu bumi juga mengalami penurunan suhu secara drastis. Hal ini akan memengaruhi kelembapan yang berpengaruh secara signifikan bagi ekosistem alam.

sumber foto: Arctic WWF

Akibat dari keadaan alam yang tak menentu, satwa-satwa yang ada di bumi juga harus melakukan adaptasi. Poin yang menjadi permasalahan adalah bahwa saat ini perubahan yang terjadi terhadap bumi kita berlangsung sangat cepat, sehingga satwa-satwa di sekitar kita harus melakukan adaptasi yang cepat pula. Bagi satwa sendiri, dalam beradaptasi dapat dengan berganti habitat, atau bergantung dengan perubahan genetika. Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Dr. Viktoriia Radchuk, dari Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research bahwa selama beberapa dekade terakhir satwa-satwa yang ada di bumi ini tidak cukup cepat untuk mengimbangi perubahan iklim, para satwa mengalami perubahan kondisi tubuh dan perilaku. Sehingga waktu reproduksi dan migrasi satwapun ikut berubah. Satwa yang biasanya berkembang biak lebih awal saat iklim menghangat, belakangan ini karena pergantian musim terjadi lebih cepat membuat satwa kesulitan beradaptasi. Hal ini jika dibiarkan terus-menurus akan berdampak pada menurunnya jumlah spesies hingga kepunahan suatu spesies.

Referensi:

https://nationalgeographic.grid.id/read/131796972/ilmuwan-hewan-di-bumi-sulit-beradaptasi-dengan-perubahan-iklim (Diakses: 6 Agustus 2019, pukul 8.33 WIB)

https://www.worldwildlife.org/magazine/issues/fall-2015/articles/animals-affected-by-climate-change (Diakses: 6 Agustus 2019, pukul 8.43 WIB)

http://www.archive.org/details/impactsofclimate01gree (Diakses: 7 Agustus 2019, pukul 6.46 WIB)


Perkembangan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi

Penulis : Arnoviananda

Hai, sobat konservasionis! Taukah kalian bahwa Papua adalah pulau terbesar yang ada di Indonesia dan merupakan pulau terbesar kedua yang ada di dunia? Secara administratif Papua terbagi menjadi dua pemerintahan yaitu Provinsi Papua seluas 319.036 km2 dan Provinsi Papua Barat seluas 140.376 km2. Papua adalah tanah yang kaya akan keanekaragaman hayati, sumber daya alam berupa bahan tambang, gas, mineral dan adat istiadat. Namun karena melimpahnya kekayaan tersebut, upaya pengelolaan dan pertahanan kelestarian keanekaragaman di Papua memerlukan partisipasi banyak pihak. Karena hal itu, pada 19 Oktober 2015 bertepatan dengan perayaan ulang tahun yang ke-16 Provinsi Papua Barat mendeklarasikan dirinya sebagai Provinsi Konservasi atas inisiatif Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi.

Semenjak pertama kali saat pendeklarasiannya, telah empat tahun Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi Konservasi, lalu bagaimana perkembangannya?

Pada pembukaan International Conference of Biodiversity (ICBE) 2018 di Manokwari, Papua Barat tanggal 7-10 Oktober 2018, DPRD Papua Barat mengesahkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Pembangunan Berkelanjutan sebagai implementasi dari hasil kerja Pokja Provinsi Konservasi dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah Khusus guna memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan di Papua Barat telah sesuai dengan aturan lingkungan, serta memastikan kesejahteraan untuk masyarakat. Disahkannya Perdasus menjadikannya landasan bagi pembuatan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

Kemudian pada tahun 2018-2019 merupakan waktu bagi Provinsi Papua Barat untuk mengkampanyekan dan memberi sosialisasi pada masyarakat tentang Provinsi Konservasi, salah satu caranya adalah dengan pemutaran Film Provinsi Konservasi yang merupakan gagasan dari Conservation International Indonesian bekerja sama dengan Provinsi Papua Barat. Isi dari film tersebut lebih didominasi dengan keberhasilan pariwisata perairan Raja Ampat dalam membangun kawasan konservasi perairannya.

sumber foto: Conservation International
sumber foto: RM

Akhir-akhir ini tepatnya pada Sabtu, 8 Juni 2019 Provinsi Papua Barat mendapat penghargaan Global Conservation Hero dari Conservation International (CI) dalam annual gala di Milk Studios, Los Angeles, California. Penghargaan ini merupakan pengakuan Internasional bagi provinsi tersebut atas upaya dalam melindungi hutan dan laut, dan memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua Barat dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.

“Pembangunan memang diperlukan untuk memajukan ekonomi, tapi jangan sampai merusak hutan” – Dominggus Mandacan

Referensi :

Rancangan peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Tahun 2016 tentang Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi

https://www.mongabay.co.id/2018/10/09/icbe-2018-semangat-papua-barat-sebagai-provinsi-konservasi/amp (Diakses: 6 Juli 2019, pukul 11.03 WIB)

https://www.google.com/amp/amp.kontan.co.id/news/mimpi-papua-barat-menjadi-provinsi-konservasi (Diakses: 6 Juli 2019, pukul 11.05 WIB)

https://en.antaranews.com/news/126893/west-papua-receives/award/from/conservation/international (Diakses: 5 Julis 2019, pukul 08.15 WIB)


Upaya Konservasi Dugong di Indonesia

Dugong merupakan mamalia laut anggota ordo Sirenia. Kata ”Dugong” berasal dari bahasa tagalog yang berarti nona laut atau lady of the sea. Dugong dapat ditemukan di perairan dangkal Samudera Hindia dan Pasifik. Di Indonesia dugong dapat ditemukan di perairan Pulau Bintan, Bali, Kalimatan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, Sualwesi Utara, Maluku, dan Teluk Cendrawasih di Papua. Dungong mudah ditemukan pada padang lamun yang menjadi habitat pakannya. Mamalia laut ini meruapakan satwa yang dilindungi. Menurut IUCN Dogong memiliki status rentan punah (vulnerable), dan dalam CITES dugong termasuk dalam golongan Appendix I. Selain itu, dugong secara tegas dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Satwa dan Tumbuhan.

Populasi dugong kini semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keterbatasan bahan informasi mengenai populasi dugong, perburuan dan pemanfaatan ilegal, terjaring secara tidak sengaja (bycacth), dan tertabrak kapal wisata atau nelayan. Selain itu terdapat penyebab lainnya, yaitu penurunan luas area padang lamun karena alih fungsi lahan yang tidak tepat, penurunan kualitas air laut, dan praktik penangkapan ikan yang merusak. Dugong yang menyandang status rawan punah dan dengan populasinya yang terus menurun, maka diperlukan upaya untuk mengkonservasi hewan ini.

Salah satu upaya konservasi dugong di Indonesia yaitu dengan diadakannya program Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) yang dimulai tahun 2016. DSCP merupakan program regional yang dilaksanakan di tujuh negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Mosambik, Madagaskar, Timor Leste, dan Vanuatu. Program ini merupakan kerjasama antara United Nation Environment Programme-Conservation Migratory Species (UNEP-CMS), Mohamed bin Zayed Species Conservation Fund (MbZ) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, WWF Indonesia, dan IPB. DSCP Indonesia merupakan program berbasis masyarakat lokal dengan jangkauan global untuk meningkatkan efektivitas konservasi dugong dan ekosistem lamun. Terdapat tiga program kegiatan DSCP Indonesia, yaitu program ID1, program ID2, dan program ID3. Program ID1 adalah  rencana aksi konservasi nasional dugong dan habitatnya, yaitu padang lamun. Program ID2 adalah meningkatkan kesadartahuan dan penelitian di tingkat nasional tentang dugong dan lamun. Program ID3 adalah pengelolaan dan konservasi dugong dan lamun berbasis masyarakat di Bintan, Kotawaringin Barat, Tolitoli, dan Alor.

Referensi :

https://www.wwf.or.id/?61102/Diskusi-Konservasi-Ada-Apa-dengan-Dugong.(Diakses tanggal 3 Juni 2016 pukul 12.24 WIB)

http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/en/beritabaru/256-dugong-dan-habitatnya-butuh-perhatian-mendesak. (Diakses tanggal 3 Juni 2016 pukul 12.25 WIB)

http://www.dugongconservation.org/media/2018/10/Presentation-template DSCP-Indonesia-Profile IND.pdf. (Diakses tanggal 3 Juni 2016 pukul 12.27 WIB)


PERILAKU SIMPANSE SAMA DENGAN MANUSIA KETIKA BERMAIN

Perilaku bermain tersebar luas pada mamalia, dan memiliki konsekuensi bagi perkembangan yang penting. Sebuah studi baru pada simpanse muda menunjukkan bahwa hewan ini bermain dan mengembangkan banyak cara yang sama seperti anak-anak manusia. Dalam membandingkan perilaku-perilaku ini dengan studi sebelumnya yang dilakukan pada manusia, mereka menemukan bahwa kedua spesies ini menunjukkan perkembangan kuantitatif dan kualitatif yang signifikan dalam perilaku bermain dari bayi sampai usia muda.

Studi ini, yang dipublikasikan dalam edisi 16 November jurnal PLoS ONE, dengan demikian dapat pula menjelaskan tentang peran perilaku bermain pada manusia. Para penulis studi ini, Elisabetta Palagi dan Giada Cordoni, dari Universitas Pisa di Italia, menemukan bahwa simpanse bermain soliter yang puncaknya pada masa bayi, sedangkan waktu yang dihabiskan dalam bermain sosial relatif konstan antara masa bayi dan remaja. Namun jenis permainan sosial sedikit berubah seiring pertumbuhannya, dalam hal langkah-langkah seperti pilihan kompleksitas dan teman bermainnya.

Selain itu, baik simpanse dan manusia secara konsisten menggunakan ekspresi wajah yang menyenangkan untuk berkomunikasi dan membangun jaringan sosial. Mereka juga menganalisis pilihan teman bermain dan menemukan bahwa baik manusia maupun simpanse lebih memilih rekan-rekan untuk mitra bermain. Dr. Palagi menjelaskan bahwa ini adalah penelitian pertama yang membandingkan ontogeni perilaku bermain pada simpanse dengan manusia, dalam cara yang standar. Hal ini penting, karena jenis ini pada data manusia seringkali berasal dari penelitian psikologis, bukan dari penelitian etologis.

Sumber: https://sains.kompas.com


2019: El Nino dan Dampaknya di Indonesia

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi El-Nino akan terjadi tahun ini dalam tingkatan rendah hingga moderat. Prediksi ini diperkuat dari berbagai lembaga internasional seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI)), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat dan Bureau of Meteorology (BON) Australia. El Nino merupakan peristiwa menghangatnya lautan lebih dari 0,5 derajat celcius di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang diikuti oleh perubahan sirkulasi atmosfer di atasnya berbeda dari kondisi normal. Menurut update terakhir beberapa lembaga internasional pada akhir Desember  tahun 2018, El-Nino terjadi di sepanjang Pasifik Ekuator akan berlangsung hingga Maret, April dan Mei.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan BMKG, terjadi perubahan anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik berkisar di bawah 1 dan di atas 0,5 atau dalam kategori lemah. Menurut BMKG, setelah Bulan Mei, Samudera Pasifik bagian tengah dan timur akan kembali ke status normal, sehingga El-Nino pada tahun 2019 tidak akan separah tahun 2015 silam. Perbedaan El-Nino pada tahun 2019 dengan yang tejadi pada tahun 2015 yaitu kondisi atmosfir tahun ini masih relatif normal, tidak ada atmosfir yang mendukung peningkatan El-Nino yang akan berdampak ke banyak wilayah.

Sejak tahun 1960 hingga sekarang, terjadi delapan kali El-Nino dengan tingkat rendah hingga moderat. El-Nino menyebabkan penurunan curah hujan di hampir sebagian besar Jawa, Sumatera bagian ekuator dan bagian selatan, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian barat, dan Papua bagian barat. Ketika El-Nino berlangsung, akumulasi curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Dengan kondisi ini, curah hujan pada bulan-bulan berikutnya sedikit berkurang. El-Nino terjadi pada tingkat rendah hingga moderat karena adanya penguatan monsoon Asia di wilayah Indonesia. Monsoon Asia ini berasosiasi dengan musim hujan di sebagian besar Indonesia. Meskipun kekuatannya rendah, namun diperkirakan akan berdampak pada musim kemarau di Indonesia.

Dampak El-Nino antara lain adalah potensi kekeringan pada kemarau panjang dan dapat mengganggu produksi sektor pertanian dan kebakaran hutan. Berbeda dengan tahun 2015, El Nino terjadi saat kemarau hingga tinggi dan menyebabkan kekeringan di berbagai wilayah. Hanya ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki iklim bertipe ekuatorial atau semi monsunal. Daerah-daerah ini mengalami dua kali puncak musim hujan dan dua kali puncak kemarau. Seperti yang terjadi di di Riau, Sumatera bagian utara dan barat, sebagian Jambi, sebagian Sumatera bagian barat, juga Kalimantan bagian barat. Kekhawatiran akan El-Nino yaitu akan berdampak pada daerah-daerah bertipe ekuatorial yang bersamaan dengan penurunan musim hujan.

Sumber:

www.bmkg.go.id


Wacana Penutupan Taman Nasional Komodo

Taman Nasional Komodo berada di wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang didirikan pada tahun 1980 dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs Warisan Alam Dunia pada tahun 1991 (Komodo National Park, 2016). Taman Nasional Komodo terdiri dari daerah darat dan laut, dan diberi mandat untuk melindungi komodo serta keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya. Adanya berbagai suguhan potensi dan keunikan di Taman Nasional Komodo menimbulkan dampak pada aspek pariwisata. Tercatat jumlah pengunjung pada tahun 2017 mencapai 122.000 dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 hingga mencapai 126.000 pengunjung antara bulan Januari-Agustus.

Akhir-akhir ini santer terdengar wacana penutupan Taman Nasional Komodo untuk sementara waktu. Penutupan tersebut tak hanya bertujuan untuk meningkatkan populasi komodo namun juga untuk melakukan pembenahan fasilitas pariwisata. Hal tersebut diperkuat dengan adanya pernyataan Gubernur Viktor Laiskodat yang akan mengambil alih pengelolaan di Taman Nasional Komodo dengan menggelontorkan Rp100 miliar untuk pembangunan ulang taman nasional tersebut. Menurutnya, habitat komodo selama ini terbengkalai karena dikelola KLHK.

Wacana penutupan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang pro tentunya memiliki alasan agar populasi komodo meningkat, perbaikan habitat komodo, dan lain sebagainya, sedangkan untuk pihak yang kontra memikirkan masalah dampak ekonomi yang akan timbul selama penutupan berlangsung. Terbaginya dua kubu tersebut bukan tanpa alasan, pihak pro menilai penting dilakukan penutupan sementara Taman Nasional Komodo untuk peningkatan populasi komodo. Menurut National Geographic penurunan terjadi karena kelangkaan betina yang bertelur, bencana alam, perburuan, dan perambahan manusia. Namun berdasarkan data resmi KLHK, populasi komodo relatif stabil, meski sempat turun. Tahun 2017 jumlah binatang purba itu 2.762 ekor, sementara pada 2016 berjumlah 3.012 ekor. Pihak kontra menilai penutupan Taman Nasional Komodo akan berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar yang mayoritas menggantungkan hidupnya di sektor wisata sebagai penjual souvenir, pemahat patung, tour guide atau pemandu wisata dan penyewaan kapal. Menurut salah satu masyarakat sekitar, hanya 10 % dari masyarakat sekitar yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan hasil tangkapan yang bergantung pada musim, sehingga jika taman nasional ditutup masyarakat akan kehilangan pundi-pundi rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tindak lanjut dari wacana penutupan Taman Nasional Komodo dilakukan rapat yang diadakan pada Rabu 6 Februari 2019 yang bertempat di lantai 8 ruang rapat Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK. Rapat tersebut dihadiri oleh Dirjen KSDAE KLHK Wiratno, beserta Asisten Didang Ekonomi dan Pembangunan NTT Alexander Sena, serta sejumlah stakeholder. Hasil dari rapat tersebut meliputi perubahan penutupan Taman Nasional Komodo yang mana penutupan tersebut hanya dilakukan di Pulau Komodo serta terbentuknya tim terpadu bersama stakeholder yang akan menghimpun data sebagi rujukan kepastian penutupan.

Sumber :

Farhan, Afif. 2019. Masyarakat Desa Komodo Tolak Penutupan Taman Nasional Komodo. https://m.detik.com/travel/travel-news/d-4429545/masyarakat-desa-komodo-tolak-penutupan-taman-nasional-komodo Diakses pada 21 Februari 2019.

Prakoso, Johanes Rendy.2019. Penutupan Komodo Tahun 2020, KLHK & Pemprov NTT Akan Sosialisasi. https://travel.detik.com/travel-news/d-4417016/penutupan-komodo-tahun-2020-klhk–pemprov-ntt-akan-sosialisasi?_ga=2.217346390.1956369659.1550758954-1748578048.1550758954 Diakses pada 21 Februari 2019.

Utama, Abraham. 2019. Penutupan Taman Nasional Komodo, sekedar wacana atau berbasis riset?. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46944412 Diakses pada 21 Februari 2019.

Wardhana, Irwanda. 2019. Menimbang Penutupan Komodo. https://news.detik.com/kolom/d-4400350/menimbang-penutupan-pulau-komodo Diakses pada 21 Februari 2019.

 


Duka Harimau, Duka Kita Semua

Sumber Gambar : https://static.viva.co.id/thumbs3/2018/09/27/5bac32cebbf84-harimau-sumatra-mati-terjerat-perangkap-babi_665_374.jpg

Kabar duka kembali terdengar dari dunia satwa. Seekor harimau betina ditemukan tak bernyawa di perbatasan Muara Lembu dan Pangkalan Indarung dengan keadaan terlilit jerat babi di perutnya. Naasnya lagi hewan liar tersebut mati dalam keadaan bunting. Dari pemantauan di lokasi, badan bagian belakang si harimau masih terikat jeratan kawat. Kondisi jeratan inilah penyebab harimau itu mati. Sungguh sangat disayangkan kematian satwa khas Pulau Sumatera ini, mengingat jumlah populasi di alam liar semakin kritis akibat dari berbagai ancaman baik yang berasal dari tindakan manusia maupun dari faktor alamiah. Harimau Sumatera termasuk hewan yang terancam punah menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Tak lebih dari 400 Harimau Sumatera yang masih hidup di alam liar. Harimau yang masih tersisa pun harus berjuang untuk hidup di hutan yang terdegradasi, mangsa yang berkurang dan pergesekan dengan manusia.

Dikutip dari WWF.id, lokasi penemuan satwa harimau yang mati ini berada di luar Suaka Margasatwa Bukti Rimbang Bukit Baling namun masih termasuk ke dalam lanskap Suaka Margasatwa. Seharusnya, di kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, harimau dapat hidup tanpa adanya gangguan apalagi dari aktivitas perburuan. Oleh karena kejadian tersebut BKSDA Riau melakukan operasi pembersihan jerat “Kami akan segera menurunkan tim untuk operasi pembersihan jerat liar yang ada di Riau. Karena sudah banyak satwa yang dilindungi terkena jerat liar. Pada Agustus kemarin ada gajah terjerat Siak. Ini harus segera kita tindak tegas,” tutur Suharyono. Dikutip dari tribunjateng.com.

Sampai kapankah kejadian menyedihkan ini akan berhenti ? sampai kita benar-benar peduli dengan keberadaan dan kelestarian satwa liar. Salam konservasi !

Sumber :

Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Petugas Tangkap Pemasang Jerat yang Mengakibatkan Harimau Sumatera Mati, http://jateng.tribunnews.com/2018/09/27/petugas-tangkap-pemasang-jerat-yang-mengakibatkan-harimau-sumatera-mati

Editor: suharno


Peran Media Sosial dalam Konservasi

     Media sosial sedang berkembang pesat di berbagai kalangan mulai dari muda hingga tua. Perkembangan media sosial ini seperti 2 mata koin yang menguntungkan maupun merugikan. Terlepas dari beberapa konten negatif maupun positif sudah sewajarnya media sosial menjadi salah satu ujung tombak dalam membagikan informasi positif. Menurut Garrison(2000) pesatnya perkembangan platform media sosial telah berhasil menjadi sarana yang baik untuk mendapatkan, berbagi, dan menyebarluaskan informasi termasuk tentang satwa liar. Konten-konten berita yang ada dalam media sosial seringkali efektif untuk menyebarkan tentang konservasi keanekaragaman hayati.
“Namun benarkah media sosial mampu menyebarluaskan informasi tentang konservasi?”.
Dilihat dari beberapa kasus sebenarnya media sosial dapat berlaku positif terhadap kejadian-kejadian yang mengurangi esensi dari konservasi. Media sosial dapat dengan cepat tersebar dan menjadi informasi bagi pencari berita terutama bagi mereka yang peduli dengan konservasi memerlukan informasi-informasi terbaru tentang konservasi. Konservasi dalam media sosial dapat diterjemahkan dalam beberapa konten informasi. Seperti contohnya pada pola perilaku manusia terhadap satwa, seringkali satwa menjadi hal menarik untuk diinformasikan. Baik terkait perdagangan ilegal maupun penyiksaan terhadap satwa informasi seperti ini sering kali menjadi trending topik dalam pembicaraan di media sosial. Selain itu dilihat dari konservasi kawasan, beberapa informasi mengenai rusaknya kawasan dapat begitu mudah diakses dan dibagikan untuk menyatakan kepedulian dan mengecam hal-hal yang merusak keindahan alam. Hal ini dapat menunjukan sikap positif dari media sosial yang mulai objek-objek yang penting untuk dikonservasi sebagai objek pertukaran informasi laris. Kesadaran terhadap sumberdaya alam walaupun belum bisa dijelaskan secara ilmiah mengapa sumberdaya alam perlu dilindungi, setidaknya mulai muncul kepedulian terhadat pentingnya menjaga apapun yang berkaitan dengan objek konservasi sehingga dapat ikut serta dalam upaya mengampanyekan konservasi secara tidak langsung.
Data media sosial juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan penting untuk terlibat dalam strategi implementasi dalam perencanaan konservasi sistematis ( Knight et al., 2006 ). Pada saat yang sama, data media sosial dapat digunakan untuk menyingkap peluang untuk perlindungan di area-area di mana misalnya, pemilik lahan pribadi dan masyarakat mendukung langkah-langkah konservasi atau melawan pembangunan yang tidak berkelanjutan. ( Margules and Pressey, 2000 ; Knight et al., 2006). Adanya kesadaran bersama mengenai pentingnya media sosial sebagai trend untuk menyalurkan informasi penting mengenai penelitian yang dikemas untuk dijadikan bahan informasi bagi masyarakat biasa. Setidaknya dengan kearifan dalam berinformasi platform-platform media sosial dapat mengajak bersama-bersama untuk ikut serta dalam konservasi keanekaragaman hayati.
“Namun, apakah kesadaran menghasilkan tindakan?”. Untuk semua niat baik, berapa banyak dari apa yang kami bagikan digunakan untuk tindakan yang tidak diketahui. Sebagai masyarakat, terlalu bergantung pada orang lain, kita hidup di zaman di mana informasi dalam jumlah tak terbatas ada di ujung jari kita; informasi yang selalu berubah dan berkembang. Sadarilah apa yang Anda posting dan bagaimana orang lain melihat kata-kata atau gambar Anda bagikan(Cheng et. Al, 2013). Sementara pengguna media sosial saat ini tidak secara sengaja terlibat dalam pengumpulan data, lebih banyak kesadaran dapat ditingkatkan dalam platform media sosial (misalnya dengan berkampanye) untuk meningkatkan peran pengawasan mereka ketika mengunjungi kawasan alam. Akibatnya, lebih banyak orang berpotensi terlibat dengan pengumpulan data dan menjadi lebih sadar tentang konservasi keanekaragaman hayati. Disaat yang sama, platform media sosial dapat lebih langsung ditargetkan untuk kampanye masyarakat ilmu terarah. Informasi tentang konservasi seharusnya tidak secara mentah disajikan namun juga diolah menjadi informasi yang dapat menyatukan aksi bersama secara keseluruhan dalam upaya konservasi. Untuk semua tantangan data dalam ilmu konservasi, tetapi, dikombinasikan dengan sumber data lain, dapat memberikan cara inovatif untuk mengatasi kebutuhan informasi tantangan konservasi di masa depan(Minin et.all, 2015).

Sumber :

Knight, A. T., Cowling, R. M., and Campbell, B. M. (2006). An operational model for implementing conservation action. Conserv. Biol. 20, 408–419. doi: 10.1111/j.1523-1739.2006.00305.x
Di Minin E, Tenkanen H and Toivonen T (2015) Prospects and challenges for social media data in conservation science. Front. Environ. Sci. 3:63. doi: 10.3389/fenvs.2015.00063
Elwood, S., & Leszczynski, A. (2011). Privacy, reconsidered: New representations, data practices, and the geoweb. Geoforum, 42, 6–15.
Cheng, L., Hupfer, S., Ross, S., Patterson, J., Clark, B., de Souza, C.: Jazz: a collaborative application development environment. In: 18th Annual ACM SIGPLAN Conference on Object Oriented Programming Systems Languages and Applications, pp. 102–103. Anaheim (2003)
Garrison, D.R., Anderson, T., Archer, W.: Critical inquiry in a text-based environment: computer conferencing in higher education. Internet Higher Educ 2(2–3), 87–105 (2000)


Apa kau baik saja disana?

Jalak Bali-ku yang mulai sekarat

Gambar  Burung Jalak Bali

(Sumber : http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/05/Jalak-Bali-Burung-Indonesia.jpg)

Jalak Bali, satu dari seribu spesies endemik di Indonesia. Jalak bali adalah permata yang masih tersisa di tanah bali, yang selalu menyongsong angin setiap waktunya. Satu dua pasang yang masih tersisa, meninggalkan sejarah pilu tentang hidupnya. Perburuan salah satunya.

Jalak Bali bertubuh sedang (25 cm) dengan bulu seluruhnya putih salju kecuali bagian ujung sayap dan ujung ekor berwarna hitam, warna kulit disekitar mata berwarna biru terang dan berjambul panjang terutama pada jantan. Burung ini terkenal karena suaranya yang merdu serta perawakannya yang elegan. Banyak mata yang tertarik memilikinya di kandang, bukan bebas di alam.

Jalak Bali menyukai terbang berkelompok antara bulan November sampai dengan bulan April untuk kawin dan mencari makan. Musim kawin berlangsung antara bulan September sampai Maret. Jalak Bali betina dewasa dapat bertelur maksimum 3 butir. Pengeraman dilakukan secara bergantian oleh jantan dan betina selama 15-17 hari. Aktifitas keseharian memiliki perilaku yang sama pagi sekitar jam 06.00 wita mereka terbang menuju hutan tempat mencari makan dan minum dan sekitar jam 14.00-18.00 wita mereka kembali ke tempat tidurnya.

Saat ini, Jalak bali tersisa di Taman Nasional Bali Barat dan masih saja terancam populasinya. Bukan hanya karena perburuan, tapi juga karena perubahan habitat di sepanjang barat laut pantai Bali. Bahkan, saat ini IUCN menetapkan status Critically Endangered sejak tahun 1996. Jalak Bali juga masuk dalam Appendiks I CITES yang artinya terlarang untuk diperdagangkan. Berdasarkan data Birdlife International, Jalak Bali hanya tersisa 49 ekor di habitatnya. Pada tahun 2016 sensus terakhir menyatakan bahwa Jalak Bali masih tersisa 82 individu. Apabila terus dibiarkan tanpa perlindungan, Jalak Bali dapat mengalami kepunahan di alam atau Extinc In The Wild. Sebenarnya, jumlah individu Jalak Bali belum diketahui secara pasti, karena memang dalam pengamatan dan pendataan populasi burung tidaklah mudah. Selain itu, perbedaan jumlah yang sangat derastis di alam disebabkan oleh komposisi vegetasi, jenis kerusakan dan tingkat perburuan yang terjadi pada kawasan tersebut.

Gambar Burung Jalak Bali

(Sumber : https://blogs.uajy.ac.id/bayu05/files/2015/12/rare-birds.jpg)

Usaha/upaya yang telah dilakukan yaitu dengan membangun penangkaran di desa-desa yang dulunya merupakan habitat Jalak Bali seperti di pemukiman Tegal Bunder dan Sumber Kelampok. Sejak tahun 2013 APCB juga telah menggandeng masyarakat yang ingin mengembangbiakan Jalak Bali, dengan memberikan 15 pasang bibit atau indukan. Dari 15 pasang itu sudah berhasil dikembangbiakan menjadi 125 ekor oleh masyarakat sekitarnya. Jalak bali mulai sekarat keberadaannya. Sudah tidak dapat dikatakan lestari jika kita tidak ikut menjaganya.

Jalak Bali merupakan spesies yang patut kita pertahankan dan tingkatkan populasinya. Jalak Bali berperan dalam distribusi jenis pohon tertentu serta keberadaannya yang hanya di Pulau Bali. Masihkah kita menutup mata dengan maraknya perdagangan dan perburuan Jalak Bali? Masihkah kita tidak peduli akan kelestarian satwa endemik?. Mari bersama-sama melakukan aksi nyata menjaga kelestarian flora dan fauna Indonesia, jangan biarkan tangan-tangan tak bertanggungjawab yang bertindak.

Sumber :

I Putu Gede Ardhana dan Nana Rukmana. Keberadaan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) di Taman Nasional Bali Barat (The Existence of Bali Starling (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) In West Bali National Park).  Jurusan Biologi, FMIPA Unud, Balai Taman Nasional Bali Barat. (crescentbali@indo.net.id).


Ancaman Ikan Asing Terhadap Ekosistem Perairan

Pada akhir Juni lalu banyak pembicaraan mengenai pelepasan ikan Arapaima gigas di Sungai Brantas, Jawa Timur. Pelepasan ikan tersebut dilakukan oleh seseorang yang tidak diketahui namanya dan aksinya terekam dalam video yang disebarluaskan ke sosial media. Dari hasil penelusuran yang dilakukan, ikan Araipama yang dilepaskan ke sungai tersebut diketahui dimiliki oleh Pursetyo, warga Kota Surabaya. Pria tersebut diketahui melepas 8 ekor Araipama ke sungai Brantas. Total ikan Arapaima yang dimiliki Pursetyo jumlahnya ada 30 ekor dengan rincian, 18 ekor ada dalam penampungannya di Surabaya, 4 ekor diserahkan ke masyarakat yang saat ini masih dalam proses pencarian oleh tim, dan 8 ekor dilepaskan ke sungai Brantas yang mana 7 ekor di antaranya sudah berhasil ditangkap kembali dengan kondisi 1 ekor sudah dalam keadaan mati.

Ikan Arapaima atau Arapaima gigas ini sangat berbahaya bagi ikan asli Indonesia karena merupkan jenis ikan predator. Jenis yang dinamai Pirarucu atau ikan merah oleh masyarakat sekitar Amazon ini tidak hanya memangsa ikan tetapi juga melahap udang, katak, hingga burung yang terbang di sekitar permukaan air. Hadirnya Arapaima gigas dipastikan akan menjadi pesaing ikan asli yang telah ada. Tidak hanya dalam hal makanan tetapi juga pemanfaatan ruang jelajah. Ruang jelajahnya yang besar pastinya akan menghabisi satwa akuatik asli di perairan yang dimasukinya. Ikan Arapaima selain predator, ukurannya juga dapat menjadi besar melebihi ikan-ikan endemik Indonesia pada umumnya sehingga ikan predator pemangsa Araipama tidak ada. Artinya ikan Arapaima merupakan top predator dalam rantai makanan atau tidak ada pemangsa ikan tersebut dalam habitat air tawar Indonesia.

Di negara asalnya jenis Arapaima gigas ini sudah mengalami overfishing. Bahkan, Pemerintah Brasil telah mengeluarkan larangan untuk menangkapnya sejak tahun 2001. Meski demikian, penangkapan ilegal terus terjadi sehingga populasinya menurun. Arapaima gigas telah masuk Appendix II dalam daftar Convention International Trade in Endangered (CITES). Artinya, jenis ini belum mengalami kepunahan, namun harus diawasi perdagangannya agar tetap tejaga kelestariannya.

Ikan Arapaima gigas. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

Namun, pelepasan Ikan Arapaima tersebut ke perairan Indonesia melanggar peraturan dan undang-undang di Indonesia. Disebutkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia bahwa Ikan Arapaima merupakan salah satu dari 152 jenis ikan berbahaya yang dilarang pemasukannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Kemudian berdasarkan Undang-Undang No.31/2004 tentang Perikanan Pasal 12 ayat (1), disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 12, ayat (2), disebutkan bahwa setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan atau kesehatan manusia di WPP RI.

Perbuatan Pursetyo dengan melakukan introdusir ikan asing ke sungai Brantas, merupakan perbuatan pidana dan sudah diatur dalam UU No.31/2004 Pasal 86 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di WPP RI melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.

Ikan Arapaima gigas. Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

Tidak hanya ikan Arapaima saja, sebenarnya banyak terjadi penyelundupan jenis ikan asing ke wilayah Indonesia seperti Ikan Piranha dan Ikan Aligator. Ikan Arapaima, Aligator, dan Piranha merupakan jenis ikan yang membahayakan sumber daya hayati di Indonesia. Meskipun ikan-ikan tersebut terlihat indah dari segi fisiknya tetapi jenis-jenis ikan tersebut bukanlah jenis ikan hias. Ikan-ikan tersebut merupakan jenis ikan predator yang berbahaya bagi ekosistem perairan Indonesia. Jika dibiarkan bebas di perairan lepas, dikhawatirkan ikan-ikan tersebut akan memakan sumber makanan dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang banyak, Ikan Aligator contohya. Ikan tersebut bisa bertahan tanpa makanan selama beberapa hari, namun bila di suatu tempat tersedia banyak makanan, dia akan makan sebanyak-banyaknya sehingga dapat mengancam keseimbangan ekosistemnya. Keberadaan ikan-ikan asing harus dijaga sebaik mungkin agar tidak masuk ke perairan Indonesia. Dengan demikian, ikan endemik yang sudah ada bisa tetap lestari untuk menjamin keberlanjutan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat khususnya para nelayan dan petani ikan.

Sumber :

http://www.mongabay.co.id/2018/06/29/ikan-endemik-sungai-brantas-terancam-keberadaan-arapaima/ (Diakses 5 Juli 2018 Pukul 14.58 WIB).

http://www.mongabay.co.id/2018/06/28/ikan-arapaima-ikan-berbahaya-yang-masuk-ke-indonesia/  (Diakses 5 Juli 2018 Pukul 14.58 WIB).

http://www.mongabay.co.id/2018/07/05/10-jenis-ikan-air-tawar-paling-ganas-di-dunia/  (Diakses 5 Juli 2018 Pukul 14.58 WIB).


Apa Kabar Sahabat Lautku?

paus

Sadarkah kita akan bahaya dari kantong plastik yang sering digunakan ? Banyaknya kantong plastik yang digunakan dan dibuang tiap hari tidak hanya akan mencemari lingkungan, namun juga dapat menyebabkan kematian satwa. Banyak satwa yang mati karena memakan sampah plastik yang dibuang sembarangan. Mereka memakan sampah plastik karena makanan alami mereka sudah sangat sulit ditemukan, padahal plastik yang mereka makan sama sekali tidak bergizi dan bahkan tidak bisa dicerna.

Pada tanggal 2 Juni 2018 lalu, Departemen Kelautan dan Sumber Daya Pesisir Thailand mengunggah di situs webnya bahwa ada seekor paus pilot yang ditemukan di sebuah kanal di Provinsi Songkhla Selatan, dekat dengan perbatasan Malaysia, dan diambil untuk dirawat dan disembuhkan. Ketika tim berusaha mengobati paus yang terluka selama beberapa hari, paus itu memuntahkan beberapa kantong plastik sebelum akhirnya mati. Hasil otopsi mengungkapkan ada 80 kantong plastik yang tersumbat di perutnya. Departemen tersebut mengatakan berat total semua plastik yang ditemukan pada hewan itu adalah 8 kg. Foto-foto yang diposting pun memperlihatkan puluhan kantong plastik yang tetap tidak bisa tercerna ditubuh paus. Ahli biologi laut Thon Thamrongnawasawat dari Kasetsart University mengatakan bahwa kantong-kantong plastik tersebut membuat sang paus mustahil memakan makanan bergizi yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup.

Setelah membaca berita tersebut, apakah kalian tidak merasa miris ? Paus yang merupakan mamalia laut terbesar dan jumlahnya tinggal sedikit harus mati karena memakan sampah plastik. Dan mungkin tidak hanya paus saja, namun hewan laut lainnya juga dapat terkena dampak dari limbah atau sampah yang dibuang sembarangan, apalagi di buang ke laut. Bahkan di Indonesia, sampah yang di buang ke laut pun tiap tahunnya volumenya selalu bertambah dengan cepat. Kondisi itu, menjadikan laut Indonesia sebagai kawasan perairan yang rawan dan menghadapi persoalan sangat serius bahkan dapat membahayakan tidak hanya lingkungan namun juga makhluk hidup termasuk manusia.

Sampah plastik yang berasal dari daratan dan dibuang ke laut jumlahnya mencapai 80% dari total sampah yang ada di laut. Sampah-sampah tersebut masuk ke lautan, disebabkan oleh pengelolaan sampah yang kurang efektif dan perilaku buruk dari masyarakat pesisir di seluruh dunia dalam menangani sampah plastik. Polusi laut akibat sampah plastik tidak hanya berdampak buruk terhadap lingkungan, tapi juga merugikan dari sisi ekonomi karena pendapatan negara dari sektor kelautan juga menurun. Oleh itu, harus dicari solusi yang tegas untuk mengatasi persoalan sampah plastik yang ada di laut.

Upaya Indonesia dalam penanganan sampah plastik, dilakukan dengan membuat Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Sampah Plastik. Rencana tersebut bertujuan, agar Indonesia bisa mengurangi 70% kontribusi Indonesia terhadap sampah plastik di laut sebelum 2025. Bukti bahwa sampah plastik diolah menjadi sumber energI yaitu saat ini 15 kota di Indonesia sedang dilaksanakan studi untuk menanggulangi sampah plastik di laut. Pelaksanaan studi tersebut, termasuk proyek konstruksi jalan tar plastik pertama di Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Selain itu, rencana aksi pemerintah yang lain termasuk antara lain pengembangan bio-plastic dari singkong dan rumput laut, pengelolaan sampah menjadi energi, serta pemberdayaan bank sampah. Pengelolaan sampah saat ini hendaknya diselesaikan secara bersama antara pemerintah, pihak swasta, pihak pendidikan dan pihak masyarakat agar seluruhnya dapat berperan aktif dalam mengurangi sampah plastik.

Jika sampah plastik di laut tidak dicegah produksinya, maka itu akan mengancam keberadaan biota laut yang jumlahnya sangat banyak dan beragam. Tak hanya itu, sampah plastik bersama mikro plastik yang ada di laut juga bisa mengancam kawasan pesisir yang memang sangat rentan. Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Plastik Laut itu terdiri dari empat pilar utama, yaitu perubahan perilaku, mengurangi sampah plastik yang berasal dari daratan, mengurangi sampah plastik di daerah pesisir dan laut, serta penegakan hukum, mekanisme pendanaan, penelitian-pengembangan (inovasi teknologi) dan penguatan institusi.

buus

(Penyu yang menyangka plastik adalah makanannya)

Di sisi lain, sejalan dengan penyusunan rencana aksi, Kolaborasi Bilateral, Regional juga kerja sama Pemerintah dan swasta terus digalang untuk mengendalikan sampah plastik laut. Upaya pengendalian mutlak dilakukan melalui pemantauan dan pengumpulan sampah plastik dari laut dengan menggunakan teknologi yang relevan untuk menjamin hasilnya. Dalam Konferensi East Asia Summit (EAS) 2017 yang digelar di Bali, Indonesia mengampanyekan perang terhadap sampah plastik di lautan. Dalam konferensi tersebut, Indonesia menyampaikan beberapa langkah yang telah dilakukan Indonesia untuk memerangi sampah plastik di laut.

Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa konservasi hendaknya mendukung dan ikut berperan aktif dalam mengurangi dan memberantas sampah yang ada di laut dan pesisir agar kelestarian lingkungan dan satwa di lautan tetap terjaga. Mari perangi sampah di Indonesia! Ayo kurangi penggunaan plastik!

Sumber :

http://www.mongabay.co.id/2017/09/18/sampah-plastik-semakin-ancam-laut-indonesia-seperti-apa/ (Diakses 5 Juni 2018 pukul 15.50 WIB).

http://www.mongabay.co.id/2018/06/05/paus-ini-ditemukan-mati-perut-penuh-dengan-sampah-plastik/  (Diakses 5 Juni 2018 pukul 15.50 WIB).


Pesan dari Sudan: “Selamat tinggal, Dunia”

SUDAN

Joseph Wachira, salah satu caregiver Sudan, sedang menenangkan Sudan

Pada 19 Maret 2018, dunia dikejutkan dengan kabar matinya Sudan, Badak Putih utara jantan terakhir. Badak ini lahir pada tahun 1973 di Sudan dan kemudian dibawa ke Kebun Binatang Dvůr Králové di Ceko pada 1975. Baru pada tahun 2009, Sudan bersama tiga Badak Putih utara lainnya yaitu Suni, Fatu, dan Najin, dipindahkan ke Ol Pejeta Conservacy di Kenya. Suni, yang juga merupakan pejantan, mati terlebih dahulu pada tahun 2014 karena penyebab alami. Hal inilah yang meninggalkan Sudan sebagai Badak Putih utara jantan terakhir di dunia. Sayangnya, saat ini, dunia harus berpisah dengan Sudan.

Selama hidupnya, Sudan memiliki keturunan betina yang bernama Nabiré pada tahun 1983 dan Najin pada tahun 1989. Pada tahun 2000, keturunan kedua (cucu) betina Sudan, Fatu, lahir. Ketiganya lahir di Kebun Binatang Dvůr Králové. Pada tahun 2016, dunia harus mengucapkan selamat tinggal kepada Nabiré.

Selain Kebun Binatang Dvůr Králové dan Ol Pejeta Conservacy, keberadaan Badak Putih utara juga terdapat di Kebun Binatang San Diego. Namun di tahun yang sama ketita Nabire mati, Badak Putih utara yang berada di kebun binatang tersebut mati. Hal ini meninggalkan hanya tiga Badak Putih utara yang ada di dunia yang berada di Ol Pejeta Conservacy, dan saat ini, hanya tersisa dua.

Kematian Sudan disebabkan karena badak yang berumur 45 tahun ini terkena komplikasi infeksi dan masalah penyakit lainnya. Sudan mengalami perubahan degeneratif pada otot dan tulang yang dikombinasikan dengan luka kulit yang meluas. Komplikasi ini membawa Sudan menjadi tidak dapat berdiri dan menderita. Awal mulanya kesehatan Sudan memburuk pada Maret 2017. Pada Desember 2017, Sudan terjangkit penyakit yang menyebabkan luka dan infeksi dan akhirnya pada Maret 2018, Sudan, badak putih utara jantan terakhir di dunia, mengucapkan selamat tinggal kepada dunia.

Seperti kata Cathy Dean, petinggi Save the Rhino, “It may be too late for the northern white rhinos, but we still have time to save all the other species” (Hal ini mungkin memang terlambat untuk Badak Putih, tetapi masih ada waktu untuk menyelamatkan spesies lainnya).

Sumber:

https://international.sindonews.com/read/1291221/44/disuntik-mati-badak-putih-jantan-terakhir-di-dunia-kini-tiada-1521547745

https://www.savetherhino.org/rhino_info/threats_to_rhino

https://www.worldwildlife.org/species/rhino

https://www.msn.com/en-gb/news/world/after-last-males-death-is-the-northern-white-rhino-doomed/ar-BBKugKf?li=AAmiR2Z&ocid=spartandhp


Orangutan Meregang Nyawa Ditembus Ratusan Peluru

Lagi-lagi kasus kematian orangutan menambah rentetan kasus satwa liar yang ada di Indonesia. Pada awal tahun 2018, terjadi penembakan terhadap seekor orangutan jantan di Taman Nasional Kutai. Hal ini bermula saat warga menemukan orangutan terlihat terdesak dan merintih di areal Taman Nasional Kutai kawasan Desa Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Sabtu (3/2). Kondisinya melemah, hingga akhirnya pada Selasa (6/2) dini hari sekira pukul 01.55 WITA, orangutan tersebut mati.

Tidak tanggung-tanggung, menurut keterangan pers di kantor BKSDA Kaltim, terdapat sekitar 130 butir peluru dan 74 diantaranya bersarang di kepala. Parahnya, penembakan tersebut dilakukan dalam jarak dekat. Tidak hanya penembakan yang dilakukan, tetapi juga terdapat luka sabetan senjata tajam. Hal tersebut ditunjukkan berdasarkan hasil tim autopsi yang menjelaskan bahwa terdapat 19 luka menganga, 2 mata yang buta akibat peluru yang bersarang di kepala, dan telapak kaki yang hilang akibat sabetan senjata tajam.

Bila ditinjau berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, kasus ini merupakan kasus tindak pidana yang berat. Barang siapa yang sengaja melanggar apa yang teruliskan pada UU No.5 Th. 1990 pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) akan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Melihat rentetan kasus demi kasus yang telah ada yang menyangkut orangutan, kasus ini hendaknya diusut hingga tuntas oleh aparat yang terkait.

orangutancop

Orangutan yang tertembak di Taman Nasional Kutai

Sumber: regional.kompas.com, www.tribunnews.com, www.merdeka.com, https://www.suara.com, Undang Undang No. 5 Tahun 1990.


Menuju Penelitian Bersama 2018

pb 2018

Penelitian Bersama (PB) merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Forestation dan dilakukan untuk mengembangkan ilmu serta kemampuan dari anggota KP3. Secara keseluruhan Penelitian Bersama ini bertujuan untuk mengembangkan minat dan ilmu anggota KP3, mengenalkan teknis pengambilan data melalui metode yang sesuai dengan masing-masing KP3, serta hasil dari penelitian nantinya dapat digunakan untuk melengkapi pengelola kawasan dan sebagai arsip KP3 itu sendiri. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2018 dan berlangsung selama sepuluh hari.

Dimana Penelitian Bersama 2018 dilaksanakan? Apa saja yang akan diteliti oleh anggota KP3? Pasti banyak yang bertanya-tanya bukan? Tahun ini Penelitian Bersama dilaksanakan di Hutan Lindung Gunung Slamet, Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kawasan masuk ke dalam wilayah kerja Perhutani di KPH Banyumas Timur, BKPH Gunung Slamet Barat, RPH Baturraden. Pengambilan data akan dilakukan pada kawasan seluas 359 Ha yang masuk ke dalam petak 54, 55, 56, dan 57. Sementara itu, fokus Penelitian Bersama kali ini pada keanekaragaman hayati, distribusi, interpretasi, dan daya dukung wisata di sekitar objek wisata Curug Jenggala.

peta

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Bersama 2018

Pada penelitian bersama ini akan dilakukan eksplorasi potensi biotik dan abiotik yang ada di sekitar Curug Jenggala. Eksplorasi aspek biotik dan abiotik ini penting dilakukan karena potensi dari dua aspek tersebut masih belum tergali dan belum banyak orang mengetahuinya. Potensi biotik dan abiotik menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena peranannya yang besar terhadap keseimbangan ekosistem dan kelesatarian lingkungan. Potensi biotik dan abiotik yang ada akan digunakan sebagai bahan kajian utama yang akan dijadikan bahan dalam mengetahui daya dukung dan interpretasi objek wisata Curug Jenggala.

Sampai saat ini, persiapan untuk melangsungkan kegiatan Penelitian Bersama terus dilakukan. Mulai dari persiapan peserta, panitia, maupun teknis di lapangan nantinya. Jadi, jangan sampai ketinggalan informasi seputar Penelitian Bersama di sosial media Forestation ya.

KSDH Jaya!!


Mempertahankan Eksistensi Hutan Kemuning di Tanah Jawa

Oleh Farah Dini Rachmawati

IMG_3778

Keberadaan hutan di Pulau Jawa semakin banyak yang terpinggirkan dengan adanya pembangunan. Deforestasi dan degradasi menjadi masalah yang tak terelakkan. Kawasan hutan menjadi sasaran empuk untuk menjadi permukiman ataupun dikonversi sebagai hutan tanaman jati. Mempertahankan hutan alam di Pulau Jawa bagaikan hal yang mustahil untuk saat ini.

Namun, hal yang berbeda terjadi di Desa Kemuning, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.  Ada kawasan seluas 800 Ha di desa tersebut yang masih layak disebut sebagai ‘hutan’. Orang banyak menyebutnya Hutan Kemuning. Keanekaragaman hayati di Hutan Kemuning ini masih cukup tinggi. Hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani bersama masyarakat ini masih layak untuk dihuni oleh berbagai jenis satwa.  Beberapa satwa yang dilindungi masih bisa ditemukan di Hutan Kemuning, seperti Lutung Jawa, Kukang Jawa, Trenggiling, dan Elang Bido.

Aset yang dimiliki oleh Hutan Kemuning tentu harus dilestarikan, mengingat minimnya hutan di Jawa yang masih tersisa. Salah satu upaya preservasi yang dapat dilakukan adalah dengan menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan. Masyarakat adalah ujung tombak dalam mempertahankan eksistensi Hutan Kemuning. Pemahaman masyarakat yang baik akan berdampak positif terhadap hutan. Sebaliknya, jika masyarakat kurang peduli dengan kondisi hutannya, bencana yang akan muncul.

Salah satu tindakan preservasi dilakukan oleh Javan Wilidlife Institute (JAWI) yang bekerja sama dengan Forestation, yakni dengan menyelenggarakan kegiatan pendidikan lingkungan di Desa Kemuning. Pendidikan Lingkungan yang mengambil tema “Mengenal dan Menjaga Hutan Kemuning” telah diselenggarakan pada 26 Agustus 2017 dengan diikuti 45 siswa SDN Kemuning. Kegiatan pendidikan lingkungan ini terdiri dari empat rangkaian acara yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian anak-anak Desa Kemuning terhadap lingkungan sekitarnya.

Pendidikan lingkungan diawali dengan pemutaran video tentang hutan dan kukang. Anak-anak nampak serius ketika video diputar. Penayangan video ini dilakukan agar mereka lebih mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang dikelilingi oleh hutan. Selain itu, isu perdagangan kukang pun juga ditampilkan dalam video agar mereka tahu bahwa kukang adalah hewan dilindungi yang tidak boleh diperjualbelikan.

IMG_3610

Pemutaran video mengenai hutan dan kukang

Agenda kedua dalam pendidikan lingkungan ini adalah lomba menggambar. Seluruh siswa yang terdiri dari kelas I sampai VI dibagi menjadi lima kelompok. Mereka diminta untuk menggambarkan keadaan lingkungan sekitar. Mereka pun diberikan waktu untuk menceritakan hasil karya masing-masing. Dari gambaran anak-anak itu dapat diketahui sejauh mana pemahaman mereka terhadap lingkungan.

Setelah lomba menggambar, kegiatan dilanjutkan dengan lomba susun gambar. Anak-anak diminta untuk mengumpulkan potongan gambar yang telah diletakkan dalam tampah yang penuh dengan tepung.  Potongan gambar itu harus mereka susun agar membentuk gambar yang utuh. Dari gambar-gambar yang mereka susun terbentuklah mekanisme rantai makanan yang terjadi di Hutan Kemuning. Dalam kegiatan ini, mereka diajak untuk mengetahui dampak yang akan timbul apabila salah satu komponen dari rantai makanan hilang.

IMG_3695

Pengumpulan potongan gambar dari tampah berisi tepung

Kegiatan diakhiri dengan penanaman pohon di halaman SDN Kemuning. Mereka tak hanya menanam tapi juga diberi tugas untuk merawat pohon tersebut. Dengan adanya tugas sederhana itu diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan mereka terhadap lingkungan.  Apabila sedari dini mereka telah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap lingkungan, tak mustahil Hutan Kemuning dapat terus berjaya di tanah Jawa.


Menjelajahi Primadona Purwokerto

_MG_7302

Jelajah Konservasi merupakan salah satu program kerja Forestation yang dilaksanakan setiap tahunnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengenalkan pengelolaan konservasi di sebuah kawasan melalui kegiatan pengamatan dan membangun relasi dengan masyarakat sekitar. Kegiatan yang mengusung tema eksplorasi alam dusun Kalipagu ini diikuti oleh baik mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM maupun dari instansi lain dengan total panitia dan peserta sebanyak 53 orang. Pada tahun 2017 ini, Jelajah Konservasi yang dilaksanakan pada tanggal 12-16 Agustus di dusun Kalipagu, Baturraden, Purwokerto .

Di Jelajah Konservasi kali ini, pengamatan dilakukan di Dusun Kalipagu, Baturraden, Purwokerto yang merupakan sebuah dusun enclave (kantong permukiman) di dalam kawasan hutan lereng selatan Gunung Slamet. Dusun ini terletak pada ketinggian sekitar 600 mdpl. Hal yang menarik dari dusun ini adalah posisi dusun yang berada di tengah kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Banyumas Timur. Kawasan ini menyediakan tempat yang tepat untuk penelitian kelima KP3, yaitu KP3 Burung, KP3 Primata, KP3 Herpetofauna, KP3 Wetland, dan KP3 Ekowisata. KP3 itu sendiri adalah Kelompok Pengamat, Peneliti, Pemerhati. Oleh karena itu, Forestation Kabinet Rubah memilih Baturraden sebagai lokasi pengamatan Jelajah Konservasi 2017.

Pengamatan pada Jelajah Konservasi ini dilakukan selama dua hari yaitu di hari kedua dan ketiga. Pada hari keempat dilakukan focal-edu, wisata bersama ke Lokawisata Baturraden, dan sarasehan bersama perangkat desa. Focal-edu atau Forestation Social education adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pendidikan terkait masalah kehutanan yang ada di masyarakat, yaitu kepada siswa-siswi SD setempat. Sarasehan bersama perangkat desa dilakukan untuk memaparkan hasil pengamatan setiap KP3. Pada KP3 burung menemukan 36 jenis burung, contohnya takur tortor, munguk loreng, cekakak sungai, tekukur, caladi pilik, sepah gunung jantan, kutilang, elang hitam, dan elang jawa. Pada hasil pengamatan KP3 Primata, ditemukan tiga lutung di curug Penganten, dua owa jawa pada daerah dengan ketinggian 800 mdpl, dan satu lutung pada daerah dengan ketinggian sekitar 1000 mdpl. Pada KP3 Herpetofauna, didapatkan sekitar dua puluh jenis amfibi dan reptil yang didapatkan hanya ular welang, forest dragon, dan bunglon. Pada pengamatan KP3 Wetland dilakukan pembuatan tiga Stasiun Pengamatan Aliran Sungai dan diketahui bahwa suhu air sungai adalah 22-23°C. Pada KP3 Ekowisata, pengamatan dilakukan di delapan tempat, antara lain Sendang Pancarasa, Pasir Putih, Lemah Wangi, Pameling Sukma, Pancuran 7, Sorobada, Batur Semende, dan Curug Jenggala. Dari 33 situs yang ada, dikunjungi enam situs, antara lain Sendang Pancarasa, Pasir Putih, Lemah Wangi, Pameling Sukma, Gua Serobadag, dan Batur Semende. Pada hari kelima, para peserta dan panitia melakukan kerja bakti bersama warga dalam rangka menyambut hari kemerdekaan dan kembali ke Yogyakarta.

_MG_7682KP3 Ekowisata

IMG_7498Pengamatan KP3 Burung

DSC_0094Focal-edu di SDN 1 Kecil, Kalipagu

IMG_7797

Wisata bersama di Lokawisata Baturraden

IMG_7883Kerja bakti bersama warga

Pengelolaan ekowisata yang ada di dusun Kalipagu ini tergolong maju karena adanya kerjasama dengan LMDH dan Perhutani, keanekaragaman hayati yang tinggi, dan masyarakat desa mengharapkan bahwa potensi-potensi yang ada di Kalipagu baik keanekaragaman hayati maupun situs warisan budaya dijaga dengan baik.


Yuk, Berkenalan dengan Alba, Orangutan Albino!

alba

Pada tanggal 29 April 2017, dunia digemparkan dengan pengumuman dari BOS (Borneo Orangutan Survival) Foundation bahwa mereka berhasil menyelamatkan Orangutan jenis langka, yaitu Orangutan albino. Orangutan albino betina umur lima tahun ini dinamai ‘Alba’ yang artinya ‘fajar’ pada bahasa lLtin dan ‘putih’ pada bahasa Spanyol dengan harapan mempunyai awal baru pada kehidupannya setelah hidup sengsara dan lemah.

Alba diselamatkan di desa Tanggirang, Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah dengan kondisi sangat lemah. Dia mengalami stres, dehidrasi, dan terjangkit parasit sehingga memiliki nafsu makan yang buruk. Alba hanya mau mengonsumsi tebu dalam beberapa hari pertama berada di Orangutan Reintroduction Center, Nyaru Menteng. Alba perlu pengawasan ketat 24 jam/hari, ditambah lagi Alba memiliki sensitivitas terhadap cahaya matahari sehingga dibutuhkan perawatan intensif untuk mendapatkan informasi data penuh mengenai kondisinya.

Namun setelah diberikan perawatan penuh sekama beberapa hari oleh tim medis, Alba akhirnya dapat mengonsumsi variasi makanan seperti buah dan susu, dan akhirnya pada hari kesepuluh kondisi Alba meningkat dan berat badannya naik 4.5 Kg. Namun, hal itu belum cukup untuk membiarkan Alba hidup bebas di alam karena BOS Foundation masih menentukan tindakan terbaik bagi masa depan Alba. Oleh karena itu, BOS Foundation dengan hati-hati mengumpulkan data mengenai albinisme pada ras kera.

Sumber: http://www.orangutan.or.id/meet-alba-the-albino-orangutan-rescued-bos-foundation-with-central-kalimantan-bksda


Coming Soon

Jelajah Konservasi 2017

Hai, Conservationists!

Mark your calendar!

12-16 Agustus 2017

Di Baturraden, Purwokerto, Jawa Tengah

logo jk

Jelajah Konservasi, merupakan kegiatan pengamatan menggunakan metode yang sesuai dengan setiap KP3 (Burung, Primata, Herpetofauna, Wetland, dan Ekowisata). Tujuan dari Jelajah Konservasi adalah untuk mengenalkan pengelolaan konservasi di sebuah kawasan melalui kegiatan pengamatan dan membangun relasi dengan masyarakat sekitar.

Dapatkan pengalaman seru plus ilmu dan keterampilan di lapangan dengan mengikuti Jelajah Konservasi!

Untuk selengkapnya, pantau terus media sosial Forestation di:

Website: forestation.fkt.ugm.ac.id

Instagram: forestationfktugm

Twitter: @forestationugm

Facebook: Forestation Ugm

Line: qok7105b


 Green Ramadhan, Momentum KLHK untuk Mendengarkan Aspirasi Masyarakat dalam Membenahi Lingkungan dan Hutan Indonesia

Green Ramadhan merupakan acara yang digelar oleh Kementerian Lingkngan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna memfasilitasi sekaligus untuk mendengarkan suara masyarakat mengenai isu lingkungan dan kehutanan di Indonesia saat ini. Pengemasan acara ini dibilang cukup unik dan menarik karena diselenggarakan setiap hari Rabu dan Jumat selama bulan ramadhan di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, yang kemudian ditutup dengan buka puasa bersama. Menariknya lagi masyarakat, komunitas, netizen, semua dipersilahkan mengikuti Green Ramadhan dengan tidak dipungut biaya apapun.

7 Juli 2017, laman resmi KLHK mengumumkan sekaligus membagikan seluruh materi yang ditampilkan dalam acara Green Ramadhan. Adapun uraian garis besar mengenai materi tersebut yaitu pada tanggal  31 Mei 2017 Hariadi Kartodihardjo membahas isu mengenai Masalah dan Rekomendasi Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit, dimana poin-poin yang beliau paparkan berupa tata kelola dan dampaknya, kinerja dan mekanismenya, serta situasi. Dalam topik tersebut beliau memaparkan solusi untuk isu yang diangkat yaitu penerapan politik perambahan diam-diam, integrasi penindakan dan pencegahan korupsi dan rekomendasi tiga teknik dalam hal pengendalian terkait isu kelapa sawit. Kemudian dilanjutkan oleh Wieko Saputra, membahas isu mengenai Jejak-Jejak Keungan Industri Sawit. Inti yang diberikan berupa informasi seputar update pasar seperti over supply dan dampaknya, aset tiap perusahaan kelapa sawit, jejak pembiayaan perbankan serta emiten sawit dan Good Corporate Governance (GCG). Pemaparan berikutnya oleh Norman Jiwan membahas isu mengenai Politik Ekonomi Industri Sawit Indonesia Ketimpangan Agraria, Krisis Ekologis dan Penghancuran SDA. Beliau memaparkan informasi dampak-dampak dari politik ekonomi industri sawit dari berbagai aspek serta keterkaitannya dengan politik, situasi dan masalah para petani yang terlibat dalam politik, serta skala grafis. Beliau memberikan solusi berupa mengeluarkan kebijakan penundaan pemberian izin baru kelapa sawit, melakukan perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia, memperkuat perlindungan hutan alam dan lahan gambut dan mempercepat pelaksanaan kebijakan pemerataan ekonomi.

Pada tanggal 7 Juni 2017 Hariadi Kartodihardjo memberikan topik yang berjudul Dari Perbaikan Tatakelola Ekosistem Tesso Nillo Untuk Pelaksanaan PS dan RA. Memaparkan informasi seputar ekosistem dan kondisi serta kombinasi redistribusi aset, ikatan kerja (tim), political will, inovasi kegiatan Tesso Nillo. Kemudian San Afri Awang membahas isu mengenai Strategi Tora dan Piaps. Memaparkan informasi skema dan prosedur penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, kondisi geografis Tora serta langkah-langkah strategi Tora dan PIAPS. Berikutnya Nur Amalia membahas isu mengenai Percepatan Hutan Adat dan Peran CSO dalam Mengawal Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Beliau memaparkan poin-poin berupa land use, kelembagaan masyarakat, gambaran-gambaran (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat) dan kemitraan. Beliau juga memaparkan informasi alur penyiapan akses PS (HD, HKM, HTR) diajukan kepada Gubernur/Menteri dalam bentuk skema dan alur pengakuan adat. Lalu Rudi Rubijaya, SP, MSc. memberikan isu mengenai Upaya Percepatan Reforma Agraria yang topiknya berintikan pada konsep dan skema reforma agraria, serta upaya percepatannya. Dilanjut oleh I Wayan Dipta memberikan isu Penguatan Koperasi untuk Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Membahas isu seputar peran koperasi dari berbagai lembaga dan keuntungannya bagi petani. beliau menginformasikan strategi dalam penguatan koperasi, koperasi besar di dunia dan Indonesia, dan model pengembangan koperasi. Presentasi berikutnya oleh Kantor Staf Presiden mengungkit isu yang berjudul Upaya Meningkatkan Pemerataan di Indonesia memaparkan informasi seputar Timpangan dalam bentuk Chart dan Table.

Dialog berikutnya pada tanggal 9 Juni 2017 terdapat 3 pemateri. Pemateri pertama yaitu Drs.R.Mulyono Rahadi Prabowo. MSc membahas isu mengenai Prediksi El Nino – La Nina dan Musim Kemarau Tahun 2017. Beliau memaparkan informasi mengenai Overview Iklim 2016, Perkembangan ENSO 2017, Peluang dan Prakiraan Hujan Juli-Desember 2017 dan Prakiraan Awal Musim Kemarau 2017. Beliau menyimpulkan bahwa berbagai evaluasi dari data yang telah dianalisis serta prediksi untuk curah hujan dan puncak musim kemarau. Pemateri kedua adalah Tri Budiarto membahas isu mengenai Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Poin-poin yang beliau sampaikan seputar fakta kebakaran hutan, suasana masyarakat menanggapi bencana tersebut dan pandangan kedepan menanggapi permasalah ini. Pemateri ketiga adalah Bambang Hero Saharjo, memberikan presentasi dengan tema Menuju Indonesia Nir Karhutla dimana beliau memaparkan informasi seputar Nir Karhutla melalui foto dan skala grafik. Kemudian beliau memberikan langkah-langkah menuju tujuan dalam isu yang beliau bahas, yaitu Penuhi seluruh kewajiban oleh penanggung jawab usaha, utamakan tindakan pencegahan, aplikasikan aturan yang ada tanpa syarat, penegakan hukum tegas dan tanpa syarat. Kemudian dibahas topik dengan judul “Kebakaran Gambut; RAKYAT DAN NEGARA MENANGGUNG RESIKO” dimana dipaparkan informasi dimensi Karhutla di gmabut beserta dampak asap Karhutla.

Tanggal 14 Juni 2017, pematerian dilakukan oleh Hadi S. Alikodra dengan isu Membangun Bisnis Konservasi dalam Perspektif Pembangunan Wilayah. Inti dari pematerian yaitu bisnis konservasi masih belum mampu mewujudkan tujuan utamanya serta masih berfokus ke arah finnansial. Solusi yang dibutuhkan menurut beliau yaitu reengineering yang tepat. Berikutnya materi disampaikan oleh Ir. Iwan  J. P. Syahlani yang merupakan Praktisi/Direktur PT Shorea Barito Wisata Taman Nasional Bali Barat. Mengangkat isu mengenai Optimalisasi Jasa Lingkungan Pariwisata Alam dalam Pembangunan Wilayah. Poin-poin yang beliau paparkan adalah bagaimana PT Shorea Barito Wisata bersama dengan TN Bali Barat mengoptimalkan wisata, peran dari kemitraan desa adat dalam mengelola baik pengujung dan area lingkungan, serta pemilihan ekowisata yang dianggap baik untuk tren pemasaan di lokasi tersebut. Dalam evaluasinya masih banyak kekurangan dan kendala yang harus segera diselesaikan. Pemaparan terakhir oleh Rinekso Soekmadi, Dekan Fakultas Kehutanan IPB. Mengangkat isu mengenai Arah Perubahan UU No 5 Tahun 1990. Menurut beliau inisisai perubahan telah berlangsung lama, seharusnya pihak yang berwenang menentukan batas akhir penentuan tersebut dan baik pemerintah maupun DPR-RI konsultasi publik seluas-luasnya.

Nationally Determined Contributions atau disingkat NDC dijadkan pokok bahasan pada Green Ramadhan tanggal 16 Juni 2017. Daddy Ruhiyat selaku Ketuan Harian DDPI-Kaltim menyampaikan perihal kesiapan Kaltim berkontribusi bagi pencapaian NDC. Mulai dari konsep, tujuan, dan progres dari Pembangunan Hijau serta pengelolaan hutan lestari dai dan oleh KPH. Selain itu juga dipaparkan mengenai 9 program NDC serta strategi implementasinya.

Pada tanggal 21 Juni 2017, ekonomi menjadi topik utama yang diperbincangkan. Circular Economy dan NDC Indonesia: TantangandDan Kesempatan untuk Masa Depan merupakan judul yang diusung oleh Satya Widya Yudha, menurut beliau dengan Indonesia menduduki peringkat 7 dalam 2015 Top Markets Study maka model circular economy ideal, segala aktivitas ditopang oleh energi bersih. Kemudian Christine Halim dari ADUPI mengangkat isu mengenai Peran Industri Daur Ulang Plastik dalam Sirkular Ekonomi Indonesia. Poin-poin yang beliau jelaskan diantaranya mengenai tujuan daur ulang dan pemanfaatan ulang pada circular economy, permasalahan dan harapan dari ADUPI untuk Daur Ulang Plastik yang adadi Indonesia. Pematerian selanjutnya dibawakan oleh Sri Wahyuni mengenai Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif Menuju Kemandirian Pangan dan Energi di Pedesaan. Menurut beliau saat ini yang harus kita lakukan adalah mencari energi alternatif dalam menyikapi permasalahan lingkungan yaitu salah satunya dengan menciptakan biogas sehingga kemandirian pangan dan energi dapat tercapai. Selanjutnya pematerian disampaikan oleh Bery Martawardaya mengenai The Circle of Economic and Life. Di Indonesia konsep ini masih pada tahap awal sehingga perlu adanya pelatihan tenaga ahli, kajian insentif, dan adanya sosialisasi yang menunjang konsep tersebut.

Forum Green Ramadhan tersebut merupakan gambaran bahwa dengan berdiskusi akan memunculkan gagasan serta masukan yang bermanfaat bagi sektor lingkungan dan kehutanan Indonesia. Bagi anda yang ingin mendapatkan materi yang ditampilkan dalam acara Green Ramadhan dapat mengunduh lewat link berikut https://drive.google.com/file/d/0BwZR0XLr5K5AOTJrZkhwejhkME0/view


Dusun Kalipagu, desa Ketenger, Baturraden.

Pada tanggal 12 hingga 14 Juli 2017 yang lalu panitia Jelajah Konservasi melakukan survei lokasi di dusun Kalipagu, desa Ketenger, Baturraden. Kegiatan ini merupakan survei kedua dari serangkaian survei yang telah ditetapkan. Wilayah yang akan digunakan sebagai tempat pengamatan merupakan wilayah yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Banyumas Timur. Terdapat beberapa objek ekowisata seperti curug Bayan, curug Jenggala, Pancuran 7, Bukit Cinta/Bukit Rajawali yang cukup sering dikunjungi oleh pengunjung karena akses jalan dan lokasinya yang sudah kelola dengan baik oleh LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Di dusun tersebut juga terdapat wisata budaya seperti petilasan, tempat sembahyang, dan lingga yoni yang belum memiliki rencana pengelolaan.

Dikarenakan hidup dekat dengan kawasan hutan, masyarakat desa Ketenger telah memahami pentingnya hidup berdampingan dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan pemanfaatan ekowisata untuk kebutuhan ekonomi oleh warga desa, tetapi juga memikirkan dampak dan tetap memperhatikan keadaan lingkungan sekitarnya. Di daerah Baturraden sendiri terdapat isu yang menyatakan adanya konflik geotermal antara PLTU dan lingkungan Baturraden serta sekitar lereng Gunung Slamet, tetapi untuk dusun Kalipagu belum merasakan dampak tersebut.

Dalam survei ini yang berperan penting adalah kelima KP3, yaitu KP3 Herpetofauna, KP3 Primata, KP3 Burung, KP3 Wetland, dan KP3 Ekowisata. Sehingga survei tersebut dibagi ke beberapa lokasi sesuai kebutuhan pengamatan nantinya. Hasil dari survei tersebut adalah KP3 Wetland fokus untuk daerah sungai pada dusun Kalipagu, KP3 ekowisata fokus pada beberapa curug, perbukitan yang memiliki pemandangan indah dan situs budaya, KP3 Burung fokus pada daerah Bukit Cinta/Rajawali, Pancuran 7, Curug Jenggala dan sekitarnya, KP3 Herpetofauna fokus pada jalan setapak yang menuju tempat ekowisata dan sedikit masuk ke dalam hutan,  dan KP3 Primata fokus pada area Pancuran 7 dan area hutan yang lebih dalam.